Mubadalah.id – Kelahiran anak dengan kondisi disabilitas masih sering dipandang sebelah mata. Beberapa orang memilih lebih dulu menghakimi dari pada memahami. Ada saja stigma negatif yang muncul, seperti mengaitkannya dengan sihir, azab, hingga dianggap sebagai hukuman atas dosa yang dilakukan orang tuanya, terutama ibu. Padahal anggapan seperti ini tidak hanya keliru, tetapi juga menyakitkan dan tidak berdasar.
Ketika seorang anak terlahir dengan disabilitas, maka yang perlu kita edukasi adalah orang terdekatnya. Mereka perlu memahami bahwa disabilitas bukanlah azab dari Allah, dan bukan pula hukuman untuk orang tuanya. Sayangnya stigma seperti itu masih mengakar di masyarakat, yang membuat banyak orang tua, terutama ibu, merasa bersalah atas kondisi anak mereka.
Kisah dan Realitas dari Keluarga Penyandang Disabilitas
Salah satu kisah yang mencerminkan realitas ini datang dari tante saya sendiri. Ia adalah ibu yang sangat luar biasa membesarkan anak difabel rungu wicara dengan kasih sayang dan penuh cinta. Namun, ia mendapati pernyataan yang kurang mengenakkan datang dari seorang tokoh masyarakat. Orang itu mengatakan bahwa alasan ia memiliki seorang anak disabilitas adalah buah dosa dari masa lalunya.
Konon, saat sedang mengandung, tante saya pernah secara tidak sengaja mengabaikan penggilan dari ibunya (nenek saya). Hal itu membuat nenek saya sakit hati, yang kemudian menjadi sebab ia melahirkan seorang anak tuli.
Anggapan semacam ini mencerminkan stigma negatif terhadap disabilitas masih melekat dalam masyarakat. Seolah-seolah kelahiran anak dengan kondisi disabilitas harus dikaitkan dengan kesalahan atau hukuman atas dosa masa lalu. Padahal, agamapun tidak membenarkan pandangan seperti itu.
Disabilitas dalam Perspektif Islam dan Kemanusiaan
Terlepas dari kondisinya, setiap anak yang lahir adalah amanah dan anugerah yang harus kita rawat dengan penuh cinta, bukan sebuah simbol hukuman atau balasan atas dosa orang tuanya. Pernyataan seperti itu, bisa jadi dapat menambah beban emosional bagi orang tua yang harusnya mendapatkan dukungan, bukan tuduhan.
Dalam agama islam, prinsip kesetaraan telah ditegaskan dalam Q.S Al-Hujurat ayat 13.
“Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa…”.
Seperti apa yang buya Husein sampaikan dalam acara Akademi Mubadalah 2025 di Yogyakarta. Kemuliaan seseorang tidak bergantung pada rupa, fisik, atau latar belakangnya, tetapi pada ketakwaannya. Mengartikan bahwa Allah menilai manusia bukan karena tampilan luarnya, melainkan karena kualitas hatinya.
Oleh karena itu, tidak ada alasan untuk merendahkan penyandang disabilitas sebagai manusia atau makhluk yang tidak berharga. Mereka memiliki hak yang sama untuk kita hormati dan kita perlakukan dengan adil di masyarakat. Pandangan ini selaras dengan ketiga prisip mubadalah.
Tiga Prinsip Mubadalah; Martabat, Adalah, Maslahat
Dalam perspektif mubadalah, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan tiga prinsip utama yang harus kita jadikan dasar dalam memandang sesama manusia sebagai makhluk agar tercipta visi yang rahmatal lil ‘alamiin.
Martabat, berarti memandang setiap manusia dengan nilai dan kehormatan yang sama, termasuk penyandang disabilitas. Ketika kita memahami bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama, tidak akan ada lagi ruang untuk diskriminasi dan pelecehan. Disabilitas bukanlah hukuman atau aib, melainkan bagian dari keberagaman manusia yang harus dihormati.
Prinsip Adalah dapat ditegakkan dengan memberi hak yang setara di berbagai aspek kehidupan mereka, seperti pendidikan, pekerjaan, maupun layanan publik yang aksesibel. dengan begitu, akan tercipta kebaikan bersama atau maslahat.
Menghapus stigma negatif terhadap disabilitas bukan hanya tentang keadilan sosial, tetapi juga tentang menghormati kemanusiaan secara utuh. ketika kita menerima setiap individu dengan penuh penghormatan, kita sedang membangun masyarakat yang berempati dan penuh kasih sayang. []