• Login
  • Register
Jumat, 16 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Figur

Pesan Buya Syafii Maarif: Melampaui Fundamentalisme Menuju Islam Inklusif

Buya Maarif adalah satu dari sekian pemikir Islam terkemuka di Indonesia. Layaknya Gus Dur, warisan intelektualnya sepatutnya kita rayakan

Ahmad Thohari Ahmad Thohari
01/02/2025
in Figur
0
Pesan Buya Syafii Maarif

Pesan Buya Syafii Maarif

1.1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Pelajaran yang kita ambil, setiap kali membaca dan memetik buah-buah pemikiran Ahmad Syafii Maarif, adalah bahwa kita mesti memahami Islam secara historis. Dengan kata lain, pemahaman kita terhadap Islam tidak boleh a-historis. Itulah yang mesti pula kita lakukan dalam memahami Islam. Khususnya dalam kejengahan suasana silaturahmi keberagamaan kita yang sibuk mengutuk sana-sini.

Agaknya, peran Fazlur Rahman tatkala kala Buya Maarif menempuh studi pemikiran Islam di Universitas Chicago, benar-benar menjadi “pelumas intelektual” yang tak hanya melicinkan gerak progresif Buya Syafii Maarif dalam memandang dan memahami Islam, tapi juga membawanya ke titik balik pemikiran Islam yang cukup signifikan.

Persis yang Herman L. Beck tuliskan dalam pengantar buku Buya Maarif yang diterbitkan oleh Universitas Leiden, bahwa sebelum Buya Maarif berkenalan dengan gagasan-gagasan Fazlur Rahman, ia termasuk dalam anggota gerakan Muhammadiyah. Di mana saat ini, jika kita lihat dari sudut pandang masa lalu, dapat kita katakan sebagai kaum fundamentalis. (h. 14)

Sebuah kaum yang mendorong adanya penafsiran tentang tujuan yang tidak hanya menyiratkan pemurnian ajaran Islam, tetapi juga pendirian Negara Islam Indonesia. Tapi berkat persentuhan intelektualnya dengan Fazlur Rahman telah membawa gerak pemikirannya ke arah yang berbeda. Dalam hal ini, tampaknya Buya Maarif sangat tertarik pada banyak ide dan wawasan yang diintrodusir oleh Fazlur Rahman.

Sebagai contoh, adalah, pembelaan Al-Quran terhadap kemanusiaan dan humanisme sebagai salah satu pesan utama Wahyu. Keyakinannya bahwa demokrasi, hak asasi manusia, dan hak-hak perempuan adalah Islami. Lalu seruan untuk mengembangkan kemampuan seseorang untuk membedakan antara “Islam historis” dan “Islam normatif.” Tentu saja, pendapatnya bahwa pendirian sebuah Negara Islam bukanlah persyaratan Al-Quran. Semua tema ini dapat kita temukan dalam publikasi-publikasi Buya Maarif setelah kembali ke Indonesia (h. 15).

Baca Juga:

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Kemanusiaan sebelum Aksesibilitas: Kita—Difabel

Islam Hadir untuk Gagasan Kemanusiaan

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Komitmen Buya Maarif Melawan Radikalisme Agama

Buya Maarif adalah satu dari sekian pemikir Islam terkemuka di Indonesia. Layaknya Gus Dur, warisan intelektualnya sepatutnya kita rayakan. Bahkan kita apresiasi dengan terus menggemakan dengan pandangannya tentang toleransi dan pluralisme dalam beragama. Utamanya di era ketika fundamentalisme agama masih terus menggerakkan dirinya secara ekstrim.

Salah satunya dengan membaca karya pentingnya, Islam dalam Bingkai Keindonesiaan dan Kemanusiaan: Sebuah Refleksi Sejarah. Sebuah karya yang kemudian dialihbahasakan oleh George A. Flower, dan diterbitkan Universitas Leiden tahun 2018 dengan judul: Islam, Humanity, and The Indonesian Identity: Reflection on History.

Dalam buku tersebut, Jan Michiel Otto, Profesor Emeritus Hukum dan Tata Kelola Pemerintahan di Negara Berkembang, memberikan uraian menarik yang perlu kita cermati mengenai fenomena radikalisme agama dan pandangan Buya Maarif dalam merespon fenomena semacam itu.

Pada pagi hari 11 Februari 2018, sekitar pukul 6.30, seorang pemuda membawa pedang dan menyerang sejumlah jemaat gereja di sekitar Gereja St Lidwina, Sleman, Yogyakarta. Pemuda itu kemudian menerobos masuk ke dalam gereja, melukai pendeta yang sedang memimpin paduan suara, serta merusak patung Yesus dan Maria.

Dalam insiden tersebut, empat orang terluka. Ketika negosiasi yang seorang polisi lakukan tidak berhasil, tembakan peringatan dilepaskan. Namun, karena pemuda itu tidak merespons, polisi akhirnya menembak kakinya. Peristiwa ini, yang diduga sebagai serangan ekstremisme Islam, segera menjadi berita viral di berbagai belahan dunia.

Komitmen yang terus Bergerak dalam Sosok Buya Maarif

Namun, yang kurang media internasional ketahui adalah tindakan Ahmad Syafiii Maarif, seorang cendekiawan Muslim terkemuka di Indonesia. Setelah mendengar kabar tersebut, Buya segera mendatangi gereja tersebut, lalu mengunjungi pemuda itu di rumah sakit untuk berbicara dengannya. Dalam percakapan itu, Buya mendiskusikan perihal Islam dan mengajak pemuda tersebut merenungkan tindakannya.

Beberapa hari kemudian, Buya memberikan pernyataan publik tentang insiden itu. Ia menyebut bahwa pemuda tersebut adalah korban kebodohan yang termakan ideologi kematian berbasis agama. Buya juga menyatakan bahwa ideologi itu merupakan sampah yang kita impor dari Timur Tengah. Di mana di negara asalnya sendiri sudah tertinggalkan. Namun di Indonesia justru mendapat tempat. Ironisnya, para politisi di Indonesia turut memanfaatkan ideologi tersebut demi kepentingan mereka (h. 8-9).

Dalam terang tersebut, akhirnya dapat kita pahami komitmen yang terus bergerak dalam sosok Buya Maarif adalah melawan paham keagamaan yang merusak tatanan kehidupan, kemanusiaan, dan toleransi. Itulah yang selalu kentara dalam tulisan-tulisan beliau di pelbagai bukunya. Bahwa kekerasaan atas nama agama mesti kita berangus dengan terus mendorong dan membela “gagasan demokrasi, pluralisme, dan semangat dialog antar agama” untuk mempromosikan wacana perdamaian—khususnya di Indonesia.

Pesan Intelektual Buya Maarif bagi Masa Depan Islam-Indonesia

Pesan Buya Maarif tidak mempertentangkan antara Islam dan Pancasila. Baginya, justru Pancasila semacam terobosan progresif dari para pemikir Islam awal kemerdekaan yang membawa misi keadilan, kemanusiaan, dan keberagamaan dalam suatu falsafah negara (h. 29).

Buya Maarif juga berpandangan bahwa demokrasi memiliki napas nilai yang sama dengan semangat Islam. Tidak sebagaimana kelompok-kelompok yang sibuk menyatakan bahwa demokrasi itu tidak Islam, thaghut—dan karenanya, harus kita habisi.

Buya Maarif menguraikan pula, bahwa di tengah kehidupan masyarakat Indonesia, kita sering menyaksikan adanya budaya kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok kecil orang yang kurang bijaksana. Perilaku ini memicu pandangan negatif secara luas yang menganggap bahwa Islam, yang seharusnya menjadi sumber berkah, malah berubah menjadi sumber malapetaka dan kekerasan. Oleh karena itu disalahartikan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

Karena itu, menurut Buya, Islam perlu kita hadirkan melalui “amal saleh” untuk menghadapi tantangan ini. Umat Islam harus mampu memberikan tawaran alternatif yang lebih baik tatkala menilai suatu sistem sebagai tidak adil atau bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Tentu saja, upaya ini membutuhkan orang-orang berjiwa besar, tulus, sabar, dan cerdas, bukan mereka yang hanya bertindak anarkis atau berteriak dengan slogan “Allahu akbar!” tanpa arah yang jelas (h. 215).

Kelemahan Peradaban Islam

Bagi Buya, kelemahan peradaban Islam masa kini terletak pada ketidakmampuan umat untuk menghadirkan sistem kehidupan yang mencerminkan prinsip “rahmatan lil ‘alamin”. Tugas besar ini memang membutuhkan generasi muda yang tidak hanya berbakat, inklusif, berpandangan luas, tapi juga harus memiliki komitmen kemanusiaan yang tulus, berbasis pada ilmu pengetahuan.

Genderang perang yang ditabuh oleh segelintir orang, menurut Buya, harus kita lawan dengan genderang perdamaian, keadilan, kesantunan, inklusivitas, dan pluralisme. Maka itu, kita memerlukan perubahan mendalam dalam kepemimpinan yang bersifat moral, intelektual, dan inklusif. Tugas ini jelas bukan hanya sekadar tanggung jawab pribadi semata, tetapi juga misi kolektif umat.

Khusus dalam konteks Indonesia, hal demikian itu semestinya juga menjadi panggilan untuk menunjukkan bahwa Islam-Indonesia bisa menjadi bagian integral dari solusi sosial, budaya, dan politik global. Bukan sebatas dalam narasi tetapi juga dalam praktik nyata. Untuk mewujudkan hal ini, umat Islam harus bergerak melampaui slogan-slogan, dengan menawarkan kontribusi nyata bagi kehidupan global.

Oleh karena itu, pesan Buya Syafii Maarif agar kita tetap menjaga stamina spiritual dan komitmen yang tulus demi menuju Indonesia yang adil dan bermartabat. Memberikan rasa nyaman dalam kehidupan kita bersama sebagai bangsa dan negara. Bukan Indonesia yang tercabik-cabik oleh kekuatan-kekuatan sentrifugal atau benturan kepentingan-kepentingan parokial yang sibuk mengatasnamakan kelompok, agama, etnis, dan sejarah (h. 217). []

 

Tags: Ahmad Syafii MaarifInklusifkemanusiaanMuhammadiyahpluralismetoleransi
Ahmad Thohari

Ahmad Thohari

Ahmad Miftahudin Thohari, lulusan mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam UIN Raden Mas Said Surakarta, punya minat kajian di bidang filsafat, sosial dan kebudayaan. Asal dari Ngawi, Jawa Timur.

Terkait Posts

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

9 Mei 2025
Rasuna Said

Meneladani Rasuna Said di Tengah Krisis Makna Pendidikan

5 Mei 2025
Tokoh Muslim Penyandang Disabilitas

Jejak Tokoh Muslim Penyandang Disabilitas

1 Mei 2025
Nyai Nur Rofiah

Nyai Nur Rofiah: Keadilan Hakiki di Tengah Luka Sosial Perempuan

30 April 2025
Jamilah binti Abdullah

Jamilah binti Abdullah: Kisah Perempuan yang Mendampingi Dua Syuhada

27 April 2025
Nyai Fatmah Mawardi

Nyai Fatmah Mawardi, Mengurai Jejak Ulama Perempuan Madura

26 April 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Perempuan Fitnah

    Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nakba Day; Kiamat di Palestina

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Qiyas Sering Dijadikan Dasar Pelarangan Perempuan Menjadi Pemimpin

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Kasus Nenek SA: Hukum Tak Lagi Melindungi yang Lemah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Vasektomi Sebagai Solusi Kemiskinan, Benarkah Demikian?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kashmir: Tanah yang Disengketakan, Perempuan yang Dilupakan
  • Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia: Bersama Ulama dan Guru Perempuan, Bangkitlah Bangsa!
  • Suami Pengangguran, Istri dan 11 Anak Jadi Korban
  • 5 Kewajiban Suami untuk Istri yang sedang Menyusui
  • Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version