• Login
  • Register
Senin, 2 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah

Gender tidak Jauh-Jauh dari Islam Kok!

Rifaatul Mahmudah Rifaatul Mahmudah
12/10/2020
in Khazanah, Pernak-pernik
0
340
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Banyak sekali pengalaman orang yang belajar gender dianggap tidak sesuai ajaran Islam, sehingga dianggap keluar pemikirannya. Produk-produk pemikiran tentang feminisme dan gender dianggap dari barat. Maka sebagai orang muslim tidak sepatutnya belajar feminisme. Padahal esensi, nilai-nilai dan spirit yang dibawa oleh feminisme ini adalah nilai-nilai yang positif dan memanusiakan manusia, khususnya manusia yang dimarginalkan dan dinomorduakan. Dalam banyak konteks, pengalaman-pengalaman perempuanlah yang sering menjadi korban, tanpa menafikan pengalaman laki-laki yang sering juga menjadi korban stereotyping.

Beberapa waktu lalu, dalam sebuah kesempatan pelatihan media sosial berbasis kesetaraan gender di Tebuireng, Jombang. Peserta diberi kesempatan untuk “bersuara”, menceritakan pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan dari budaya patriarki. Ada peserta laki-laki yang bercerita, bahwa ia menjadi korban stereotyping oleh para tetangganya karena mengerjakan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang biasanya oleh warga sekitarnya dikerjakan oleh perempuan.

Waktu itu karena kedua orang tuanya tidak berada di rumah, jadi laki-laki ini yang mengambil air, yang biasanya dikerjakan oleh perempuan. Ia pun menjadi omongan tetangga. Laki-laki ini heran, apa yang salah. Pekerjaan rumah tangga baginya tidak terikat oleh jenis kelamin tertentu. Namun, tidak demikian bagi para tetangganya.

Ini adalah contoh sebagian kecil bahwa tidak hanya perempuan, laki-laki juga berpotensi menjadi korban, hasil adanya nilai-nilai ketidaksetaraan gender dari budaya patriarki yang sudah mengurat akar, seolah-olah sudah menjadi kebenaran yang tidak bisa diganggu gugat. Bisa jadi mereka yang mengatakan belajar gender adalah sebuah hal yang keluar, bisa jadi juga mereka telah nyaman dilayani mulai dari bangun tidur sampai menjelang tidur oleh perempuan.

Bukankah pekerjaan rumah tangga adalah pekerjaan bersama yang bisa dikerjakan siapa saja yang ada di dalam rumah. Belum lagi untuk melegitimasi, banyak yang bilang perempuan sholehah itu perempuan yang bisa masak, dan mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah. Kok rasa-rasanya lelah sekali menjadi perempuan? Belum ketika perempuan memiliki pilihan untuk berkarir, tapi tugas rumah tangga tetap harus diatasi ia seorang diri.

Baca Juga:

Mengenal Perbedaan Laki-laki dan Perempuan secara Kodrati

Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual

Etika Sosial Perempuan dalam Masa ‘Iddah

Refleksi Buku Umat Bertanya, Ulama Menjawab: Apakah Perempuan Tak Boleh Keluar Malam?

Pemahaman yang tumpang tindih antara gender dan jenis kelamin (seks) inilah yang melatarbelakangi. Banyak yang menyangka, ketika perempuan lahir ia telah membawa beban tanggung jawab untuk urusan dapur, sumur, dan kasur kelak ketika ia dewasa, karena ketiga hal itu dianggap sebagai kodrat.

Padahal seperti yang telah kita ketahui, itulah yang dinamakan gender. Pemberian label dan peran oleh masyarakat. Hal-hal yang seharusnya bisa dikerjakan oleh laki-laki dan perempuan, kemudian dibebankan kepada salah satu. Sederhananya, masyarakat membentuk bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan. Alhasil, individu yang tidak melakukan hal-hal sesuai ekspektasi dan harapan sosial akan dianggap nyeleneh bahkan disisihkan.

Secara istilah, memang akar sejarah feminisme muncul di Barat. Tapi nilai-nilai yang mengandung kesetaraan dan keadilannya untuk manusia sudah jauh ada di dunia Islam, bahkan kalau boleh dibilang justru sangat islami nilai-nilai kemanusiaannya, nilai-nilai emansipasi dan penghargaan serta pembelaan kepada kelompok lemah. Intinya, ada spirit yang sama yaitu untuk membongkar ketidakadilan.

Melihat bagaimana saat Islam turun membawa semangat mengangkat derajat kelompok lemah, dalam konteks ini perempuan. Era pra-Islam adalah era di mana banyak terjadi ketidakadilan, diskriminasi, terhadap perempuan. Perempuan dianggap rendah dan sumber aib. Budaya membunuh bayi perempuan karena tidak dapat diandalkan dan menjadi sumber kehinaan dan aib bagi keluarga.

Perempuan tidak mendapat hak waris, justru diwariskan. Poligami tanpa batas jumlah karena perempuan dianggap sebagai objek. Lantas, Islam turun dengan perlahan membawa semangat mengangkat derajat perempuan dan menghapus segala macam bentuk diskriminasi, bahwa perempuan adalah manusia seutuhnya bukan sebagai makhluk kelas dua, yang memiliki hak-hak yang sama sebagai manusia.

Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13 telah dengan jelas mengangkat persamaan ini serta menghilangkan segala bentuk diskriminasi dan ketidakadilan, “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesunguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”

Jelas bahwa adanya perbedaan jenis kelamin bukan lantas membedakan tingkat derajat sebagai manusia, karena yang membedakan keduanya, laki-laki dan perempuan, adalah kadar ketakwaannya. Pandangan perempuan makhluk yang lemah lembut, lantas dikonstruk sebagai makhluk lemah, tidak berdaya, tergantung, sehingga banyak perempuan yang merasa kurang percaya diri dan merasa rendah. Kondisi ini dimanfaatkan oleh pihak yang lebih berkuasa dan merasa lebih kuat untuk melanggengkan posisinya.

Jika kita ingat kisah Ummu Salamah, kisah ini terdapat di dalam bukunya Fatima Mernissi, Wanita di dalam Islam, yang bertanya kepada Rasulullah, “Mengapa hanya laki-laki yang disebutkan di dalam al-Qur’an, sementara kami tidak?”. Lantas ketika Ummu Salamah menyisir rambutnya, ia mendengar suara Rasulullah membacakan ayat yang berkaitan dengan pertanyaannya dalam surah al-Ahzab ayat 35. Jawaban Allah kepada Ummu Salamah sangat jelas: Allah menyebut dua jenis kelamin dalam kedudukan yang sama, yaitu seorang yang beriman dan sebagai anggota masyarakat.

Kalau memang istilah feminisme dianggap tidak islami karena dari Barat, di Indonesia ada kok konsep dengan nilai-nilai yang sama, yang memperjuangkan hak-hak kemanusiaan, sebuah tawaran konsep yang sangat signifikan untuk diaplikasikan, dan istilahnya islami banget yaitu mubadalah (konsep kesalingan).

Menariknya, konsep ini tidak hanya bisa diberlakukan untuk relasi laki-laki dan perempuan, orang tua dan anak misalnya, jika ingin mendidik dan menginginkan anak baik, maka orang tua juga harus baik terlebih dahulu, baik tingkah lakunya terhadap anak, baik ucapannya, dan relasi sosial lainnya.

Inilah konsep kesalingan yang menjadikan manusia lebih dihargai dan diangkat derajatnya, saling menghargai, saling memahami, saling membantu, dan kesalingan positif lainnya. Itulah esensi dari nilai-nilai kesetaraan dan keadilan untuk hidup yang bahagia serta membahagiakan. []

 

 

 

 

Tags: feminismeGenderkemanusiaanKesalinganMubadalahperempuan
Rifaatul Mahmudah

Rifaatul Mahmudah

Terkait Posts

Hijab

Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an

1 Juni 2025
Jilbab

Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

1 Juni 2025
Sukainah

Tren Mode Rambut Sukainah

31 Mei 2025
IUD

Bagaimana Hukum Dokter Laki-laki Memasangkan Kontrasepsi IUD?

31 Mei 2025
Kodrati

Mengenal Perbedaan Laki-laki dan Perempuan secara Kodrati

31 Mei 2025
Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

30 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Jilbab

    Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Hijab dan Jilbab dalam al-Qur’an
  • Ketika Jilbab Menjadi Alat Politik dan Ukuran Kesalehan
  • Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila
  • Luka Ibu Sebelum Suapan Terakhir (Bagian 1)
  • Tren Mode Rambut Sukainah

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID