Fikih selama ini belum sepenuhnya mengakui seksualitas perempuan sebagai bagian dari identitasnya secara utuh.
Mubadalah.id – Konstruksi sosial yang timpang terhadap perempuan tidak hanya mengakar dalam budaya. Tetapi juga merembes ke dalam pemikiran keagamaan termasuk dalam Islam.
Dalam banyak tradisi agama, perempuan memang kerap diagungkan secara retoris. Namun dalam praktiknya, perempuan sering kali dijadikan objek bagi berbagai kepentingan di luar dirinya.
Hal ini terutama terlihat dalam cara seksualitas perempuan dipahami dan diatur dalam bangunan hukum Islam, atau yang dikenal sebagai fikih hasil ijtihad para ulama terhadap teks-teks suci al-Qur’an dan Hadis.
Sebagaimana Dr. Faqihuddin Abdul Kodir sampaikan dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, fikih selama ini belum sepenuhnya mengakui seksualitas perempuan sebagai bagian dari identitasnya secara utuh. Perempuan tidak ia pandang sebagai manusia, yang memiliki hak seksual setara sebagaimana laki-laki.
Seksualitas perempuan baik sebagai identitas diri (self identity), tindakan seksual (sex action), perilaku seksual (sexual behavior), maupun orientasi seksual (sexual orientation) masih berada di bawah kendali laki-laki.
Salah satu contoh nyata adalah perbedaan pandangan dalam fikih tentang hak istri terhadap hubungan seksual. Menurut Faqihuddin, terdapat pandangan dominan yang menyatakan bahwa suami tidak berkewajiban memenuhi kebutuhan seksual istrinya. Seks adalah hak penuh hak suami, sementara hak istri hanya pada penerimaan nafkah harta.
Bahkan dalam kaidah fikih klasik ada istilah an-nafaqah fi muqabalat al-budh yang berarti bahwa nafkah harta sebagai imbalan atas layanan seksual istri.
Laknat Malaikat
Dalam kerangka ini, apabila istri menolak ajakan suami, ia bisa mendapat laknat dari malaikat. Namun jika suami menolak keinginan seksual istri, tak ada sanksi moral ataupun spiritual.
Jika benar fikih dipahami dan dijalankan dengan cara seperti ini. Maka seksualitas perempuan telah direduksi menjadi pelengkap bagi seksualitas laki-laki.
Ia tidak memiliki otoritas atas tubuh dan hasratnya sendiri. Ia didefinisikan, dipersepsikan, dan dikontrol untuk kepentingan pihak lain. Bahkan dalam beberapa kasus, seksualitas perempuan disembunyikan dan ditekan karena dianggap mengancam struktur sosial yang telah mapan.
Fikih semacam ini, secara langsung maupun tidak, telah berkontribusi pada pelanggengan ketimpangan relasi gender dalam masyarakat.
Padahal Islam turun sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) dan menegakkan keadilan sosial (al-‘adlu huwa aqrabu li al-taqwa).
Maka sudah saatnya muncul pemikiran-pemikiran keagamaan baru yang lebih berkeadilan dan memuliakan martabat perempuan sebagai manusia seutuhnya. Fikih tidak boleh berhenti sebagai instrumen pelestari norma lama, tetapi harus menjadi alat pembebasan dan pemanusiaan. []