Mubadalah.id – Berapa jumlah kasus kekerasan seksual yang terjadi setiap tahun? Apakah mengalami penurunan? Atau semakin meningkat? Sebaiknya kita simpan dulu angka-angka yang berderet empat sampai lima digit tersebut. Sebab, satu kasus saja sudah cukup menciderai kemanusiaan. Lalu bertanya, kenapa sebagian besar laki-laki melakukan kekerasan seksual?
Kita patut menelusuri penyebab bayi laki-laki yang merah-rapuh mampu melakukan kekerasan ketika tumbuh dewasa; atau lelaki yang terlihat baik di depan umum bisa berubah trengginas di hadapan perempuan. Itu artinya laki-laki telah mengalami konstruksi dalam perjalanan ruang dan waktu.
Michael Kaufman (1999) memiliki konsep men’s contradictory experience of power. Ini (akan) menjelaskan bahwa penyebab kekerasan adalah relasi kuasa dan ketidak mampuan laki-laki mencapai standar maskulinitas di dunia patriarki.
Pertama, dunia patriarki mengonsepsikan laki-laki sebagai makhluk kuat dan memiliki kemampuan menundukkan (apa pun). Maka ini adalah awal mula kenapa bayi mungil menjadi pelaku kekerasan ketika tumbuh dewasa. Sebab, laki-laki dituntut oleh masyarakat (patriarki) untuk menjadi pribadi yang super-power, maskulin. Itu menjadi semacam blueprint bagi semua laki-laki dari kelas, ras, dan identitas manapun.
Wacana tersebut yang saat ini membentuk gender laki-laki. Dan terus menggelinding seperti bola salju, semakin menguat walaupun melewati berbagai watak masyarakat, era, dan generasi. Sifatnya sangat esensialis. Jika seorang memiliki penis, maka ia adalah laki-laki, sekaligus ia adalah manusia kuat.
Adakah yang semasa kecil (laki-laki) dibelikan boneka berbie oleh orang tuanya? Atau setidaknya yang memilih boneka berbie daripada robot? Sekilas konsep dunia patriarki membuat laki-laki memiliki privilege, memiliki kekuatan yang telah teruji namun perlu pembuktian.
Misalkan seorang laki-laki yang memukul kekasihnya karena melakukan sedikit kesalahan, masyarakat akan menganggapnya pantas karena itu dianggap tugas laki-laki untuk meluruskan; dan laki-laki memiliki misi pribadi melakukan itu, untuk membuktikan dirinya benar-benar memiliki kekuatan.
Sedangkan di lingkaran laki-laki (manhood), mereka saling dituntut untuk menjadi kuat dan terkuat. Artinya laki-laki berusaha menjadi pemangsa tertinggi di lingkarannya. Tidak lain arena laki-laki adalah ajang pembuktian diri bahwa dirinya layak disebut laki-laki.
Tapi, kedua, justru di sinilah kontradiksi kekuatan laki-laki. Ia tidak bisa duduk dengan tenang, karena di pikirannya selalu ada bisikan yang menuntut fisiknya untuk terus menjadi kuat dan tidak mengakui rasa sakit. Laki-laki, misalnya, akan dianggap cengeng ketika meneteskan air mata; atau dianggap lemah ketika merasakan sakit karena mendapatkan sedikit pukulan.
Ya, laki-laki memiliki pengalaman rasa sakit itu, tapi sekaligus mereka merasa ada sebuah sistem (relasi kuasa) yang melarang laki-laki untuk mengakui rasa sakit. Kekuatan pada kenyataannya memiliki makna negatif di dunia “laki-laki”. Kekuatan berarti memaksakan kehendak atas orang lain sekaligus memaksa emosi diri sendiri yang sulit diatur.
Konsekuensinya, laki-laki menjadi makhluk yang tidak bisa menerima kesetaraan, ia selalu mengidamkan hierarki. Pada akhirnya, jalan hidup laki-laki adalah mendominasi—ekonomi, politik, perempuan, alam, dan sumberdaya di sekitarnya. Bagaimana jika laki-laki tidak bisa memenuhi standar yang sudah menghegemoni tersebut?
Ketiga, laki-laki akan mencari pelampiasan di mana ia bisa membuktikan bahwa dirinya kuat. Perempuan, adalah arena terakhir pembuktian kekuatan setelah tereliminasi dan teralienasi dari lingkaran laki-laki. Sebab hierarki dan dominasi adalah akar yang menghujam pikiran laki-laki, maka kegagalan di lingkaran laki-laki tidak menghentikan lelaki untuk membuktikan kekuatannya.
Ini adalah bukti cacatnya dunia patriarki, dan laki-laki sebagai penerima privilege dibuat tidak bisa bersuara mewakili rasa sakitnya. Ini harusnya bisa menjadi milestone bagi laki-laki untuk membuktikan bahwa kekerasan itu menyakitkan, memiliki dampak dehumanisasi. Pengalaman rasa sakit mereka bisa menjadi bekal untuk mengafirmasi perjuangan perempuan dalam menghapus kekerasan seksual. Dengan begitu pengalaman rasa sakit laki-laki dapat diakui.
Diamnya laki-laki sebagai objek kekerasan di dunia patriarki semakin menambah catatan silent majority. Ada 13.384 kasus kekerasan pada 2018, dan 9.609 di antaranya terjadi di ranah privat (pacaran dan rumah tangga menjadi kasus dominan).
Menurut catatan tersebut, pelaku didominasi laki-laki. Sebagian besar laki-laki yang menjadi pelaku tersebut harusnya memanfaatkan pengalaman rasa sakit mereka untuk bersuara, bukan malah melampiaskan kekerasan kepada perempuan untuk mendapat pengakuan sebagai makhluk kuat.
Ini adalah tawaran kepada laki-laki untuk masuk dalam agenda penghapusan kekerasan seksual—dan seharusnya memang seperti itu, bukan menambah daftar panjang kekerasan. Pengakuan pengalaman rasa sakit sebagai sumber bukti kejamnya dunia patriarki.
Dan untuk menjadi laki-laki tidak perlu repot mengaplikasikan sifat maskulin, sifat feminin pun tidak masalah. Dengan demikian menjadi laki-laki tidak perlu bersusah payah mencapai puncak hierarki, karena dunia diciptakan untuk kesetaraan: mengakui pengalaman setiap gender. []