• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Hari Santri, Kekerasan Seksual dan Harapan Pada Pemerintah Baru

Di tengah semangat perayaan ini, kita tidak bisa menutup mata atas kekerasan seksual yang dialami sebagian santri.

Suci Amaliyah Suci Amaliyah
23/10/2024
in Personal, Rekomendasi
0
Hari Santri

Hari Santri

1.3k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Kemarin, tepat 22 Oktober, kita memperingati hari santri nasional yang ke-10. Euforia perayaan ini sudah mulai terasa sejak beberapa hari terakhir. Sejumlah pesantren, institusi, hingga media sosial mulai memeriahkan hari santri dengan cara masing-masing. Puncak perayaan akan tergelar di Tugu Proklamasi  Jakarta yang rencananya akan dipimpin langsung oleh Presiden Prabowo Subianto.

Ini adalah kali pertama, Presiden Prabowo menghadiri apel hari santri setelah 10 tahun terakhir dipimpin oleh presiden sebelumnya, Joko Widodo. Penetapan hari santri berawal dari usulan ratusan santri di Pondok Pesantren Babussalam Malang pada 2014. Kemudian menjadi agenda nasional usai ditetapkannya Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri.

Peringatan hari santri menjadi simbol penghargaan dan refleksi atas perjuangan santri dalam mempertahankan kemerdekan dan membangun masa depan. Tahun ini, Kementerian Agama mengusung tema Menyambung Juang, Merengkuh Masa Depan. Menteri Agama RI periode 2020-2024 Yaqut Cholil Qaumas melalui tema ini mengajak para santri di Indonesia untuk bersama-sama berjuang menuju masa depan Indonesia yang lebih baik.

Kiranya tema ini menjadi refleksi bersama. Di tengah semangat perayaan ini, kita tidak bisa menutup mata atas kekerasan seksual yang sebagian santri alami saat mereka tengah belajar di asrama. Beberapa santri, yang seharusnya menempuh pendidikan dan membangun mimpi-mimpi besar, justru mengalami kekerasan seksual.

Catatan Tahunan Komnas Perempuan

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat sepanjang tahun 2015 hingga 2020 pesantren menempati urutan kedua dalam hal kasus kekerasan seksual setelah universitas. Kasus yang masuk di data komnas merupakan puncak gunung es. Karena umumnya kasus kekerasan di lingkungan pendidikan tidak diadukan/dilaporkan.

Baca Juga:

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

Filosofi Santri sebagai Pewaris Ulama: Implementasi Nilai Islam dalam Kehidupan Sosial

Tonic Immobility: Ketika Korban Kekerasan Seksual Dihakimi Karena Tidak Melawan

Baru-baru ini, kasus di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, menjadi sorotan. Puluhan santri laki-laki menjadi korban dugaan kekerasan seksual yang pelakunya merupakan dua pengajar di pondok pesantren. Kasus ini hanya satu dari sekian banyak kekerasan yang terjadi. Kekerasan seksual tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga merenggut harga diri, kepercayaan diri bahkan keyakinan terhadap sistem nilai yang selama ini mereka pegang.

Seperti luka fisik, trauma psikologis akibat kekerasan tak pernah benar-benar hilang meski waktu mungkin mengurangi rasa sakit. Bayang-bayang kejadian itu akan menghantui korban sepanjang hidup.

Potret Kekerasan Seksual dalam Film Siksa Kubur

Film ‘Siksa Kubur’ karya Joko Anwar memotret kekerasan seksual yang santri laki-laki maupun perempuan alami di sebuah pesantren besar serta bagaimana trauma korban berlanjut hingga dewasa. Dalam film ini tak hanya mengkritik perilaku orang-orang yang tampak agamis tapi ternyata menindas. Film ini juga menyorot kehidupan yang korban alami setelahnya.

Fakta kekerasan seksual juga terungkap Project Multatuli dalam liputan panjang. Jurnalis menulis bagaimana puluhan santri mengalami kekerasan sistemik yang Subchi Azal Tsani (Bechi) lakukan di Pondok Pesantren Shiddiqiyyah.

Putra kiai itu diduga memanipulasi dan membayar anak di bawah umur untuk menjadi budak seksual. Ia memiliki sejumlah ajudan untuk membungkam aksi kekerasan seksual agar korban diam. Bahkan keluarga dan jemaatnya membela Bechi yang jelas-jelas ditetapkan sebagai pelaku. Keluarga korban bahkan mendapatkan intimidasi. Tak cukup di situ bahkan jurnalis yang menulis kasus tersebut turut mereka serang.

Kasus ini menjadi representasi dari banyak korban kekerasan seksual di bawah kedok agama atau institusi yang semestinya menjadi tempat mereka merasa aman, nyaman, dan terlindungi, justru sebaliknya suram. Bisakah kita melihat kekerasan bukan lagi persoalan moralitas individu? Melainkan sebuah pelanggaran hak asasi manusia yang memerlukan perhatian serius.

Melihat Kembali Peran Pesantren

Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida dalam wawancara beberapa hari lalu mengatakan pola pembelajaran dan pola asuh di pesantren sangat berkontribusi besar pada pembentukan karakter santri. Pesantren merupakan agen sosialisasi antisipatoris pendakwah, tetapi juga calon tokoh, dan pemuka agama. Terjadinya kekerasan seolah kontraproduktif dengan pendekatan yang Nabi Muhammad Saw contohkan dalam membangun karakter.

Sebab itu, perlu kita lihat kembali kedudukan dan peran pesantren sebagai institusi pendidikan yang justru berperan sebagai cross cutting affiliation. Dengan demikian keberagaman dan sikap inklusif menjadi bagian dari kehidupan pesantren.

“Yang tak kalah penting, perlu ada kebijakan negara yang ketat dalam mengontrol praktik penyelenggaraan pendidikan dan pengasuhan di pesantren dengan melibatkan stakeholders strategis. Usulan ini tidak mudah pada tataran implementasi sebab aparat negara dan masyarakat yang segan dan enggan pada figur kiai atau tokoh agama,” jelasnya.

Berbagai upaya untuk mencegah kekerasan seksual sebetulnya telah pemerintah upayakan sebelumnya. Namun, sampai detik ini, tampaknya isu ini belum menjadi konsern Prabowo Subianto. Baik saat debat Pilpres 2024 maupun setelah terpilih dan dilantik menjadi presiden RI.

Apakah kasus ini akan menjadi prioritas pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo lima tahun mendatang? Atau justru akan stagnan? Skeptis rasanya namun saya berharap Menteri Agama dan Menteri PPA yang baru dapat menjadikan isu ini sebagai prioritas di masa kerjanya.

Mungkin, menciptakan generasi “Indonesia Emas 2045” bisa kita mulai dengan menuntaskan kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren. Esok hari, mari kita tunggu, pidato pertama Presiden RI Prabowo Subianto di hadapan para santri. []

Tags: Hari SantriHari Santri Nasional 2024Kekerasan seksualPondok PesantrenPresiden Prabowo Subianto
Suci Amaliyah

Suci Amaliyah

Penulis lepas, aktif di Gusdurian Bekasi

Terkait Posts

Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Narasi Hajar

Pentingnya Narasi Hajar dalam Spiritualitas Iduladha

6 Juni 2025
Berkurban

Berkurban: Latihan Kenosis Menuju Diri yang Lapang

6 Juni 2025
Kekerasan Seksual

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

5 Juni 2025
Kesehatan Akal

Dari Brain Rot ke Brain Refresh, Pentingnya Menjaga Kesehatan Akal

4 Juni 2025
Pesan Mubadalah

Pesan Mubadalah dari Keluarga Ibrahim As

4 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jam Masuk Sekolah

    Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • 7 Langkah yang Dapat Dilakukan Ketika Anda Menjadi Korban KDRT
  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID