Mubadalah.id – Ada kitab hadis yang tidak hanya kita baca, tetapi menyentuh dan menggerakkan hati. Sittin al-Adliyah karya Dr. KH. Faqihuddin Abdul Kodir, atau yang lebih terkenal dengan sapaan “Kang Faqih”, adalah salah satunya. Kitab ini menghimpun 60 hadis Nabi Muhammad Saw yang berporos pada nilai-nilai keadilan relasi, terutama dalam lingkup keluarga dan kehidupan sosial.
Selama kurang lebih satu tahun terakhir, hadis-hadis dalam kitab tersebut akhirnya rampung dibacakan satu demi satu dalam pengajian bersama santri putri. Mudah-mudahan, bukan sekadar membaca, tetapi juga mampu menyelami, merenungi, serta memaknainya dalam konteks kehidupan nyata.
Kitab Sittin al-Adliyah adalah jendela yang mampu membuka mata batin untuk melihat kembali bagaimana kasih sayang, keadilan, dan penghormatan terhadap sesama seharusnya dihadirkan dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap pertemuan dengan kitab ini serasa menjadi ruang hening yang mengajak kembali kepada fitrah hubungan antarmanusia yang penuh cinta, hormat, dan tanggung jawab.
Hadis-hadisnya tidak hadir dengan suara keras, melainkan dengan kehangatan. Redaksinya tidak menghakimi, tetapi mengajak untuk merenung. Pesan-pesannya tidak cuma menyentuh nalar, tetapi juga menggugah nurani.
Menumbuhkan Kesadaran
Betapa agung ajaran Nabi Muhammad Saw tentang hubungan antarmanusia. Dalam satu sabdanya yang begitu lekat di hati, Rasulullah Saw bersabda:
عن أبي هريرة. قال: المسلم أخو المسلم. لا يظلمه، ولا يخذله، ولا يحقره. التقوى ههنا” ويشير إلى صدره ثلاث مرات “بحسب امرئ من الشر أن يحقر أخاه المسلم. كل المسلم على المسلم حرام. دمه وماله وعرضه
“Sesama muslim adalah bersaudara yang tidak boleh menzalimi satu sama lain, enggan menolongnya, serta tidak boleh meremehkannya. Adapun takwa letaknya di sini,’ seraya Nabi menunjuk ke dadanya sebanyak tiga kali. ‘Cukuplah seseorang itu dalam kejelekan ketika ia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim terhadap muslim lainnya haram dan terjaga darah, harta, dan kehormatannya.” (HR. Muslim)
Begitu luhur pesan yang terkandung. Bahwa kehormatan manusia tidak dapat diremehkan atas alasan apapun. Dalam rumah tangga, dalam lingkungan tempat tinggal, atau dalam relasi sosial yang lebih luas, menjaga harga diri orang lain adalah bagian dari ketakwaan.
Kitab ini menghadirkan hadis-hadis yang menumbuhkan kesadaran baru. Bukan untuk menggugat masa lalu, melainkan untuk menumbuhkan pengertian yang lebih jernih terhadap warisan luhur ajaran Islam. Dalam pengasuhan anak, dalam pergaulan, dalam menghadapi perbedaan, dalam menanggapi perbedaan watak dan suara, semua memerlukan bekal akhlak dan adab yang mulia.
Rasulullah Saw juga bersabda:
عَنْ جَابِر بن عبد الله رضى الله عنه أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم – قَالَ «إن من أحبكُمْ إِلي وَأَقْرَبَكُمْ مِنّى مَجْلِسًا يوم الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلاَقَا وَإِنَّ أبْعضَكُمْ إِلَى وَأَبْعَدَكُمْ مِنّى مَجْلِسًا يوم الْقِيَامَةِ الثرثارُونَ والمتشدقون وَالْمُتَفَيهِقُونَ
“Orang yang paling aku cintai dan paling dekat dengan tempatku kelak di hari kiamat adalah mereka yang memiliki akhlak mulia. Sementara orang yang paling aku benci dan tempatnya paling jauh dariku kelak di hari kiamat adalah mereka yang keras dan rakus, suka menghina, dan sombong.” (HR. Tirmidzi)
Pesan ini melampaui sekadar ajakan menjadi baik. Wasiat Nabi ini menegaskan bahwa akhlak adalah jembatan menuju kecintaan Rasulullah Saw dan tempat terhormat di akhirat kelak. Dalam rumah tangga, akhlak menjadi nafas yang menjaga ketenteraman. Dalam masyarakat, adab menjadi penopang harmoni.
Kitab Sittin al-Adliyah menghidupkan kembali kesadaran bahwa relasi sosial tidak semata-mata dibangun oleh aturan, tetapi oleh rasa. Mulai dari rasa hormat, empati, kasih sayang, dan keadilan. Rasa itu tumbuh bukan dalam ruang-ruang besar, melainkan di tengah interaksi sehari-hari, bisa di ruang makan, di teras rumah, di pasar, maupun dalam percakapan antaranggota keluarga.
Salah satu hadis yang mematri pesan penting tentang relasi paling intim dan sekaligus paling sering teruji, yakni dalam pernikahan, disampaikan oleh Rasulullah Saw:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ لِنِسَائِهِمْ
“Imannya orang mukmin yang paling sempurna adalah yang paling apik akhlaknya. Dan lelaki yang terbaik di antara kalian adalah yang paling baik kepada istri-istrinya.” (HR. Tirmidzi).
Akhlak sebagai Standar Keimanan
Sebait sabda, sedalam samudra makna. Hadis ini tidak berbicara tentang romantisme kosong, melainkan tentang komitmen, kelembutan, dan penghormatan dalam kehidupan bersama. Hadis tersebut juga mengajak siapapun untuk menjadikan akhlak sebagai tolok ukur keimanan, dan relasi dengan pasangan sebagai cerminan dari kualitas diri yang sejati.
Meski begitu, penting kita sadari pula bahwa menjaga kehormatan bukan berarti memanjakan atau memenuhi seluruh keinginan pasangan secara membabi buta. Apalagi jika itu sampai membebani orang lain, seperti menyusahkan orang tua atau mertua atas nama “membahagiakan pasangan (istri/suami)”. Itu bukanlah wujud cinta yang adil, melainkan bentuk relasi yang kehilangan orientasi maslahat.
Setelah perjalanan panjang mengkaji kitab hadis ini, terasa hadir semacam pergeseran dalam cara memandang kehidupan. Bukan hanya dari segi ilmu, melainkan dari kematangan batin. Lebih jelasnya, ketika segala kandungannya bukan hanya dihafalkan sebagai slogan, tetapi terus kita upayakan sebagai laku hidup.
Kitab Sittin al-Adliyah adalah jejak yang harus kita tanamkan dalam hati, dalam tutur, dalam perilaku. Kitab ini perlu kita jadikan semacam benih yang sepatutnya tersemai di tanah-tanah harapan, agar kelak, saat para santri telah berada di tengah masyarakat, mampu menghadirkan Islam dengan wajah ramah, lembut, berkeadilan, dan membahagiakan.
Kasih yang tersemai lewat hadis-hadis ini tak mengenal batas usia, tidak terbatas pada ruang pesantren. Sittin al-Adliyah hadir sebagai bekal sepanjang hayat, untuk siapa pun yang ingin berjalan di jalan kebaikan, dalam rumah yang damai, di tengah masyarakat yang adil, dan menuju akhirat yang penuh ridha.
Wallahu a’lam bis-shawab. []