Mubadalah.id – Di dalam Islam, istri memang memiliki otoritas penuh atas harta pribadinya. Sekali pun demikian, demi kebaikan dan kemaslahatan yang diperintahkan oleh agama, istri perlu mendistribusikan hartanya secara proporsional dan penuh kearifan, karena ia tidak hidup sendiri dalam rumah tangganya.
Dua hal itu perlu dikedepankan agar penggunaan harta pribadi istri tidak mengundang kecemburuan pihak lain. Misalnya, karena terlalu memperihatkan saudara sendiri, keluarga suami tidak mendapat perhatian, ketika ketidak proporsionalan dan ketidakarifan seperti inilah yang biasanya memicu konflik dalam rumah tangga.
Meskipun secara hukum istri memiliki otoritas penuh atas hartanya, demikian pula suami, dalam kehidupan rumah tangga akhlak Islam yang mengedepankan prinsip musyawarah dan sikap empati satu sama lain perlu diterapkan.
Berkali-kali al-Quran menyampaikan perlunya menerapkan prinsip “ma’ruf” dalam menjalankan urusan rumah tangga. Yaitu sebuah prinsip perilaku yang memadukan aturan syari’at, logika akal sehat, serta kepatutan dan kearifan.
Syukur dalam Segala Keadaan
Selain arif dan proporsional, istri yang dianugerahi Allah SWT rezeki yang langsung diterimanya sendiri idealnya memiliki kecerdasan spiritual berupa rasa syukur dalam keadaan apapun.
Dan justru bukan sebaliknya merasa nelansa karena merasa menganggu beban nafkah keluarga yang bukan menjadi kewajibannya. Mengapa? Karena kiriman rezeki langsung dari Allah itu sendiri adalah anugerah.
Keahlian, profesi dan kemampuan usaha yang menyebabkannya mendapatkan rezeki langsung dari Allah kepada semua hambaNya.
Lebih dari itu, dengan harta pribadi itu istri bisa membantu orang tua, kerabat, dan orang-orang yang perlu ia bantu secara leluasa. Istri juga bisa melakukan apa yang Rasulullah Saw ajarkan, yakni tangan kanan memberi dan tangan kiri tidak tahu.
Dengan harta pribadi itu juga istri memiliki otoritas untuk berinfak, bersedekah dan bersosialisasi. Ia juga bisa meraih pahala zakat dan berjihad dengan harta.
Kalau pun dalam keluarga ia menjadi tumpuan utama ekonomi keluarga. Bahkan semua yang ia keluarkan memiliki dua nilai pahala, yakni pahala sedekah dan pahala menjalin tali kasih (silaturahmi). Sebagaimana yang Rasulullah nyatakan kepada Zaenab istri Ibnu Mas’ud yang menjadi tulang punggung ekonomi keluarganya. Subhanallah.
Begitu besar nikmat Allah bagi istri yang diberikan rezeki langsung melalui tangannya. Maka, sungguh sayang jika anugerah yang demikian itu dijalani dengan perasaan iri suami hanya karena kontribusi istri untuk biaya anak dan rumah tangga lebih besar daripada suami. Apalagi jika faktanya suami memang diberikan pintu rezeki yang tidak lebih besar dari pada istri. []