Mubadalah.id – Salah satu hasrat terpendam yang dimiliki manusia adalah hasrat untuk menguasai (the will to power). Secara tidak sadar dalam kehidupan manusia, segala upaya yang dilakukannya tidak lain adalah untuk memperoleh kekuasaan—kekuasaan akan kekuatan, kekuasaan akan harta benda, kekuasaan akan pengaruh, kekuasaan akan ilmu pengetahuan, kekuasaan akan alam, dan kekuasaan atas dirinya sendiri.
Adanya kekuasaan membuat kehidupan seseorang merasa bebas dan aman. Dalam artian, mereka yang berkuasa memiliki kehendak utuh untuk melakukan, mempengaruhi, mengelola dan memerintahkan apa saja yang ia suka. Mereka yang berkuasa memiliki hak kepemilikan yang membuatnya tidak terikat oleh apa pun selain kepada konsekuensi dari perlakuan terhadap diri mereka sendiri.
Hak kepemilikan memberikan kebebasan bagi kehidupan seseorang untuk melakukan apa saja terhadap apa yang dimiliki (kuasai). Kekuasaan juga memberikan kekuatan. Mereka yang berkuasa akan lebih merasa terlindungi karena mendapat kekuatan lain dari sesuatu yang dikuasai. Secara alamiah kekuasaan memberikan suatu keamanan, kenyamanan dan kebebasan bagi kehidupan manusia.
Arthur Schopenhauer menyatakan bahwa alam semesta dan segala isinya didorong oleh keinginan primordial untuk hidup. Keinginan primodial tersebut yang nantinya akan mendorong manusia untuk berjuang mempertahankan eksistensinya di kehidupan.
Hal ini yang membuat manusia ingin menjadi lebih unggul, lebih diakui dan dihormati oleh manusia lainnya. Keinginan untuk hidup memicu adanya sebuah kompetisi antar sesama manusia entah itu dalam bisnis, politik, ataupun kehidupan sosial.
Kehidupan manusia akan selalu bertempur, berperang dan bertaruh dalam suatu kompetisi. Mereka yang memenangkan kompetisi akan mendapatkan kuasa yang lebih besar atas kehidupan. Yang kalah dalam kompetisi karap kali akan kehilangan kekuasaannya. Dan mereka yang tidak memiliki daya kuasa sangkali akan mendapati dirinya sebagai orang yang putus asa.
Ini mungkin menjadi alasan kenapa para malaikat protes kepada Tuhan ketika Dia sedang menciptakan manusia sebagai khalifah (pengelola) dunia.
وَاِ ذْ قَا لَ رَبُّكَ لِلْمَلٰٓئِكَةِ اِنِّيْ جَا عِلٌ فِى الْاَ رْضِ خَلِيْفَةً ۗ قَا لُوْۤا اَتَجْعَلُ فِيْهَا مَنْ يُّفْسِدُ فِيْهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَآءَ ۚ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَـكَ ۗ قَا لَ اِنِّيْۤ اَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُوْنَ
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, Aku hendak menjadikan khalifah di bumi. Mereka berkata, Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu? Dia berfirman, Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 30)
Sabrang M.D.P membagi kompetisi kehidupan menjadi dua yaitu: pertarungan pendek dan pertarungan panjang. Temanku Abdullah Farid mengistilahkan dengan istilah rokaat pendek dan rokaaat panjang. Menurut Sabrang M.D.P dan teman saya Abdullah Farid. Pertarungan pendek (rokaat pendek adalah pertarungan yang bisa diprediksikan jangka waktu penyelesainnya dan memiliki hasil akhir, sebagai contoh, seorang yang melamar pasangannya maka akan mendapatkan hasil akhir berupa penerimaan atau penolakan.
Sedangkan pertarungan panjang (rokaat panjang) adalah pertarungan yang tak memiliki jangka waktu dan tak memiliki hasil akhir. Pertarungan ini akan selalu diperjuangkan sepanjang hayat. Sebagai contoh seorang yang telah berkeluarga akan selalu berjuang untuk mempertahankan keutuhan keluarganya. Andaikata seorang suami memaksakan dirinya untuk menang terhadap istrinya, keluarganya akan hancur. Begitu juga jika suami itu selalu kalah pada istrinya keluarganya juga akan hancur pula.
Sebuah keluarga harus dibangun dengan penuh keharmonisan dan relasi antara kedua pasangan. Tak ada kata menang atau kalah, yang ada hanyalah kesadaran untuk saling membahagiakan satu sama lain. Jika kita istilahkan kompetisi yang saling membahagiakan dan memenangkan satu sama lain ini dengan istilah pertarungan panjang, agaknya terasa kurang pas. Sebab yang dikompetisikan di sini tidak lagi soal pertarungan dan perlawanan untuk memperoleh suatu kekuasaan, melainkan lebih kepada penerimaan dan penjagaan akan keharmonisan.
Pertempuran panjang juga memiliki akhiran. Sebab setiap yang memiliki awal harus memiliki akhiran. Bagi Sun Tzu memperpanjang pertempuran hanya akan membawa pada kehancuran dan kerugian yang lebih besar. Kita seringkali lupa bahwa akhir dari pertempuran adalah perdamaian dan akhir dari sholat adalah salam.
Berhadapan dengan dunia yang memprihatinkan juga bisa dikatakan sebagai peperangan untuk berdamai dengan keadaan. Tujuan utama bertempur adalah perdamaian. Dengan perdamaian kita berjalan beriringan, saling mengisi, memahami, dan membantu di kehidupan.
Al-Qur’an menyebutkan dalam Surah Al-Baqarah Ayat 148:
وَلِكُلٍّ وِّجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيْهَا فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِ ۗ اَيْنَ مَا تَكُوْنُوْا يَأْتِ بِكُمُ اللّٰهُ جَمِيْعًا ۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ
“Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Jadi bisa kita simpulkan bahwa hasrat untuk menguasai merupakan suatu hasrat alamiah, juga merupakan bagian dari keinginan primodial untuk bertahan hidup. Hasrat tersebut bukan merupakan suatu keburukan meskipun seringkali digunakan untuk suatu kepentingan yang hanya berdasar pada kepuasan diri sendiri.
Oleh karena itu hasrat untuk menguasai (the will to power) seharusnya dipergunakan lebih dulu untuk menguasai diri sendiri dari segala keinginan duniawi yang sifatnya hanya memberikan kebahagiaan sementara. Manusia seharusnya bisa menguasai dirinya lebih dulu sebelum dia memiliki keinginan untuk menguasai dunia.
Untuk bisa menguasai diri, kamu harus bisa mengenali dirimu sendiri. Dengan pengenalan, kamu akan lebih mudah untuk mengendalikan dirimu di alam sadar. Manusia yang telah menguasi dirinya tak akan tergiur lagi dengan kekuasaan dunia, sehingga ia tidak akan lagi semena-mena melakukan segala cara untuk mendapatkan kekuasaan.
Rumi berkata: “Kemarin saya pintar, jadi saya ingin mengubah dunia. Hari ini saya bijaksana, jadi saya mengubah diri saya sendiri.”
Kehidupan dunia dan segala isinya akan kamu kuasai apabila kamu menguasai dirimu sendiri.
Erich Fromm menulis dalam Revolusi Harapan hal. 36, “Siapa pun yang mencoba bergerak maju ke arah keadaan menjadi dirinya secara penuh, tahu bahwa kapan pun sebuah langkah baru ke arah ketidaktahuan dibuat, perasaan kuat dan bahagia terbangkitkan tanpa ragu.”
Ia merasa sebuah fase kehidupannya telah dimulai. Ia bisa merasakan kebenaran pernyataan Goethe: “Inch hab mein Haus auf nichts gestellen, deshalb gehoert mir die ganze Welt (Aku telah meletakkan rumahku di atas ketiadaan, dan itulah kenapa seluruh dunia adalah milikku).” []