Kamis, 7 Agustus 2025
  • Login
  • Register
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

    PIT SUPI

    Mengglobal: SUPI ISIF Jalani PIT di Malaysia dan Singapura

    Ma'had Aly Kebon Jambu

    S.Fu: Gelar Baru, Tanggung Jawab Baru Bagi Lulusan Ma’had Aly Kebon Jambu

    Wisuda Ma'had Aly Kebon Jambu

    Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu Soroti Fiqh al-Usrah dan SPS sebagai Distingsi Wisuda ke-5

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Dunia untuk Difabel

    Bagaimana Jika Kita Merancang Dunia untuk Difabel?

    Cantik

    “Cantik”, Tak Lebih Dari Sekadar Konstruksi Ontologis Sempit

    One Piece

    One Piece dan Gerakan Sosial: Membaca Pesan Kebebasan dan Keadilan melalui Kaca Mata Islam

    Fitrah Anak

    Cokelat, Kopi dan Secuil Catatan Pengasuhan: Refleksi tentang Fitrah Anak

    Hubungan Seks

    Memahami Hubungan Seks dalam Pernikahan

    Bendera One Piece

    Pengibaran Bendera One Piece: Bentuk Ekspresi atau Makar?

    Masjid Desa

    Masjid Desa yang Tak Inklusif: Bukankah Idealnya Masjid Itu Rumah Semua Orang?

    Bendera Merah Putih

    Tentang Bendera Merah Putih dan One Piece

    Wedding Dream

    Wedding Dream Kita Tak Sama

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Ibu Berdoa

    Ingin Anak Saleh dan Salehah? Ayah dan Ibu Berdoa Sejak dalam Kandungan

    persaudaraan

    Misi Islam Adalah Persaudaraan Antar Umat Beragama

    Tingkah Laku Sopan

    Pembiasaan Tingkah Laku Sopan Santun

    Tingkah Laku

    Pembiasaan Pada Pola Tingkah Laku Konstruktif

    Psikologis Anak

    Perjalanan Psikologis Usia Anak Menuju Dewasa

    Keberagaman

    Pentingnya Membekali Anak untuk Terus Menghargai Keberagaman

    Lingkungan Anak

    Pentingnya Lingkungan Sosial yang Sehat bagi Anak

    Sehat dan

    Konsep Sehat Walafiat dan Halalan Thayyiban

    Nilai Akhlak

    6 Nilai Akhlak Penting untuk Diajarkan kepada Anak

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
    Musawah Art Collective

    Lawan Pernikahan Anak Lewat Seni: Musawah Art Collective Gelar Trip Exhibition “Breaking the Chain” di Tiga Kota

    Krisis Iklim

    Green Youth Quake: Pemuda NU dan Muhammadiyah Bergerak Lawan Krisis Iklim

    ‘Aisyiyah Bojongsari

    ‘Aisyiyah Bojongsari Rayakan HAN dan Milad ke-108 Lewat Lomba dan Diskusi

    KOPRI

    Buka Perspektif Geopolitik Kader Perempuan, KOPRI Bedah Buku 75 Tahun Indonesia Tiongkok

    Pengelolaan Sampah

    Ulama Perempuan Serukan Pelestarian Alam dan Pengelolaan Sampah Berkelanjutan

    PIT Internasional

    ISIF Buka Kolaborasi Akademik Global Lewat PIT Internasional

    PIT SUPI

    Mengglobal: SUPI ISIF Jalani PIT di Malaysia dan Singapura

    Ma'had Aly Kebon Jambu

    S.Fu: Gelar Baru, Tanggung Jawab Baru Bagi Lulusan Ma’had Aly Kebon Jambu

    Wisuda Ma'had Aly Kebon Jambu

    Mudir Ma’had Aly Kebon Jambu Soroti Fiqh al-Usrah dan SPS sebagai Distingsi Wisuda ke-5

  • Kolom
    • All
    • Keluarga
    • Personal
    • Publik
    Dunia untuk Difabel

    Bagaimana Jika Kita Merancang Dunia untuk Difabel?

    Cantik

    “Cantik”, Tak Lebih Dari Sekadar Konstruksi Ontologis Sempit

    One Piece

    One Piece dan Gerakan Sosial: Membaca Pesan Kebebasan dan Keadilan melalui Kaca Mata Islam

    Fitrah Anak

    Cokelat, Kopi dan Secuil Catatan Pengasuhan: Refleksi tentang Fitrah Anak

    Hubungan Seks

    Memahami Hubungan Seks dalam Pernikahan

    Bendera One Piece

    Pengibaran Bendera One Piece: Bentuk Ekspresi atau Makar?

    Masjid Desa

    Masjid Desa yang Tak Inklusif: Bukankah Idealnya Masjid Itu Rumah Semua Orang?

    Bendera Merah Putih

    Tentang Bendera Merah Putih dan One Piece

    Wedding Dream

    Wedding Dream Kita Tak Sama

  • Khazanah
    • All
    • Hikmah
    • Hukum Syariat
    • Pernak-pernik
    • Sastra
    Ibu Berdoa

    Ingin Anak Saleh dan Salehah? Ayah dan Ibu Berdoa Sejak dalam Kandungan

    persaudaraan

    Misi Islam Adalah Persaudaraan Antar Umat Beragama

    Tingkah Laku Sopan

    Pembiasaan Tingkah Laku Sopan Santun

    Tingkah Laku

    Pembiasaan Pada Pola Tingkah Laku Konstruktif

    Psikologis Anak

    Perjalanan Psikologis Usia Anak Menuju Dewasa

    Keberagaman

    Pentingnya Membekali Anak untuk Terus Menghargai Keberagaman

    Lingkungan Anak

    Pentingnya Lingkungan Sosial yang Sehat bagi Anak

    Sehat dan

    Konsep Sehat Walafiat dan Halalan Thayyiban

    Nilai Akhlak

    6 Nilai Akhlak Penting untuk Diajarkan kepada Anak

  • Rujukan
    • All
    • Ayat Quran
    • Hadits
    • Metodologi
    • Mubapedia
    Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Menjadi Insan Bertakwa dan Mewujudkan Masyarakat Berkeadaban di Hari Kemenangan

    Idul Fitri

    Teks Khutbah Idul Fitri 1446 H: Merayakan Kemenangan dengan Syukur, Solidaritas, dan Kepedulian

    Membayar Zakat Fitrah

    Masihkah Kita Membayar Zakat Fitrah dengan Beras 2,5 Kg atau Uang Seharganya?

    Ibu menyusui tidak puasa apa hukumnya?

    Ibu Menyusui Tidak Puasa Apa Hukumnya?

    kerja domestik adalah tanggung jawab suami dan istri

    5 Dalil Kerja Domestik adalah Tanggung Jawab Suami dan Istri

    Menghindari Zina

    Jika Ingin Menghindari Zina, Jangan dengan Pernikahan yang Toxic

    Makna Ghaddul Bashar

    Makna Ghaddul Bashar, Benarkah Menundukkan Mata Secara Fisik?

    Makna Isti'faf

    Makna Isti’faf, Benarkah hanya Menjauhi Zina?

  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

“Cantik”, Tak Lebih Dari Sekadar Konstruksi Ontologis Sempit

Cantik tak seharusnya jadi ukuran nilai seorang perempuan. Ia bisa menjadi ekspresi keberanian menolak.

Siti Roisadul Nisok Siti Roisadul Nisok
7 Agustus 2025
in Personal
0
Cantik

Cantik

28
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Mirror, mirror on the wall, who’s the fairest of them all ?

Mubadalah.id – Waktu kecil, saya sangat menyukai karakter-karakter Disney Princess, terutama Snow White. Maka tak heran kalau kalimat itu terasa begitu familiar di telinga saya. Kalimat itu memang muncul dari dongeng, tapi hari ini, ia hidup dalam benak banyak orang. Mengapa demikian ?

Setiap kali membuka kamera depan, mengatur angle kamera, menghapus bekas jerawat menggunakan filter, atau mengunggah foto selfie setelah menyuntingnya. Cermin hari ini tak lagi sekadar benda kaca, tapi algoritma. Dan yang lebih menyedihkan, saya dan mungkin kebanyakan perempuan terus memainkan permainan ini tanpa sadar, tunduk pada aturan yang budaya dominan rancang dan pasar kuatkan.

“Cantik”, Apakah Ilusi yang Dikolektifkan?

Kita hidup di tengah masyarakat yang tak sekadar mengagumi kecantikan, tapi mengorganisasikannya. Cantik bukan lagi soal selera pribadi, tapi telah menjadi sistem nilai, bahkan nyaris seperti kewajiban eksistensial. Pertanyaan seperti “apa itu cantik?” tak bisa lepas dari status ontologisnya.

Apakah kita sedang membicarakan sesuatu yang benar-benar ada dalam dirinya sendiri, atau hanya makna yang kita sepakati dan wariskan secara sosial?

Apakah “cantik” sungguh ada sebagai entitas yang tetap dan universal, atau hanya hasil konstruksi sosial yang menyamar sebagai kebenaran?

Setiap bayi perempuan lahir dalam keadaan kosong dari label estetis. Ia belum tahu apa itu pipi tirus atau rambut lurus. Namun begitu ia tumbuh, dunia memperkenalkannya pada boneka yang berkulit pucat dan berkaki jenjang, cerita putri dengan pinggang ramping, dan wajah-wajah yang dikultuskan karena simetris. Konstruksi ini pun mulai bekerja sejak saat itu. Cantik bukan entitas metafisik yang otonom, melainkan hasil dari dialektika antara tubuh, bahasa, dan kekuasaan.

Apabila kita mengakui bahwa keberadaan tidak pernah netral, maka kecantikan pun mengikuti sistem nilai yang masyarakat bentuk sendiri. Cantik bukan sesuatu yang kita temukan, melainkan sesuatu yang masyarakat ciptakan dan pelihara secara kolektif

Kesepakatan diam-diam itu tumbuh dari generasi ke generasi. Budaya membingkainya, media menghaluskannya, dan norma-norma sosial terus mengukuhkannya dalam keseharian kita. Maka, ketika kita mengatakan “cantik”, yang sebenarnya kita lakukan adalah mengafirmasi realitas sosial yang sedang bekerja. Realitas yang terus memilih, menyortir, dan menetapkan siapa yang layak tampil dan siapa yang mereka dorong keluar dari bingkai perhatian

Tubuh Perempuan sebagai Medan Kuasa

Dalam kerangka ini, kiranya tak ekstrem mengatakan bahwa masyarakat terus memperlakukan tubuh perempuan layaknya teks, Mereka membaca, menafsirkan, dan menetapkan makna atasnya tanpa henti.. Ia tak pernah berdiri sendiri, karena nilai atasnya selalu bersandar pada persepsi luar.

Michel Foucault, misalnya, mengajarkan bahwa kekuasaan modern tidak lagi bekerja melalui represi langsung atau kekerasan yang kasatmata, melainkan melalui produksi wacana, normalisasi, dan pengawasan internal yang tak terlihat. Kekuasaan tak lagi hadir sebagai sosok otoriter, tapi menjelma sebagai sistem disipliner yang menysusup ke dalam cara kita melihat diri sendiri.

Dalam konteks tubuh perempuan, kekuasaan ala Foucauldian ini beroprasi melalui institusi sosial seperti media dan industri kecantikan yang secara halus menetapkan standar fisik tertentu sebagai ideal.

Cantik, dalam hal ini, adalah mekanisme kontrol. Kuasa tidak hanya menyasar tubuh, tetapi juga mengarahkan keinginan dan menyusun kesadaran. Sistem sosial membentuk perempuan agar terus mengawasi diri, menilai dirinya dari kacamata luar, dan menyesuaikan hidup dengan norma-norma yang tidak mereka bangun sendiri.

Inilah yang Foucault sebut sebagai Social Panopticon—sebuah situasi ketika individu merasa terus-menerus dalam sorotan, meski tanpa pengawasan langsung. Hingga akhirnya membentuk disiplin tubuh menjadi otomatis. Cantik, dalam sistem ini, bukan hanya identitas visual. Namun juga bentuk kepatuhan.

Disiplin Tubuh dan Citra Ideal: Kuasa yang Menyusup Halus

Tubuh yang dianggap indah adalah tubuh yang jinak terhadap pasar, terhadap norma, terhadap tata sosial patriarkal. Maka, tubuh perempuan bukan lagi sekadar organik atau biologis, melainkan politik.

Dalam kacamata Foucauldian, tubuh berperan sebagai pusat operasi rezim kuasa modern. Bukan melalui kekerasan fisik, melainkan melalui teknik pengendalian yang halus dan berhasil menyusup ke kesadaran. Kekuasaan tak memaksa perempuan secara langsung, tetapi menanamkan imajinasi kolektif tentang apa itu ‘tubuh ideal’. Disiplin diri, melalui prosedur kosmetik yang beroprasi dalam logika kuasa—yang nyaris tak kasat mata.

Narasi seperti “perawatan diri” adalah bentuk baru dari praktik disipliner. Ia tampak membebaskan, padahal bisa saja bekerja dalam mekanisme normalisasi yang membuat perempuan secara sukarela tunduk pada standar yang tidak mereka rumuskan sendiri. Namun penting untuk membedakan: merawat tubuh tidak serta-merta berarti tunduk. Tidak semua praktik diet atau skincare lahir dari paksaan sistemik. Ada pula yang lahir dari kasih sayang terhadap tubuh itu sendiri.

Merawat Diri Bukan Berarti Kehilangan Otonomi

Menjaga kesehatan, memberi nutrisi, merawat kulit, atau memilih berpakaian rapi bisa menjadi bentuk perawatan yang berangkat dari kesadaran dan kedaulatan diri. Bukan dari desakan untuk memenuhi ekspektasi luar.

Kita tidak sedang mempermasalahkan aktivitas merawat itu sendiri, melainkan logika kuasa yang menyelusup di baliknya—logika yang mendorong individu terus-menerus mengerahkan tenaga untuk menyempurnakan tubuh demi mengejar validasi sosial tanpa henti.

Di sinilah kecantikan menjadi problematis: ketika ia tak lagi netral, melainkan bekerja sebagai instrumen kuasa. Kuasa terus mendorong masyarakat untuk menerima, memuji, dan extremnya menjual tubuh-tubuh tertentu yang telah sesuai dengan standar dominan. Yang patut kita gugat bukan tindakan merawat tubuh itu sendiri, melainkan sistem nilai yang menjadikan tubuh perempuan sebagai komoditas kapital dan sarana pelestarian norma.

Konstruksi ini tidak bebas nilai. Ia bekerja dalam sistem patriarki yang menjadikan perempuan sebagai objek, bukan subjek. Ketika masyarakat hanya menghargai perempuan karena rampingnya pinggang atau beningnya kulit, mereka sedang memangkas eksistensi perempuan ke dalam kerangka hasrat laki-laki.

Bahkan di ruang-ruang yang mengklaim diri progresif. Hal tersebut masih menjadi modal sosial: semakin “cantik”, semakin besar nilai jualnya. Lebih tragis lagi, banyak perempuan yang akhirnya ikut menggandakan dan merawat mitos ini, terkadang tanpa sadar, bahkan terhadap sesamanya.

Melampaui “Cantik”: Tafsir, Perlawanan, dan Otoritas Diri

Dalam filsafat kritis, ahli teori gender, Judith Butler menyodorkan gagasan tentang gender performativity—bahwa identitas gender (dan identitas pada umumnya) bukan sesuatu yang kita miliki secara esensial, melainkan sesuatu yang kita lakukan secara terus-menerus.

Identitas adalah aksi, bukan substansi. Dalam konteks ini, “cantik” bukanlah kualitas tetap yang melekat pada tubuh, melainkan hasil dari tindakan-tindakan sosial dan kultural yang mengulang terus-menerus. Perempuan memperoleh label cantik bukan karena mereka memilikinya secara esensial, melainkan karena mereka memperagakan cantik sesuai skenario yang budaya dominan mainstreaming-kan.

Dengan demikian, performativitas membuka ruang radikal untuk penolakan dan pembongkaran. Jika cantik adalah performa, maka siapa pun bisa memilih untuk tidak ikut serta dalam pertunjukan itu. Perempuan bisa mengacaukan skrip yang sudah industri tulis, kemudian bisa menciptakan skrip baru yang membebaskan. Dalam setiap tindakan, dalam setiap pengulangan yang menyimpang dari norma, di sanalah letak perlawanan.

Alih-alih menerima “cantik” sebagai kebenaran ontologis mutlak, kita bisa memahaminya sebagai medan tafsir. Tafsir yang seharusnya inklusif, subjektif, dan membebaskan. Di sinilah pentingnya menghadirkan cara pandang yang adil secara relasional.

Bukan dalam bentuk jargon, tapi dalam praksis sehari-hari, bahwa tubuh bukan untuk dikurung oleh ekspektasi, melainkan untuk dijalani dengan penuh otoritas diri. Bukan demi memuaskan mata luar, tapi demi merayakan eksistensi dalam bentuknya yang paling utuh.

Cantik tak seharusnya jadi ukuran nilai seorang perempuan. Ia bisa menjadi ekspresi keberanian menolak. Keberanian meredefinisi. Cantik bisa berarti lantang, bisa berarti sunyi yang bermakna, bisa berarti perempuan yang menjahit sendiri lukanya diam-diam, tanpa gembar-gembor. Semua itu adalah wajah-wajah cantik yang luput dari kamera. []

 

 

Tags: CantikfeminismeIndustri KecantikanKesadaran KritisKonstruksi Sosialperempuan
Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok

Siti Roisadul Nisok is an M.Phil student in the Faculty of Philosophy at Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Her research interests include religious studies, digitization, philosophy, cultural studies, and interfaith dialogue. She can be reached on Instagram via the handle: @roisabukanraisa.

Terkait Posts

Fiqh Haid
Hikmah

Menghidupkan Kembali Fiqh Haid Berbasis Pengalaman Perempuan

1 Agustus 2025
Anak Perempuan
Hikmah

Tidak Diskriminatif Terhadap Anak Laki-laki dan Perempuan

1 Agustus 2025
Film "A Normal Woman"
Film

Menyingkap Tekanan Perempuan Modern melalui Film “A Normal Woman”

1 Agustus 2025
Aurat
Hikmah

Aurat dan Fitnah Tubuh Perempuan

31 Juli 2025
Pernikahan
Hikmah

Laki-laki dan Perempuan Berhak Menolak Pernikahan Paksa

31 Juli 2025
Pernikahan Perempuan yang
Hikmah

Perempuan Berhak Menolak Pernikahan yang Dipaksakan

30 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • One Piece

    One Piece dan Gerakan Sosial: Membaca Pesan Kebebasan dan Keadilan melalui Kaca Mata Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Cokelat, Kopi dan Secuil Catatan Pengasuhan: Refleksi tentang Fitrah Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memahami Hubungan Seks dalam Pernikahan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pembiasaan Tingkah Laku Sopan Santun

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pembiasaan Pada Pola Tingkah Laku Konstruktif

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Bagaimana Jika Kita Merancang Dunia untuk Difabel?
  • Ingin Anak Saleh dan Salehah? Ayah dan Ibu Berdoa Sejak dalam Kandungan
  • Membicarakan Sosok Rato Ebu dalam Sejarah Perempuan Madura
  • Tragedi Perkosaan Massal 1998 dalam Empat Novel
  • “Cantik”, Tak Lebih Dari Sekadar Konstruksi Ontologis Sempit

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2025 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2025 MUBADALAH.ID