Saya mulai gerah sejak media sosial ramai membicarakan kasus prostitusi online yang menimpa VA. Dari banyak aspek terkait prostitusi online itu, sebagian besar media justru memilih fokus menguliti seluk beluk sosok sang artis. Berikut perempuan korban prostitusi.
Pemberitaan yang menurut saya kabur dari fokus masalah utama kasus tersebut dan lebih banyak memproduksi angle berita yang berat sebelah.
Yang saya lihat setiap pemberitaan kasus prostitusi, perempuan korban prostitusi selalu didudukkan sebagai objek sorotan. Bahkan, media jarang mengupas isu substansial yang bisa menguak dapur bisnis prostitusi tersebut.
Perempuan yang meski secara sadar melakukan pekerjaan yang dipilihnya sebagai pekerja seks, tetap akan berstatus sebagai korban perdagangan orang.
Dilansir dari BBC Indonesia, salah satu aktivis perempuan, Siti Aminah, dari Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) mengungkapkan, “perempuan yang menjadi korban prostitusi harus diperlakukan sebagai korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)”.
Sesuai yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, seharusnya korban mendapatkan perlindungan hukum termasuk kerahasiaan identitas.
Namun sayangnya, pemberitaan yang muncul terkait kasus prostitusi online tersebut, tak terlepas dari cara pandang kita yang tidak menggunakan kacamata TPPO tapi lebih berfokus ke arah moralitas.
Sistem hukum dan sosial seharusnya lebih adil dalam melihat kasus prostitusi. Bukan malah memberikan stigma sosial yang rendah dan memberikan perlakuan hukum yang tidak sepantasnya.
Dalam kasus prostitusi yang bersalah adalah muncikari sebagai penyedia dan penyalur jasa, bukan pekerja seksnya. Karena dalam prostitusi sangat memungkinkan adanya perdagangan orang.
Ketika ada proses perantaraan, pengambilan keuntungan atas pekerjaan yang dilakukan, atau bahkan adanya kekerasan dan pemaksaan seperti bujuk rayu, itu bisa dikatakan perdagangan orang.
Sepatutnya kebijakan berpihak pada perempuan dengan memberikan lebih banyak kesempatan pada bidang pendidikan, peran politik, dan peran publik. Dengan hukum dan kebijakan yang berpihak pada perempuan korban, akan mampu memberikan perlindungan pada perempuan agar tidak terjebak dalam pekerjaan seks yang memberikan dampak buruk bagi perempuan.
Demikian perempuan korban prostitusi, yang kerap disalahartikan dan diglorifikasi seolah-olah menjadi terduga pelaku. Semoga bermanfaat. []