Mubadalah.id – Pelajaran yang kita ambil, setiap kali membaca dan memetik buah-buah pemikiran Ahmad Syafii Maarif, adalah bahwa kita mesti memahami Islam secara historis. Dengan kata lain, pemahaman kita terhadap Islam tidak boleh a-historis. Itulah yang mesti pula kita lakukan dalam memahami Islam. Khususnya dalam kejengahan suasana silaturahmi keberagamaan kita yang sibuk mengutuk sana-sini.
Agaknya, peran Fazlur Rahman tatkala kala Buya Maarif menempuh studi pemikiran Islam di Universitas Chicago, benar-benar menjadi “pelumas intelektual” yang tak hanya melicinkan gerak progresif Buya Syafii Maarif dalam memandang dan memahami Islam, tapi juga membawanya ke titik balik pemikiran Islam yang cukup signifikan.
Persis yang Herman L. Beck tuliskan dalam pengantar buku Buya Maarif yang diterbitkan oleh Universitas Leiden, bahwa sebelum Buya Maarif berkenalan dengan gagasan-gagasan Fazlur Rahman, ia termasuk dalam anggota gerakan Muhammadiyah. Di mana saat ini, jika kita lihat dari sudut pandang masa lalu, dapat kita katakan sebagai kaum fundamentalis. (h. 14)
Sebuah kaum yang mendorong adanya penafsiran tentang tujuan yang tidak hanya menyiratkan pemurnian ajaran Islam, tetapi juga pendirian Negara Islam Indonesia. Tapi berkat persentuhan intelektualnya dengan Fazlur Rahman telah membawa gerak pemikirannya ke arah yang berbeda. Dalam hal ini, tampaknya Buya Maarif sangat tertarik pada banyak ide dan wawasan yang diintrodusir oleh Fazlur Rahman.
Sebagai contoh, adalah, pembelaan Al-Quran terhadap kemanusiaan dan humanisme sebagai salah satu pesan utama Wahyu. Keyakinannya bahwa demokrasi, hak asasi manusia, dan hak-hak perempuan adalah Islami. Lalu seruan untuk mengembangkan kemampuan seseorang untuk membedakan antara “Islam historis” dan “Islam normatif.” Tentu saja, pendapatnya bahwa pendirian sebuah Negara Islam bukanlah persyaratan Al-Quran. Semua tema ini dapat kita temukan dalam publikasi-publikasi Buya Maarif setelah kembali ke Indonesia (h. 15).
Komitmen Buya Maarif Melawan Radikalisme Agama
Buya Maarif adalah satu dari sekian pemikir Islam terkemuka di Indonesia. Layaknya Gus Dur, warisan intelektualnya sepatutnya kita rayakan. Bahkan kita apresiasi dengan terus menggemakan dengan pandangannya tentang toleransi dan pluralisme dalam beragama. Utamanya di era ketika fundamentalisme agama masih terus menggerakkan dirinya secara ekstrim.
Salah satunya dengan membaca karya pentingnya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Sebuah karya yang kemudian dialihbahasakan oleh George A. Flower, dan diterbitkan Universitas Leiden tahun 2018 dengan judul: Islam, Humanity, and The Indonesian Identity: Reflection on History.
Dalam buku tersebut, Jan Michiel Otto, Profesor Emeritus Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan di Negara Berkembang, memberikan uraian menarik yang perlu kita cermati mengenai fenomena radikalisme agama dan pandangan Buya Maarif dalam merespon fenomena semacam itu.
Pada pagi hari 11 Februari 2018, sekitar pukul 6.30, seorang pemuda membawa pedang dan menyerang sejumlah jemaat gereja di sekitar Gereja St Lidwina, Sleman, Yogyakarta. Pemuda itu kemudian menerobos masuk ke dalam gereja, melukai pendeta yang sedang memimpin paduan suara, serta merusak patung Yesus dan Maria.
Dalam insiden tersebut, empat orang terluka. Ketika negosiasi yang seorang polisi lakukan tidak berhasil, tembakan peringatan dilepaskan. Namun, karena pemuda itu tidak merespons, polisi akhirnya menembak kakinya. Peristiwa ini, yang diduga sebagai serangan ekstremisme Islam, segera menjadi berita viral di berbagai belahan dunia.
Komitmen yang terus Bergerak dalam Sosok Buya Maarif
Namun, yang kurang media internasional ketahui adalah tindakan Ahmad Syafiii Maarif, seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia. Setelah mendengar kabar tersebut, Buya segera mendatangi gereja tersebut, lalu mengunjungi pemuda itu di rumah sakit untuk berbicara dengannya. Dalam percakapan itu, Buya mendiskusikan perihal Islam dan mengajak pemuda tersebut merenungkan tindakannya.
Beberapa hari kemudian, Buya memberikan pernyataan publik tentang insiden itu. Ia menyebut bahwa pemuda tersebut adalah korban kebodohan yang termakan ideologi kematian berbasis agama. Buya juga menyatakan bahwa ideologi itu merupakan sampah yang kita impor dari Timur Tengah. Di mana di negara asalnya sendiri sudah tertinggalkan. Namun di Indonesia justru mendapat tempat. Ironisnya, para politisi di Indonesia turut memanfaatkan ideologi tersebut demi kepentingan mereka (h. 8-9).
Dalam terang tersebut, akhirnya dapat kita pahami komitmen yang terus bergerak dalam sosok Buya Maarif adalah melawan paham keagamaan yang merusak tatanan kehidupan, kemanusiaan, dan toleransi. Itulah yang selalu kentara dalam tulisan-tulisan beliau di pelbagai bukunya. Bahwa kekerasaan atas nama agama mesti kita berangus dengan terus mendorong dan membela “gagasan demokrasi, pluralisme, dan semangat dialog antar agama” untuk mempromosikan wacana perdamaian—khususnya di Indonesia.
Pesan Intelektual Buya Maarif bagi Masa Depan Islam-Indonesia
Pesan Buya Maarif tidak mempertentangkan antara Islam dan Pancasila. Baginya, justru Pancasila semacam terobosan progresif dari para pemikir Islam awal kemerdekaan yang membawa misi keadilan, kemanusiaan, dan keberagamaan dalam suatu falsafah negara (h. 29).
Buya Maarif juga berpandangan bahwa demokrasi memiliki napas nilai yang sama dengan semangat Islam. Tidak sebagaimana kelompok-kelompok yang sibuk menyatakan bahwa demokrasi itu tidak Islam, thaghut—dan karenanya, harus kita habisi.
Buya Maarif menguraikan pula, bahwa di tengah kehidupan masyarakat Indonesia, kita sering menyaksikan adanya budaya kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang kurang bijaksana. Perilaku ini memicu pandangan negatif secara luas yang menganggap bahwa Islam, yang seharusnya menjadi sumber berkah, malah berubah menjadi sumber malapetaka dan kekerasan. Oleh karena itu disalahartikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
Karena itu, menurut Buya, Islam perlu kita hadirkan melalui “amal saleh” untuk menghadapi tantangan ini. Umat Islam harus mampu memberikan tawaran alternatif yang lebih baik tatkala menilai suatu sistem sebagai tidak adil atau bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Tentu saja, upaya ini membutuhkan orang-orang berjiwa besar, tulus, sabar, dan cerdas, bukan mereka yang hanya bertindak anarkis atau berteriak dengan slogan “Allahu akbar!” tanpa arah yang jelas (h. 215).
Kelemahan Peradaban Islam
Bagi Buya, kelemahan peradaban Islam masa kini terletak pada ketidakmampuan umat untuk menghadirkan sistem kehidupan yang mencerminkan prinsip “rahmatan lil ‘alamin”. Tugas besar ini memang membutuhkan generasi muda yang tidak hanya berbakat, inklusif, berpandangan luas, tapi juga harus memiliki komitmen kemanusiaan yang tulus, berbasis pada ilmu pengetahuan.
Genderang perang yang ditabuh oleh segelintir orang, menurut Buya, harus kita lawan dengan genderang perdamaian, keadilan, kesantunan, inklusivitas, dan pluralisme. Maka itu, kita memerlukan perubahan mendalam dalam kepemimpinan yang bersifat moral, intelektual, dan inklusif. Tugas ini jelas bukan hanya sekadar tanggung jawab pribadi semata, tetapi juga misi kolektif umat.
Khusus dalam konteks Indonesia, hal demikian itu semestinya juga menjadi panggilan untuk menunjukkan bahwa Islam-Indonesia bisa menjadi bagian integral dari solusi sosial, budaya, dan politik global. Bukan sebatas dalam narasi tetapi juga dalam praktik nyata. Untuk mewujudkan hal ini, umat Islam harus bergerak melampaui slogan-slogan, dengan menawarkan kontribusi nyata bagi kehidupan global.
Oleh karena itu, pesan Buya Syafii Maarif agar kita tetap menjaga stamina spiritual dan komitmen yang tulus demi menuju Indonesia yang adil dan bermartabat. Memberikan rasa nyaman dalam kehidupan kita bersama sebagai bangsa dan negara. Bukan Indonesia yang tercabik-cabik oleh kekuatan-kekuatan sentrifugal atau benturan kepentingan-kepentingan parokial yang sibuk mengatasnamakan kelompok, agama, etnis, dan sejarah (h. 217). []