Mubadalah. Id — Syahidnya Mahasin al-Khatib sesungguhnya tak terlepas dari narasi konspirasi Human Shieldsnya Israel. Inilah yang membuat Mahasin al-Khatib berjihad melawan Israel. Dan perempuan itu tampak frustasi meski tak putus asa. Karena menjalani hari dalam bayangan Malaikat Izrail melalui bom Israel. “Tidak bisakah kita semua mati saja dan selesai dengan semuanya (perang)?” (16 Januari 2024).
Ujaran bernada protes itu berisi keletihan Mahasin al-Khatib. Penjajahan Israel membawa Mahasen pada titik, kematian adalah lebih baik. Supaya Israel berhenti membunuh warga sipil secara brutal.
Maklum Mahasin Protes sebagai Perjuangannya
Harus maklum, saya kira, perempuan Palestina itu menggerutu, entah ke siapa. Yang jelas, Mahasin al-Khatib tetap pasrah ke Tuhan. “Jadi, kita tidak punya siapa-siapa lagi selain Tuhan Pencipta Alam.” Tandas Mahasen beberapa hari sebelum ajalnya.
Saya tidak tahu Mahasen marah ke siapa. Ke Tuhan? Realitas sosio-politik? Umat Muslim yang bermental minoritas? Yang jelas marah ke Israel. Tapi bisa saja menggerutu Ke Tuhan karena membiarkan Israel membunuh tak sedikit hambanya, katanya, banyak penghafal Alquran.
Atau menggugat realitas yang seolah tak memberi ruang pilihan sebagai “desain” orang Palestina merdeka – konsekuensi keterlepmaran: “Geworfenheit” dalam istilah Martin Heidegger. “Rasanya kita tidak lagi berarti bagi siapa pun. Dunia sudah muak dengan perjuangan kita.” Kata Mahasin, 26 Agustus 2024.
Atau boleh jadi, Mahasin dongkol ke umat Muslim dan negara-negara Arab yang tak berbuat banyak selain memberikan dukungan moril atau materi. Tapi tak bisa membujuk Israel berhenti membombardir Gaza, apa lagi memaksanya diam.
Sebagaimana ucapan Mahasin al-Khatib. “Paman saya berkata: “Orang Arab mengkhianati kita sebelum orang Yahudi (Israel) melakukannya. Kalau mereka punya kebaikan, mereka pasti sudah mengakhiri penjajahan ini sejak lama”.
Alasan negara Arab diam adalah geopolitik, aturan PBB, teritorial nasional, dll. Di saat yang sama, Israel buta aturan hukum Internasional Humanetarian, apalagi hukum Tuhannya orang Gaza.
Suasana Gaza 19 Oktober 2024
Kala itu, saya melihat dari layar, langit Gaza merah buram menyeramkan. Penuh asap berkobar api. Dentuman bom, raungan Pesawat tempur Israel seram menggema. Tanahnya amis dengan aliran darah segar manusia, darah merah menyala. Menjadi saksi bisu perjuangan Mahasin al-Khatib yang mengekspresikan melalui karikatur digitalnya.
Dan saya ragu, Tuhan tidak betah di sana dengan suasana yang Mahasen rasakan? Atau Tuhan sedang tidak di sana? Apakah Tuhan dengar berita tragis menimpa Gaza? Atau sebagaimana saya, Tuhan sedang menonton mortir Israel meruntuhkan infrastruktur Gaza. merusak lingkungan. Dan membunuh warga sipil Gaza? Saya sungguh tidak tahu kala itu Tuhan sedang apa. Tapi warga Gaza melimpahkan harapannya kepada Dzat yang kita sebut Tuhan, Allah al-Qahhar, al-Jabbar.
Dalam suasana mencekam, 19 Oktober 2024 lalu di kamp pengungsi Jabalia, Gaza. Lagi-lagi Israel membombardir Gaza Utara dengan bom mematikan. Targetnya adalah perempuan, Mahasen al-Khateeb.
Mahasin al-Khatib seniman perempuan Palestina. Dengan goresan digitalnya, melukiskan rasa sakit rakyat Palestina menjadi cerita. Setiap tarikan kuasnya adalah teriakan jiwa yang tertindas. Setiap gambar adalah tamparan terhadap dunia (muslim khususnya) yang tak berdaya.
Hari itu pula Mahasin mencurahkan jiwa seni terakhirnya. Melukis saat Shaban al-Dalu – pemuda penghafal Alquran – terbakar hidup-hidup karena kebiadaban Israel. Lalu karyanya tersebar di media sosial, layaknya jeritan penghabisan. Benar Israel membunuhmu, Mahasin al-Khatib. Membungkam suaramu selamanya – tapi tidak dengan semangat juangmu.
Human Shields
Itulah kebiadaban Israel! Namun, Israel memiliki narasi mereka sendiri menggunakan konspirasi “human shields” – perisai manusia. Human shields atau dalam Hukum Islam masyhur dengan istilah tatarrus adalah penggunaan warga sipil secara sengaja untuk melindungi fasilitas militer, personel, atau tempat-tempat strategis dari serangan musuh.
Dalam hukum internasional (demikian hukum Islam), penggunaan perisai manusia ialah pelanggaran dan kejahatan. Sebagaimana dalam Konvensi Jenewa IV (1949) dan turunan dan protokol tambahannya. Termasuk Statuta Roma Pengadilan Kriminal Internasional (1998).
Israel sering berargumen bahwa kelompok Hamas, yang berbasis di Gaza, menggunakan warga sipil sebagai perisai manusia dengan menempatkan pusat-pusat komando militer, peluncur roket, atau gudang senjata di area yang padat penduduk. Mereka promosikan argumen yang lebih tepat propaganda itu ke dunia. Tuk mendapat dukungan membantai warga sipil Gaza.
Konspirasi “Human Shields”-nya Israel
Negara Adikuasa banyak terpana dan menelan narasi busuk klise Israel yang semut Nabi Sulaiman pun bosan mendengar. Alasannya, karena Hamas ialah teroris yang wajib musnah. Maka, dunia menganggap rakyat Gaza adalah “perisai manusia” kelompok bersenjata Hamas. Bahkan membantu kelompok sang teroris. Seakan-akan Mahasin al-Khatib dan keluarganya yang tak bersenjata adalah ancaman yang layak binasa.
Pertanyaannya, siapakah yang berwenang memberikan status “teroris” dan “bukan teroris”? Apa yang diharapkan dari PBB, yang ada dalam genggaman Amerika dan sekutunya Israel, menentukan kelompok ini bermoral. Lainnya teroris?
Narasi konspirasi “human shields” – yang menyatakan bahwa warga sipil Gaza sebagai perisai hidup oleh kelompok militan Hamas – tersebar luas. Media internasional ikut serta menyebarkan fitnah Israel semisal The Jerusalem Post.
Dengan konspirasi jahat itu, Israel absah secara hukum membasmi warga sipil karena alasan menyerang Hamas melalui konspirasi “human shields”. Sebagaimana tulisan Nicola Perugini and Neve Gordon; A Legal Justification for Genocide. Dan Israel melimpahkan ke Hamas dosa dan kejahatan pembunuhan masal warga sipil Gaza yang mereka lakukan.
Mahasin Al-Khatib Punya Kebenaran Berbeda
Namun, Mahasin al-Khatib, tahu kebenaran yang berbeda. Bahwa konspirasi “human shields” adalah siasat licik Israel yang dapat sponsor dari Amerika untuk membasmi warga Gaza Utara, bukan semata tentara Hamas. Israel ingin melikuidasi tanah Gaza sebagai proyek “Israel Raya”.
Cukup kita intip narasi Israel tentang ini, mulai dari akademisi, politisi, serta militer mereka, terkait pembasmian Gaza Utara: mati atau pergi. Bisa baca analisis Meron Rapoport dengan tajuk: A plan to liquidate northern Gaza is gaining steam. Demikian pula laporan Amnesti Internasional.
Mahasin al-Khatib menulis: “Ibu saya berkata: Jangan rayakan kematian Al-Sinwar, karena pertempuran Israel bukanlah melawan Hamas. Pertempuran mereka (Israel) adalah melawan seluruh rakyat dan pemilik sah tanah Gaza” (Mahasen, 17/16 Oktober 2024). Maka tak perlu heran konspirasi “human shields” menjadi dalih Israel. Berkelit dari kejahatan dan berkamuflase menjadi pahlawan.
Kesyahidan Mahasin al-Khatib
Saat Mahasin al-Khatib mati syahid bersama orang-orang sekitar rumahnya, narasi “human shields” merupakan fitnah dan penghinaan terkeji yang lebih menyakitkan daripada serpihan bom yang menghancurkan tubuhnya.
Tapi Mahasin sadar, meskipun tubuhnya hancur, karyanya akan terus berbicara. Goresan tangannya yang lembut, namun tajam, akan menembus propaganda yang Israel bangun bertahun-tahun. Setiap garis, ia membangun benteng perlawanan yang tak bisa hancur oleh bom.
Baginya, kematian adalah bagian dari takdir rakyat Palestina, tetapi kebenaran adalah sesuatu yang abadi. “Akankah semua ini (Penjajahan) berakhir? Atau akankah kita tetap di sini (Gaza), menanti kematian dengan penuh harap?”.
“Setelah mengalami pengungsian berkali-kali, Kami tahu tidak ada jalan keluar. Di mana pun kamu berada, kematian akan menjemputmu.” (Mahasin, 7 Oktober 2024).
Mahasin al-Khatib, Kini tubuhmu menjadi abu, tetapi ingatanmu terus menghidupkan narasi yang ingin kau sampaikan: bahwa rakyat Palestina adalah korban, bukan pelaku. Mereka adalah manusia, bukan alat perang: “Human Shields”.
Ketika Israel terus berusaha mencuci otak dunia dengan konspirasi “human shields”, seni Mahasin menjadi saksi abadi – bahwa ada yang lebih kuat daripada bom. Lebih tajam daripada peluru. Dan tak akan pernah bisa dibungkam: Kebenaran Tuhan tentang Kemanusiaan! []