Mubadalah.id – Hidup sebagai anak perempuan pertama dalam sebuah keluarga yang secara tidak sadar menganut sistem patriarki adalah sebuah tantangan yang tidak bisa kita hindari. Di tengah ekspektasi yang tinggi dan keterbatasan yang sering kali datang dari norma-norma sosial yang tidak adil, anak perempuan pertama kerap menjadi tumpuan keluarga. Baik dalam perihal tanggung jawab domestik ataupun secara emosional.
Beban Ekspektasi yang Tidak Seimbang
Dalam keluarga yang masih menganut sistem patriarki, anak perempuan khususnya anak pertama sering kali menjadi tumpuan beban yang berkedok kewajiban. Beban tanggung jawab sering kali mulai sejak usia dini. Dari yang mulanya dituntut untuk menjadi panutan bagi adik-adiknya, membantu pekerjaan rumah, bahkan menggantikan peran orang tua dalam mengurus keluarga.
Jika kita lihat dari sisi positif memang terlihat bagus untuk mengajarkan hal-hal yang nampaknya sudah menjadi tugas perempuan yang kita kenal secara umum. Namun sayangnya tanggung jawab yang kita bebankan tersebut tidak selalu terimbangi dengan pengakuan yang setara.
Tidak sedikit anak perempuan pertama yang merasa jerih payah mereka terabaikan. Selalu ada kesalahan yang terlihat dan menjadi masalah. Walaupun itu hanya segores debu di atas meja. Lain halnya anak laki-laki yang dibiarkan di rumah, entah bangun jam berapa ataupun makan tanpa cuci piring.
Pengorbanan Impian Pribadi
Tekanan patriarki juga sering kali memaksa anak perempuan pertama untuk menunda atau bahkan mengorbankan mimpi dan cita-citanya. Mereka justru diharapkan untuk mendahulukan kebutuhan keluarga daripada ambisi mereka. Banyak anak perempuan yang pada akhirnya takut untuk berbicara dan menuntut hak mereka karena tahu akan mendapatkan banyak omelan dan berakhir kembali harus mengalah.
Impian untuk hidup dengan tenang pun harus ia korbankan demi memenuhi tuntutan untuk selalu mengalah dengan dalih harus menjadi panutan yang baik. Padahal belum tentu ada yang memandangnya sebagai panutan.
Pertanyaan selanjutnya, apakah meminta hak sebagai anak akan mereka anggap sebagai durhaka? Apakah mengungkapkan ketidaknyamanan dalam keluarga mereka anggap sebagai anak yang tidak tahu diri? Tabu untuk memahamkan ini dalam sebuah keluarga yang menganut patriarki yang selalu menekan anak perempuan tanpa tersadari.
Anak perempuan khususnya anak pertama seperti tidak lagi mempunyai perasaan. Apapun kesalahan dalam berkeluarga dan bersaudara, maka anak perempuan sebagai kakak lah yang harus dan wajib memperbaikinya, tanpa menyadari bahwa mereka juga terluka.
Ketidakadilan ini menciptakan dilema yang sulit, yakni antara untuk memilih memenuhi ekspektasi keluarga atau mengejar kebahagiaan dan tujuan hidup sendiri. Keduanya sering kali terasa seperti pilihan yang tidak adil.
Dampak pada Kesehatan Mental dan Emosional
Beban ekspektasi dan tanggun jawab yang berat kemudian akan berdampak buruk pada kesehatan mental dan emosional anak perempuan pertama. Perasaan tidak cukup dihargai, tekanan untuk selalu sempurna, dan kurangnya dukungan emosional sering kali membuat mereka kesepian dan kelelahan.
Selain itu, konflik internal antara memenuhi harapan keluarga dan keinginan pribadi dapat menyebabkan rasa bersalah yang mendalam. Banyak anak perempuan pertama yang tumbuh dengan perasaan bahwa mereka harus selalu terlihat kuat dan tidak boleh menunjukkan kelemahan.
Bahkan untuk sekadar menangis dan mengeluh lelah pun dipertanyakan sebegitu runtutnya. Seperti, kenapa menangis? Sudah berani ngelawan orang tua? Memang kamu ngapain sampai berani bilang lelah? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu yang membuat anak perempuan pertama takut untuk berbicara dan pada akhirnya memperparah tekanan yang mereka rasakan.
Meskipun ada beberapa langkah untuk membantu anak perempuan pertama keluar dari tekanan, namun biasanya mereka akan sulit menerapkan langkah tersebut. Terlebih jika sudah dihantui oleh ucapan-ucapan yang bisa melukai hati mereka.
Anak perempuan pertama itu rapuh, mereka perlu lingkungan yang bisa mendukung secara emosional. Maka jangan hakimi mereka ketika ternyata mereka lebih nyaman bersama teman-teman ataupun komunitasnya daripada bersama keluarganya.
Orang bilang, beranilah untuk sedikit mengungkapkan, kenyataannya perlu keberanian yang besar untuk berbicara. Dalam sebuah keluarga sangat kita perlukan kesadaran bahwa untuk menciptakan lingkungan yang lebih adil dan mendukung, setiap anggota keluarga memiliki peran penting dan tanggung jawab bersama, baik itu tanggung jawab domestik maupun secara emosional. []