Mubadalah.id – Untuk kesekian kalinya, pemerintahan Indonesia tidak berhasil memberikan hak kepada rakyatnya terkhusus dalam memberikan keadilan. Tragedi perkosaan massal yang memakan puluhan korban, sama sekali tidak diakui kejadiannya oleh pemerintah. Hal ini disampaikan Menteri Kebudayaan Fadli Zon, dalam sebuah wawancara dengan jurnalis senior Uni Lubis.
Dalam wawancara tersebut Fadli Zon menyatakan bahwa tidak pernah ada perkosaan masal pada Mei 1998, ia menganggap bahwa tidak pernah ada cerita dan fakta yang nyata. Ia juga menyertakan bahwa tidak pernah ada sejarah yang ditulis mengenai perkosaan masal ini.
Pernyataan ini muncul dari seorang Mentri Kebudayaan yang seharusnya memvalidasi fakta sejarah yang sesungguhnya benar terjadi. Sebagai sesama perempuan saya sangat marah mendengar hal ini.
Karena menjadi penyintas kekerasan seksual adalah pengalaman yang sangat buruk bagi seorang perempuan. Proses pemulihannya membutuhkan waktu yang tidak singkat. Apalagi yang terjadi pada Mei 1998 adalah tubuh perempuan yang dilecehkan, diperkosa, dianiaya lalu dibakar semena-mena.
Sangat ironis, saat ini saya menyaksikan pejabat publik tidak mengadili para pelaku tragedi ini. Justru yang terjadi adalah keinginan untuk menghapusnya dari fakta sejarah dengan dalih tidak menemukan bukti sejarah yang mencatat hal tersebut.
Apakah Benar Tidak Ada Bukti dari Tragedi Perkosaan Masal Mei 1998?
Melansir dari Amnesty.id, hasil dokumentasi dan penyelidikan yang dilakukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, yang dibentuk oleh Presiden B.J. Habibie pada bulan Juli 1998 mencatat adanya tindakan kekerasan seksual yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya, Medan dan Surabaya dalam peristiwa Mei 1998.
TGPF membagi kategori bentuk kekerasan seksual menjadi beberapa kategori, yaitu 52 korban perkosaan, 14 korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan/penganiayaan seksual dan 9 korban pelecehan seksual.
Data ini TGPF dapat dari sejumlah bukti dari keterangan korban, keluarga korban, saksi mata dan saksi lainnya seperti perawat, psikiater, pendamping rohaniawan, psikolog hingga keterangan dokter. Besar kemungkinan angkanya lebih besar karena masih banyak korban yang tidak melaporkan kasusnya.
Tragedi perkosaan massal terjadi bersama dengan kerusuhan Mei 1998. Kompas.com mencatat bahwa fakta gelap era reformasi benar adanya, ketika massa demonstrasi mengakibatkan kerusuhan di sejumlah kota besar menimbulkan kekerasan pelecehan dan pemerkosaan terhadap perempuan secara massal. Yang mana mayoritas korban berasal dari masyarakat etnis Tionghoa.
Tragisnya para pelaku tidak berhenti pada memperkosa korban saja, justru mereka membunuh korban. Aksi ini mereka lakukan secara bersamaan dengan pengrusakan, penjarahan dan pembakaran rumah, pertokoan hingga kendaraan di jalan raya.
Data-data ini menunjukkan bahwa tragedi perkosaan massal 1998 benar terjadi. Penyangkalan atas kekerasan seksual ini sama saja dengan mengingkari semangat reformasi.
Lalu Bagaimana Pemerintah Bersikap Terhadap Para Penyintas?
Para penyintas tragedi pekosaan massal merupakan orang-orang yang sangat rentan. Dalam Islam pemerintah adalah ulil amri yang seharusnya mengurus kemashlahatan umat, serta mempunyai kewenangan dalam mengatur suatu pemerintahan. Sebagaimana perintah Allah SWT untuk melindungi kalangan yang rentan dan dilemahkan:
وَمَا لَكُمْ لَا تُقَاتِلُوْنَ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَالْمُسْتَضْعَفِيْنَ مِنَ الرِّجَالِ وَالنِّسَاۤءِ وَالْوِلْدَانِ الَّذِيْنَ يَقُوْلُوْنَ رَبَّنَآ اَخْرِجْنَا مِنْ هٰذِهِ الْقَرْيَةِ الظَّالِمِ اَهْلُهَاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ وَلِيًّاۚ وَاجْعَلْ لَّنَا مِنْ لَّدُنْكَ نَصِيْرًا
Artinya: Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah dari (kalangan) laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berdoa, “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Makkah) yang penduduknya zalim. Berilah kami pelindung dari sisi-Mu dan berilah kami penolong dari sisi-Mu.” (QS. an-Nisa ayat 75)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai perintah Allah kepada orang mukmin untuk melindungi dan menyelamatkan orang-orang yang lemah.
Melansir dari laman Islami.co, Mutawalli al-Sya’rawi menjelaskan bahwa asbabun nuzul ayat ini berkisah mengenai orang-orang Islam yang mengalami penindasan, penyiksaan yang tidak bisa keluar dari Mekkah.
Bahkan perlu ditekankan juga bahwa makna mustadh’afin tidak dibatasi ruang lingkupnya pada masyarakat muslim saja. Melainkan dapat dimaknai sebagai orang-orang lemah dengan lintas keyakinan dengan berbagai macam perbedaan.
Dalam konteks ini, dengan melihat klaim yang Menteri Kebudayaan sampaikan. Maka dengan memberikan perlindungan kepada penyintas dengan ikut serta menyuarakan tragedi 1998 menjadi sangat penting, agar sejarah kekerasan seksual yang tidak pernah kita lupakan.
Adapun penegakan keadilan terhadap perempuan-perempuan penyintas selayaknya menjadi perhatian utama pemerintah. Sebagaimana yang telah Presiden B. J. Habibie tegaskan bahwa tragedi ini telah mencoreng nama bangsa Indonesia sebagai masyarakat yang beragama dan bermoral.
Maka dari itu seharusnya pemerintah menindaklanjuti tragedi dengan menghukum pelaku, dan memberikan keadilan kepada korban. Hal ini sebagai bukti bahwa negara mampu bertanggung jawab atas sejarah kelam era reformasi. []