Mubadalah.id – Tiga hari yang lalu umat Islam bersuka cita atas Hari Raya Iduladha. Hari raya ini menjadi peringatan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim. Beliau bersedia mengorbankan putranya, Ismail, atas perintah Allah SWT. Peristiwa tersebut kemudian terabadikan dalam bentuk ibadah kurban. Di mana umat Muslim menyembelih hewan ternak sebagai bentuk ketaatan kepada Allah.
Selain itu, Iduladha juga menjadi penanda puncak ibadah haji khususnya ibadah wukuf di Arafah. Salah satu ritual Ibadah haji sendiri merupakan bentuk peringatan dari kisah Sayyidah Hajar. Sayyidah Hajar rela berlari-lari dari bukit safa ke marwah mencari air untuk Ismail.
Al-Qur’an dan Kisah Penyembelihan Ismail
Kisah Nabi Ibrahim A.S saat bersedia mengorbankan putranya, Ismail termaktub di dalam Al-Qur’an. Tercatat dalam Q.S Ash-Shaffat ayat 102 yang berbunyi:
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يٰبُنَيَّ اِنِّيْٓ اَرٰى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْٓ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرٰىۗ قَالَ يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ
Artinya: “Ketika anak itu sampai pada (umur) ia sanggup bekerja bersamanya, ia (Ibrahim) berkata, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Pikirkanlah apa pendapatmu?” Dia (Ismail) menjawab, “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu! Insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang sabar.”
Dalam tafsir tahlili, ayat tersebut menerangkan kisah di balik peringatan Iduladha. Ujian yang berat bagi Nabi Ibrahim A.S. Allah memerintahkan kepadanya agar menyembelih anak satu-satunya sebagai korban di sisi Allah. Ketika itu, Ismail mendekati masa balig atau sekitar umur 13 tahun.
Nabi Ibrahim A.S dengan hati yang sedih memberitahukan kepada Ismail tentang perintah Tuhan melalui mimpi. Dia meminta pendapat anaknya mengenai perintah itu. Perintah Tuhan itu berkenaan dengan penyembelihan diri anaknya sendiri, yang merupakan cobaan yang besar bagi orang tua dan anak.
Sesudah mendengarkan perintah Tuhan itu, Ismail dengan segala kerendahan hati berkata kepada ayahnya agar melaksanakan segala perintah kepadanya. Dia akan taat, rela, dan ikhlas menerima ketentuan Tuhan serta menjunjung tinggi segala perintah-Nya dan pasrah kepada-Nya..
Kisah penyembelihan Ismail tertulis hingga Q.S Ash-Shaffat ayat 111. Pada ayat ke-107, Allah berfirman:
وَفَدَيْنٰهُ بِذِبْحٍ عَظِيْمٍ
Artinya: “Kami menebusnya dengan seekor (hewan) sembelihan yang besar.”
Tafsir tahlili menegaskan bahwa ayat tersebut bahwa pengalaman Ibrahim dan puteranya itu merupakan batu ujian yang amat berat. Memang hak Allah untuk menguji hamba yang dikehendaki-Nya dengan bentuk ujian yang dipilih-Nya berupa beban dan kewajiban yang berat. Bila ujian itu telah ditetapkan, tidak seorang pun yang dapat menolak dan menghindarinya.
Ismail yang semula menjadi kurban untuk menguji ketaatan Ibrahim, Allah ganti dengan seekor domba besar yang putih bersih dan tidak ada cacatnya. Peristiwa penyembelihan kambing oleh Nabi Ibrahim ini yang menjadi dasar ibadah kurban atau hari raya idul adha untuk mendekatkan diri kepada Allah, dilanjutkan oleh syariat Nabi Muhammad.
Makna Berkurban: Waktunya Menyembelih Hawa Nafsu
Hikmah ibadah kurban mengajarkan ummat sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah. Berkurban juga sebagai wujud meningkatkan semangat kepedulian kepada para fakir dan miskin. Selain itu, ada satu hal yang menarik dari hikmah berkurban.
Ada satu catatan yang setiap tahun selalu saya sempatkan untuk dibaca. Catatan tersebut berasal dari akun X @adeirra seorang muslim feminis yang aktif membagikan pemikiran tentang Islam progresif.
Terlebih bagi saya saat berkurban, dengan tersembelihnya hewan kurban itu, maka tersembelihlah nafsu-nafsu hewani pada diri saya. Tersembelihlah syahwat-syahwat liar yg disematkan pada diri saya sebagai naluri kebinatangan.
Sebab, Setiap kita adalah Ibrahim. Setiap yang kita miliki adalah Ismail. Maka akuilah segala kesalahan pada diamnya kepahaman hingga kita mampu menyembelih tengkuk nafsu kepemilikan dan melemparkan syahwat kehinaan.
Adeirra mencoba untuk mengingatkan bahwa makna berkurban pada idul adha juga menjadi ajang untuk muhasabah diri. Khususnya pada cara mengelola hawa nafsu. Tersembelihnya hewan kurban menjadi simbol dari tersembelihnya nafsu-nafsu hewani dalam diri manusia.
Nafsu untuk memiliki secara tamak, mendominasi tanpa empati dan mengutamakan diri sendiri. Nafsu-nafsu tersebut yang membuat manusia terpisah dari fitrah bersih dan berakal.
Setiap Kita adalah Ibrahim, Setiap Ibrahim punya Ismail
Jauh dari makna untuk “sekedar” berkurban, kisah pengorbanan Ibrahim A.S dalam hari raya idul adha memiliki hikmah yang sangat luar biasa. Rasanya, jika saya menempatkan menjadi Nabi Ibrahim A.S pun rasanya akan sangat berat untuk melepaskan putra yang tersayang.
Namun, Al-Qur’an memberikan pengajaran bahwa kisah Ibrahim bukan hanya perintah untuk menyembelih hewan ternak. Al-Qur’an sedang memberi pengajaran bahwa Allah sedang menguji kepemilikan Nabi Ibrahim A.S. Seketika saya membaca kembali satu catatan yang saya temukan di media sosial.
Dulu aku belum paham makna Iduladha. Lalu aku bertemu tulisan ini, entah siapa yang menulis : “Setiap kita adalah Ibrahim. Ibrahim punya ‘Ismail!’ Ismailmu mungkin hartamu. Ismailmu mungkin jabatanmu. Ismailmu mungkin gelarmu. Ismailmu mungkin egomu. Ismailmu adalah sesuatu yang kau sayangi dan kau pertahankan di dunia ini.
Ibrahim tidak diperintah Allah untuk membunuh Ismail. Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa ‘kepemilikan’ terhadap Ismail karena hakikatnya semua adalah milik Allah.” Iduladha adalah tentang percaya dan ikhlas, dua hal yang sungguh berat. Banyak hal- hal yang dulu biasa sekarang terasa ‘mewah.’ Banyak yang kita rasa sudah jadi bagian hidup kita namun ternyata harus kita lepas.
Dari kedua catatan tersebut, salah satu bentuk pengajaran yang bisa kita ambil adalah bahwa seluruh yang kita miliki adalah kepunyaan Allah. Momen Iduladha mengajarkan bahwa Allah tidak memerintahkan Ibrahim untuk membunuh Ismail, melainkan untuk mengikis rasa kepemilikan atasnya.
Sebab sejatinya, segala sesuatu hanyalah titipan dari Allah. Maka, sudah menjadi kewajiban agar kita tidak mudah bersombong atas segala sesuatu yang kita punya. []