• Login
  • Register
Jumat, 3 Februari 2023
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Fatwa KUPI (Bukan) Soal Hukum Aborsi

KUPI ingin mengajak publik, terutama masyarakat muslim, untuk kembali pada jantung persoalan hukum Islam, yaitu melindungi mereka yang lemah (mustadh’afin). Ini adalah amanat Islam

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
29/12/2022
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Hukum Aborsi

Hukum Aborsi

785
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Nafa adalah seorang mahasiswi yang sedang menempuh program doktoral di sebuh perguruan tinggi Islam. Lulusan pesantren salaf dan pernah mengenyam pendidikan sarjana di Timur Tengah. Pengalaman ini membuatnya paham peta pandangan fiqh, klasik maupun kontemporer, mengenai hukum aborsi.

Sebagai perempuan, ia juga merasakan betapa terpuruknya seseorang yang menjadi korban perkosaan dalam kondisi hamil. Di sisi lain, sekalipun fiqh itu kompleks dan terkadang sulit dalam isu ini, ia memahami peta jalan fiqh yang bisa membuka ruang empati bagi perempuan korban perkosaan. Apalagi dia terlibat aktif dalam perumusan fatwa KUPI ke-2 tentang hal ini.

“Ning, sampean kan ikut KUPI ke-2 kemarin di Jepara, benarkah KUPI membolehkan aborsi bagi perempuan korban perkosaan?”, tanya Yani teman sekelasnya di paska yang juga lulusan pesantren. Yani sering menjadi teman diskusi yang konstruktif. Walau sering terjadi perdebatan, tetapi mereka berdua selalu mencari titik temu untuk saling memahami satu sama lain.

“Aku senang dengan pandangan progresif KUPI ini. Bisa jadi bahan diskusi tentang isu-isu fiqh kontemporer”, tambah Yani.

“Kesimpulan ini pasti kamu dapatkan dari media, atau bisa jadi dari haters-nya KUPI, kamu tidak membaca hasilnya langsung yaaa…”, jawab Nafa berseloroh.

Daftar Isi

  • Baca Juga:
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama
  • Menanti Hasil Fatwa KUPI dari Kokohnya Bangunan Epistemologi Part II-Habis
  • Mufassir Perempuan dalam Khazanah Keilmuan
  • Pesantren Kebon Jambu di Bawah Kepemimpinan Perempuan
    • (Bukan) Soal Hukum Aborsi
    • Sudut Pandang KUPI
    • Perlindungan adalah Jantung Hukum Islam

Baca Juga:

Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama

Menanti Hasil Fatwa KUPI dari Kokohnya Bangunan Epistemologi Part II-Habis

Mufassir Perempuan dalam Khazanah Keilmuan

Pesantren Kebon Jambu di Bawah Kepemimpinan Perempuan

“Ya, makanya aku tanya sampean. Coba jelaskan, KUPI biasanya memiliki sudut pandang yang menarik untuk kita diskusikan”, tegas Yani penasaran.

(Bukan) Soal Hukum Aborsi

“Hasil utuh fatwa KUPI sebenarnya belum keluar. Yang mereka bacakan di Jepara baru keputusan akhir, yang berupa sikap dan pandangan keagamaan, sebagai hasil Musyawarah Keagamaan pada tanggal 26 Nopember 2022. Hasil ini belum utuh, karena belum ada tashawur (deksripsi), adillah (dalil-dalil), istidlal (analisis), dan yang lain. Yang kamu tanyakan itu ada pada poin keempat hasil KUPI ke-2, yaitu tentang perlindungan jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan”, jawab Nafa memulai pembicaraan.

“Tentang poin keempat ini, hasil Musyawarah Keagamaan KUPI memutuskan tiga hal:

  1. Hukum melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah wajib di usia berapa pun kehamilannya, baik dengan cara melanjutkan atau menghentikan kehamilan, sesuai dengan pertimbangan darurat medis dan/atau psikiatris;
  2. Semua pihak mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan, terutama diri sendiri, orang tua, keluarga, tokoh agama, tokoh masyarakat dan adat, tenaga medis, tenaga psikiatris, serta Negara. Pelaku juga  mempunyai tanggungjawab untuk melindungi jiwa korban dengan cara yang tidak semakin menambah dampak buruk (mafsadat) bagi korban;
  3. Hukum bagi pihak-pihak yang mempunyai tanggungjawab dan kemampuan namun tidak melakukan perlindungan pada jiwa perempuan dari bahaya kehamilan akibat perkosaan adalah haram”.

“Jika kamu perhatikan, keputusan Musyawarah Keagamaan KUPI ini tidak berbicara mengenai kebolehan aborsi, atau pengguguran kandungan, tetapi mengenai pentingnya melindungi jiwa perempuan korban perksoaan. Baik secara fisik, psikis, maupun sosial”, jelas Nafa mengakhiri kalimat panjangnya.

“Ah, itu cara KUPI saja untuk mlipir agar tidak memancing kemarahan publik. Kenapa sih tidak langsung saja: hukum aborsi korban perkosaan itu boleh. To the point saja biar masyarakat juga lebih mudah memahami persoalan dan hukumnya. Justru publik menunggu pandangan progresif ini loh…”, sanggah Yani sekaligus berharap.

Sudut Pandang KUPI

“Kamu ini merasa progresif tetapi belum bisa menemukan sudut pandang KUPI yang kata kamu menarik itu. Kalau hukum aborsi, atau pengguguran kandungan, baik dengan istilah ijhadh atau isqath, di fiqh klasik kan sudah banyak ragam pendapat fiqh. Kamu sudah tahu ini kan?”, jawab Nafa.

“Kalau kamu baca kamus fiqh, seperti al-Mawusu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, jilid 2, dalam lema ijhadh, disebutkan bahwa ulama fiqh sepakat mengharamkan aborsi setelah 120 hari, atau 4 bulan kandungan, karena janin dianggap sudah menjadi manusia utuh. Malaikat sudah meniup ruh padanya (nafkh ar-ruh).

Kalau sebelum masa itu, ulama fiqh klasik berbeda pendapat. Ada yang membolehkan secara mutlak, ada yang membolehkan jika ada alasan yang patut, ada yang menganggapnya makruh saja, dan ada juga yang mengharamkan. Beberapa yang membolehkan memberi usia sebelum 40 hari, bukan 120 hari”, tambah Nafa.

“Hukum aborsi yang beragam ini adalah tentang kehamilan secara umum, bukan perkosaan. Artinya, membolehkan aborsi, sesuai syarat-syaratnya, adalah bukan hal baru. Baik di kalangan ulama klasik maupun kontemporer”, tegas Nafa.

“Berarti, fatwa KUPI hanya mendukung salah satu pandangan ulama klasik yang membolehkan aborsi, begitukah maksud sampean?, tanya Yani.

“Bukan begitu. Kamu belum paham juga. Gini, fatwa KUPI ingin menyadarkan publik tentang jantung persoalan dalam hukum Islam.  Yaitu perlindungan pada yang lemah, dalam hal ini, yaitu korban perkosaan. Bukan pada hukum aborsinya, karena ini sudah dibahas banyak ulama klasik dan kontemporer, tetapi pada pentingnya memberikan perlindungan terhadap jiwa perempuan korban perkosaan yang berada dalam bahaya, fisik maupun psikis, akibat kehamilan dari perkosaan ini”, tegas Nafa.

“KUPI tidak ingin masuk pada perdebatan hukum aborsi. Karena hukum ini, biasanya akan menyasar dan menyalahkan perempuan sebagai objek dari hukum tersebut. Jika kita larang, makan perempuan yang disalahkan. Jika kita bolehkan, juga perempuan yang terdorong melakukan aborsi.

Padahal, aborsi itu bisa jadi tidak aman dan malah menjerumuskannya pada kematian. Kehamilannya juga diakibatkan orang lain, sehingga hukum aborsi hanya akan meletakkan telunjuk kepada perempuan semata. Tanpa meminta pertanggung-jawaban dari pelaku, keluarga, atau negara yang tidak memberikan perlindungan pada warganya”.

Perlindungan adalah Jantung Hukum Islam

“KUPI ingin mengajak publik, terutama masyarakat muslim, untuk kembali pada jantung persoalan hukum Islam, yaitu melindungi mereka yang lemah (mustadh’afin). Ini adalah amanat Islam. Al-Qur’an dan Hadits sudah menegaskan hal ini, dan syari’ah Islam menjadikannya sebagai substansi maqashid syari’ah”.

“Karena itu, dengan prinsip Islam ini, kita harus melindungi jiwa perempuan hamil korban perkosaan. Baik dari kematian, kerusakan mental, atau trauma akut, dan kegilaan, dengan segala cara. Aborsi hanyalah salah satu cara saja, jika dapat menolong jiwa sang korban. Itupun harus kita lakukan dengan cara yang aman dan oleh dokter yang ahli di bidangnya. Jika aborsi mengancam jiwanya, justru tidak boleh kita lakukan. Dan dalam keadaan tanpa aborsi, kita tetap harus melindungi jiwa perempuan ini agar sehat, kuat, dan dapat melahirkan dengan aman”.

“Dengan keputusan hukum seperti ini, KUPI ingin fokus pada prinsip perlindungan jiwa perempuan, sehingga bisa menuntut tanggung-jawab kepada segenap masyarakat, terutama lingkungan terdekat perempuan, bukan kepada perempuan korban perkosaan”, tutup Nafa.

“Nah, ini dia sudut pandang KUPI yang khas dan menarik itu. Aku akan tulis dalam sebuah jurnal ah, keren ini”, kata Yani yang akhirnya memahami dan mengakui.

“Enak aja, aku yang akan menulis duluan, lagian kamu kan tidak mengikuti dan tidak tahu detail argumentasi dan perdebatan anggota Musyawarah Keagamaan KUPI ketika merumuskan hal ini. Aku lebih berhak dan aku akan menulis duluan. Kamu bisa menjadi teman diskusiku yaaa”, tegas Nafa.

“Oke Ning, sam’an wa tho’atan, kula nderek mawon”, hormat Yani. []

Tags: Fatwa KUPIHasil KUPI IIHukum AborsiKongres Ulama Perempuan IndonesiaKupiulama perempuan
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir, biasa disapa Kang Faqih adalah alumni PP Dar al-Tauhid Arjawinangun, salah satu wakil ketua Yayasan Fahmina, dosen di IAIN Syekh Nurjati Cirebon dan ISIF Cirebon. Saat ini dipercaya menjadi Sekretaris ALIMAT, Gerakan keadilan keluarga Indonesia perspektif Islam.

Terkait Posts

Pernikahan tanpa Wali

Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali

3 Februari 2023
Satu Abad NU

Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

3 Februari 2023
Nikah di KUA

Salingers, Yuk Normalisasi Nikah di KUA

2 Februari 2023
Akhlak Manusia

Akhlak Manusia Sebagai Ruh Fikih

1 Februari 2023
Aborsi Korban Perkosaan

Ulama Bolehkan Aborsi Korban Perkosaan

31 Januari 2023
Tradisi Tedhak Siten

Menggali Makna Tradisi Tedhak Siten, Benarkah Tidak Islami?

29 Januari 2023
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Satu Abad NU

    Satu Abad NU:  NU dan Kebangkitan Kaum Perempuan 

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kritik Ibn Hazm aẓ-Ẓahiri Terhadap Ulama yang Membolehkan Pernikahan Tanpa Wali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Makna Hijab Menurut Para Ahli
  • 5 Penyebab Su’ul Khatimah yang Dilalaikan
  • Kisah Saat Perempuan Berbicara dan Berpendapat di Depan Nabi Saw
  • Gaya Hidup Minimalis Dimulai dari Meminimalisir Pakaian
  • Kisah Anak Perempuan yang Nabi Muhammad Saw Hormati

Komentar Terbaru

  • Refleksi Menulis: Upaya Pembebasan Diri Menciptakan Keadilan pada Cara Paling Sederhana Meneladani Gus Dur: Menulis dan Menyukai Sepakbola
  • 5 Konsep Pemakaman Muslim Indonesia pada Cerita Singkat Kartini Kendeng dan Pelestarian Lingkungan
  • Ulama Perempuan dan Gerak Kesetaraan Antar-umat Beragama pada Relasi Mubadalah: Muslim dengan Umat Berbeda Agama Part I
  • Urgensi Pencegahan Ekstrimisme Budaya Momshaming - Mubadalah pada RAN PE dan Penanggulangan Ekstrimisme di Masa Pandemi
  • Antara Ungkapan Perancis La Femme Fatale dan Mubadalah - Mubadalah pada Dialog Filsafat: Al-Makmun dan Aristoteles
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist