Mubadalah.id – Pernikahan adalah persoalan pilihan pasangan hidup, yang tentu harus dikembalikan kepada kedua calon mempelai. Dalam fiqh sendiri sudah dinyatakan bahwa persoalan pilihan ini bertumpu pada kedewasaan dan kematangan seseorang (al-bulugh wa ar-ruhsd), bukan pada jenis kelamin.
Dalam arti lain, ketika seseorang telah sampai pada tingkat tertentu yang mengindikasikan kedewasaan dan kematangan. Maka ia berhak untuk menentukan pilihan yang menyangkut dirinya.
Kedewasaan dalam fiqh misalnya bisa kita indikasikan dengan beberapa hal, tumbuhnya bulu kelamin, menstruasi, mimpi basah, dan umur tertentu. Tentu setiap masyarakat bisa menentukan sendiri kapan seseorang sudah bisa kita anggap dewasa dan matang.
Karena itu, ijtihad fiqh yang kita pilih saat ini, haruslah ijtihad yang mendasarkan pada kemanusiaan perempuan. Bahwa perempuan itu memiliki kapasitas yang sama dalam hal memilih pasangan. Sehingga tidak perlu lagi ada pandangan yang membolehkan wali atau siapapun untuk memaksakan perkawinan kepada perempuan.
Begitu juga masalah pengelolaan rumah tangga, rumusan fiqh yang kita pilih harus yang memandang martabat kemanusiaan perempuan, yang memiliki kemampuan sekaligus keterbatasan.
Seni Pengelolaan Kehidupan
Kehidupan berumah tangga pada dasarnya adalah seni pengelolaan kehidupan untuk meraih kesejahteraan. Seni yang seharusnya berdasarkan pada cinta kasih kedua belah pihak, suami dan istri. Dari cinta kasih ini lahir komitmen untuk saling berbagi dalam menyelesaikan persoalan dan menunaikan tugas-tugas rumah tangga.
Pembagian ini tentu tidak bisa atas dasar jenis kelamin. Tetapi atas dasar kesempatan dan kemampuan. Karena mungkin saja, seseorang dengan jenis kelamin tertentu, pada kondisi tertentu, tidak memiliki keahlian dan kemampuan untuk menunaikan tugas rumah tangga.
Karena itu, ijtihad fiqh yang kita pilih, adalah ijtihad yang memandang pembagian pekerjaan rumah tangga, kewajiban, maupun tugas-tugas harian, dengan berdasarkan pada keahlian dan kemampuan, bukan pada jenis kelamin (QS. al-Baqarah, 2: 286).
Asumsi bahwa pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban perempuan, apalagai kodrat, adalah sepenuhnya salah. Betapa Nabi Muhammad Saw telah mencontohkan bahwa di dalam rumah beliau selalu melakukan kerja-kerja rumah tangga, menjahit baju dan sandal, memerah susu, melayani isteri dan melakukan pekerjaan-pekeraan rumah lain. (Mahmud Abu Syuqqah, 1991: juz VI, hal. 130). []
Sumber: Buku Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah karya Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.