Isteri shalihah telah lama menjadi kosa kata yang populer dalam masyarakat Indonesia. Pada masyarakat Arab ia biasa disebut al-Marah al-Shalihah yang secara literal berarti perempuan yang saleh. Sangat jarang mereka menggunakan kata al-Zaujah al-Shalihah, pasangan yang saleh.
Kosa kata “al-Marah al-Shalihah, tersebut dipersepsi publik muslim sebagai sosok perempuan/isteri yang serba ideal, sesuatu yang didambakan dan diimpikan laki- laki/suami. Akan tetapi apakah yang “ideal” itu? Ia merupakan kata yang dapat dimaknai dan ditafsirkan secara berbeda-beda oleh setiap orang dan setiap kebudayaan. Ia tidak bisa dirumuskan secara obyektif. Tak bisa dijawab dengan hitam atau putih. Setiap orang punya rasa ideal yang berbeda.
Akan tetapi hampir semua kebudayaan mendefinisikan idealitas tersebut menurut perspektif laki-laki. Betapa jarang kita mendengar kata “suami saleh”. Hal ini tentu saja sangat terkait dengan konstruksi sosialnya yang serba mengunggulkan laki-laki. Dalam sistem kebudayaan patriarkhis seperti ini, segala hal kehidupan didefinisikan oleh serba laki-laki.
Dalam perspektif seperti ini, maka isteri shalihah biasanya digunakan untuk menggambarkan seorang isteri sebagai sosok manusia domestik, feminin dan subordinat. Isteri shalihah atau lebih umum lagi perempuan shalihah adalah perempuan yang selalu berada di rumah, yang lembut, yang melayani dan patuh kepada suaminya sepenuh hati baik untuk keperluan kesenangan seksual maupun keperluan-keperluan yang lain, sabar dalam mengurus anak, bisa memasak dan sebagainya.
Sedangkan dalam tradisi Jawa ada sebutan yang sangat populer untuk seorang isteri shalihah : “swarga nunut, neraka katut” yang berarti “ke surga ikut dan ke neraka terbawa. Ini menggambarkan bahwa isteri shalihah dalam adat Jawa adalah isteri yang selalu ikut suaminya kemana pun dan dalam keadaan apa pun. Istilah lain yang juga digunakan untuk menyebut isteri shalihah adalah “kanca wingking”, (konco wingking) yakni teman di belakang.
Isteri adalah pendamping suaminya, tetapi dengan posisi di belakang. Jika berjalan isteri harus berada di belakang suami, dia baru bisa makan sesudah suami selesai makan dan seterusnya. Isteri dengan demikian bukanlah mitra yang sejajar dengan suaminya. Pendek kata isteri shalihah dalam pandangan masyarakat Jawa pada umumnya adalah sosok perempuan yang selalu mengabdi kepada suaminya lahir dan batin, perempuan yang mau berkorban demi suaminya, hidup dan mati dipersembahkan untuk suami, dan mengurus keluarganya di rumah sepanjang hari sepanjang malam.
Paling tidak demikianlah konotasi isteri shalihah menurut tradisi atau adat Jawa yang berkembang pada masa lalu dan berlangsung selama berabad-abad bahkan masih ada hingga saat ini. Meskipun telah terjadi pergeseran-pergeseran dalam sejumlah hal, terutama dalam praktik, akibat proses modernisasi, namun memori kolektif masyarakat masih melekatkan sejumlah kriteria isteri shalihah sebagaimana di atas.
Lalu bagaimanakan gambaran isteri shalihah dalam perspektif pandangan keagamaan masyarakat muslim?. Adakah hubungan antara adat atau tradisi tersebut dengan pandangan keagamaan?
Al-Quran menyebutkan sebuah ayat tentang perempuan-perempuan shalihah sebagai berikut :
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
“Oleh sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)”.
Sebuah kitab (buku) yang dijadikan sebagai bahan ajar di pesantren “Uqud al Lujain fi Bayan Huquq al Zawjain”, karya Kiyai Nawawi (w. 1316 H) dari Tanara, Banten menjelaskan hal ini dengan cukup lengkap.
وَيَجِبُ عَلَى المَرْأَةِ دَوامُ الحَيَاءِ مِنْ زَوْجِهَا وَغَضُّ طَرْفِهَا قُدَامَهُ وَالطَّاعَةُ لِاَمْرِهِ وَالسُّكُوتُ عِنْدَ كَلَامِهِ و القِيَامُ عِنْدَ قُدُومِهِ وَخُرُوجِه وَعَرْضُ نَفْسِهَا لَهُ عِنْدَ النَّوْمِ وَالتَّعَطُّرِ وَتَعَهّدُهَا الفَمُ بِالمِسْكِ وَالطِّيبِ وَدَوَامُ الزِّينَةِ بِحَضْرَتِهِ وَتَرْكُهَا عِنْدَ غَيْبَتِهِ .وَتَرْكُ الِخيَانَةِ لَهُ عِنْدَ غَيْبَتِهِ فِى فِرَاشِهِ وَمَالِهِ
“Isteri wajib memperlihatkan rasa malu di hadapan suaminya, tidak boleh menentang nya (melawan). Ia harus menundukkan muka dan pandangannya ke arah suaminya. Ia wajib taat manakala diperintahkan suaminya selain untuk hal-hal yang mendurhakai Allah (maksiat). Ia harus mendengarkan dengan tekun ketika suami berbicara, mengantar dan menyambutnya ketika berangkat dan pulang kerja, menunjukkan muka manis manakala suami memandangnya. Ia harus menyenangkan suami ketika akan tidur, memakai wewangian, menggosok gigi, berdandan cantik manakala suami di rumah dan tidak berdandan ketika tidak ada suami di rumah, tidak membohongi suaminya di tempat tidurnya dan hartanya.”
Pandangan Kiyai Nawawi al- Bantani tersebut tampaknya merupakan pandangan dan tafsir dari kutipannya atas sejumlah bacaan/rujukan baik dari teks-teks al Quran, hadits-hadits Nabi maupun khazanah kebudayaan yang bertebaran di mana-mana yang secara tekstual bermakna demikian.
Salah satu rujukan dari teks al Quran misalnya diambil dari ayat 34 surah al Nisa. “Maka perempuan-perempuan yang shalihah adalah yang taat, yang menjaga diri ketika suami tidak di rumah sesuai dengan cara-cara yang ditetapkan Allah”. Satu kata penting di atas adalah “Qanitat” (perempuan-perempuan, yakni isteri-isteri yang taat). Taat kepada siapa?. Al-Qur’an tidak secara eksplisit menyebutkannya.
Oleh karena itu para ahli tafsir berbeda interpretasi mengenai makna ayat tersebut. Syeikh Nawawi dalam karya buku di atas memberikan penjelasan kata tersebut sebagai Muthiat li Azwajihinna (yang taat/patuh kepada para suaminya). Sebelumnya, Ibnu Katsir mengutip pendapat Ibnu Abbas, mengatakan hal yang sama : “perempuan-perempuan yang taat kepada suaminya dan menjaga diri untuk suaminya dan menjaga hartanya ketika suami tidak di rumah.
Berbeda dengan pendapat dua ulama di atas, Imam al Suyuti menyebutkan sejumlah pandangan para ulama sebelumnya. Ibnu Jarir al Thabari, guru besar para ahli tafsir, dari Qatadah, ahli tafsir dari kalangan Tabi’in, menafsirkan perempuan (isteri) yang saleh ialah : yang taat kepada Allah dan suaminya. Dia yang bisa menjaga harta suaminya, tubuh dan kemaluannya.
Dalam terjemahan al Quran Departemen Agama RI disebutkan : “Sebab itu, wanita-wanita yang shalih ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka”.
Betapa berwarnanya pandangan para ahli tafsir itu bukan?.
Belum Selesai. Jangan buru-buru menyimpulkan. Sabar Menanti ya? (Bersambung)