• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Kehidupan Pilu yang Dialami Perempuan Korban KDRT

Melihat kondisi tersebut, mari beri dukungan dan apresiasi bagi setiap perempuan yang memutuskan untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat. Dan mari dukung serta rangkul setiap korban yang masih dilema apakah tetap bertahan tapi penuh luka, atau keluar dan mendapatkan kebebasan

Alfiyah Salsabila Alfiyah Salsabila
27/05/2023
in Keluarga
0
Kehidupan

Kehidupan

838
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sejak tahun pertama pernikahan, kehidupan MA (inisial) seorang perempuan sudah merasakan hubungan rumah tangga yang toxic. Kekerasan verbal berupa umpatan yang paling kasar dari suaminya sudah menjadi makanan sehari-sehari. Belum lagi dia mengalami beban pekerjaan rumah yang sangat berat, selain melayani suaminya ia juga mengurus mertua dan tujuh adik suaminya.

Selain mengalami kekerasan secara verbal, MA juga mengalami kekerasan secara ekonomi dan sosial. MA tidak dinafkahi oleh suaminya dan juga dibatasi untuk beraktifitas di luar rumah. ia dituntut untuk memberikan seluruh pikiran dan tenaganya untuk mengurus seluruh keluarga suaminya.

Dengan begitu, dengan berbagai beban tersebut ia harus banting tulang untuk mencari nafkah dengan berjualan pelampung renang di objek wisata dekat rumahnya dan bekerja sebagai tukang bersih-bersih di rumah tetangganya.

Tahun kedua pernikahan, MA sudah berniat untuk berpisah, tetapi urung karena beberapa alasan. Pertama MA meyakini sang suami akan berubah menjadi lebih baik, kedua ia memikirkan nasib anaknya dan yang ketiga ia bingung akan pergi kemana setelah bercerai.

Namun, setelah berusaha membina magligai rumah tangga selama 25 tahun, akhirnya MA mantap bercerai pada awal tahun 2023. Keputusan ini mendapatkan dukung penuh oleh anak-anaknya dan juga keluarganya. Karena ternyata selama ini anak dan keluarga MA juga merasa prihatin dengan nasib MA yang terus menerus mendapatkan kekerasan dari suami serta keluarganya.

Baca Juga:

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

Jangan Tanya Lagi, Kapan Aku Menikah?

Melihat dilema yang dirasakan oleh MA ini saya jadi berefleksi bahwa betapa sulitnya korban untuk memutuskan keluar dari lingkaran setan bernama Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) ini.

Sebab, ada banyak faktor dan pertimbangan yang membebani psikologis para korban KDRT. Seperti memikirkan nasib anak, takut distigma oleh masyarakat sekitar dan pertimbangan lainnya. Hal ini pula yang pernah seorang spikiater bernama dr. Ida Rochmawati Sp Kj sampaikan.

Enam Alasan Korban KDRT bertahan dalam Hubungan Toxic

Dilansir dari VoaIndonesia.com, dr Ida Rochmawati Sp KJ seorang psikiater menyebutkan setidaknya ada enam alasan mengapa banyak korban KDRT memilih untuk tetap bertahan.

Pertama, ketergantungan secara psikologis, ekonomi dan sosial. Kedua, atas nama cinta sehingga korban masih memiliki harapan semua akan berubah.

Ketiga, bentuk altruistik demi anak-anak dan menjaga kehormatan keluarga. Sedang kemungkinan alasan keempat adalah pikirannya termanipulasi, bahwa ia sebagai korban memang bersalah dan layak menerima perlakuan tersebut.

Kelima, kekhawatiran mendapatkan stigma buruk sebagai perempuan yang tidak bisa menjaga kehormatan keluarga. Dan keenam adalah adanya relasi kuasa yang menimbulkan ketakutan untuk mengambil sikap.

Dengan melihat alasan-alasan di atas, dr Ida menyampaikan bahwa kita harus sangat jeli melihat persoalan KDRT ini. Sebab banyak kehidupan para korban yang memutuskan untuk bertahan dalam relasi yang tidak sehat tersebut bukan karena masih kuat. Tetapi karena tidak ada dukungan dari orang sekitar dan merasa takut jika anaknya tidak tumbuh dalam keluarga yang utuh.

Oleh karena itu kembali pada kasus MA. Ternyata alasan bertahan dengan suami yang melakukan KDRT karena alasan supaya anaknya punya orang tua yang utuh, tidaklah selalu benar. Justru bisa saja anak akan lebih bahagia dan sehat ketika dia tidak tumbuh dalam kehidupan keluarga yang penuh dengan kekerasan.

Sebab dampak KDRT itu bukan hanya membebani psikologis istri saja, tetapi juga mental anak. Sebagaimana yang seperti yang saya kutip dari Voi.id menyebutkan bahwa ada beberapa dampak KDRT bagi anak. Di antaranya ialah trauma emosional, risiko luka fisik, depresi dan prilaku agresif.

Melihat kondisi tersebut, mari beri dukungan dan apresiasi bagi setiap perempuan yang memutuskan untuk keluar dari hubungan yang tidak sehat. Dan mari dukung serta rangkul setiap korban yang masih dilema apakah tetap bertahan tapi penuh luka, atau keluar dan mendapatkan kebebasan. []

Tags: DialamiKDRTkehidupankekerasankorbanperempuanPilurumah tangga
Alfiyah Salsabila

Alfiyah Salsabila

Saya adalah mahasantriwa Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI) Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) Cirebon.

Terkait Posts

Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Keluarga Maslahah

Kiat-kiat Mewujudkan Keluarga Maslahah Menurut DR. Jamal Ma’mur Asmani

28 Juni 2025
Sakinah

Apa itu Keluarga Sakinah, Mawaddah dan Rahmah?

26 Juni 2025
Cinta Alam

Mengapa Cinta Alam Harus Ditanamkan Kepada Anak Sejak Usia Dini?

21 Juni 2025
Perbedaan anak laki-laki dan perempuan

Jangan Membedakan Perlakuan antara Anak Laki-laki dan Perempuan

17 Juni 2025
Ibu Rumah Tangga

Multitasking itu Keren? Mitos Melelahkan yang Membebani Ibu Rumah Tangga

17 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Toxic Positivity

    Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ikhtiar Menyuarakan Kesetaraan Disabilitas

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menjaga Pluralisme Indonesia dari Paham Wahabi
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian
  • Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!
  • Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman
  • Bukan Lagi Pinggir Kota yang Sejuk: Pisangan Ciputat dalam Krisis Lingkungan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID