Mubadalah.id – Tulisan ini merupakan lanjutan dari tulisan sebelumnya. Yaitu tentang sepasang suami istri, dimana yang istri khawatir, karena sang suami sudah mulai berpaling kepada perempuan lain. Bisa jadi perempuan memilih berpisah, tetapi al-Qur’an mengajak untuk berdamai dulu. “Tidak ada salahnya bagi mereka berdua untuk berdamai”, kata al-Qur’an (QS. 4: 128).
Salah satu opsi untuk damai adalah: sang laki-laki kembali berkomitmen dengan istrinya dan memutus relasinya dengan perempuan lain tersebut. Sehingga mereka berusaha kembali untuk menjadi pasangan yang saling menguatkan, melayani, dan membahagiakan.
Opsi lain adalah memberi kesempatan suami untuk menikahi perempuan tersebut. Alias poligami. Lalu, apa kata al-Qur’an tentang poligami ini? Nah, ayat selanjutnya (QS. An-Nisa, 4: 129) berbicara tentang kemungkinan opsi ini. Ayat ini menyapa langsung laki-laki, dimana pada kasus seperti pasutri di atas, ia menginginkan poligami.
“(Wahai laki-laki), kalian tidak akan mampu berbuat adil terhadap para perempuan (yang kalian poligami), sekalipun kalian memiliki keinginan besar (untuk berbuat adil itu)”. (ولن تستطيعوا أن تعدلوا بين النساء ولو حرصتم).
Wahai laki-laki, kalian jangan sombong dulu, lebih baik: tahu diri, kenali diri, dan mawas diri: bahwa poligami yang kalian lakukan akan membuat kalian berbuat tidak adil terhadap para perempuan, bisa menzalimi dan menyakiti mereka. Kalian penting sekali untuk menyadari hal ini sebelum bertindak lebih jauh.
Dengan kesadaran ini, diharapkan para laki-laki urung poligami. Atau, jika akhirnya memilih poligami, mampu mengelola diri dan relasinya dengan baik, sehingga tidak cenderung kepada salah satu saja dari para istrinya, dan membiarkan salah satu yang lain tanpa perhatian, tanpa cinta, dan tanpa kasih sayang.
“(Wahai laki-laki, jikapun poligami), janganlah cenderung secara penuh (kepada salah satu istri) dan membiarkan salah satu yang lain terkatung-katung” (فلا تميلوا كل الميل فتذروها كالمعلقة).
Ini perintah dari al-Qur’an, sebagai tindakan minimal yang paling mungkin dilakukan seorang laki-laki, ketika secara karakteristik adalah tidak mungkin ada keadilan dalam pernikahan poligami.
Berbuat adil dalam poligami adalah tidak mungkin. Tetapi, ketika kalian (wahai laki-laki) tetap menginginkan poligami, maka, cobalah memberi perhatian yang sama, dan jangan sampai ada satu orang yang terkatung-katung, tanpa perhatian, tanpa cinta, dan tanpa kasih sayang. Ini penting sekali.
Selanjutnya, “Jika kalian (wahai laki-laki) terus memperbaiki diri dan relasi (terhadap para perempuan yang kalian poligami) dan menahan diri (dari segala perbuatan buruk kepada mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (وإن تصلحوا وتتقوا فإن الله كان غفورا رحيما).
Ketika keadilan itu sulit diwujudkan dalam pernikahan poligami, ada tiga konsep kunci yang diminta al-Qur’an kepada laki-laki. Yaitu membagi perhatian secara merata dan tidak cenderung kepada salah satu saja (fa la tamilu kulla al-mayl fa tadzaruha ka al-mu’allaqah), selalu memperbaiki diri dan berbuat baik (tushlihu), dan selalu menahan diri (tattaqu). Ketiga perilaku ini yang menjadi prasyarat turunnya ampunan dan kasih sayang Allah Swt kepada mereka yang mempraktikkan pernikahan poligami.
Mari kita baca ayat ini secara utuh:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا (النساء، 129).
“(Wahai laki-laki), kalian tidak akan mampu berbuat adil terhadap para perempuan (yang kalian poligami), sekalipun kalian memiliki keinginan besar (untuk berbuat adil itu). (Karena itu, jika kalian berpoligami), janganlah kalian cenderung secara penuh (kepada salah satu istri) dan membiarkan salah satu yang lain terkatung-katung. Jika kalian terus memperbaiki diri dan relasi (terhadap para perempuan yang kalian poligami) dan menahan diri (dari segala perbuatan buruk kepada mereka), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS. An-Nisa, 4: 129).
Pembukaan ayat ini tegas dan jelas sekali tertuju kepada para laki-laki. Mereka diminta mawas diri tentang kelemahan yang mereka miliki. Bahwa mereka tidak akan mampu berbuat adil. Karena tidak adil, poligami mereka akan menzalimi dan menyakiti para perempuan. Laki-lakilah yang harus berefleksi tentang diri mereka, bukan malah menyalahkan dan menyudutkan para perempuan yang tidak menerima poligami.
Pada kasus pasutri di atas, dimana sang istri khawatir suaminya berpaling kepada perempuan lain, lalu sepakat berdamai dengan opsi poligami (QS. 4: 128), maka laki-lakilah yang harus berinisiatif untuk mawas diri, merendah dan bersedia berkomitmen untuk membagi perhatian, selalu berbuat baik, dan menahan diri dari segala perbuatan buruk dan dosa (QS. 4: 129).
Namun ayat ini (QS. 4: 129) bisa juga ditafsirkan pada konteks opsi tanpa cerai dan tanpa poligami. Jika demikian, ayat ini sesungguhnya sedang mengingatkan sang suami untuk tidak berpoligami. Karena, ia tidak akan mampu berbuat adil, padahal keadilan adalah moral utama dalam Islam (wa lan tastathi’u an ta’dilu bay an-nisa) (Lihat juga: QS. 4: 3). Jadi, tinggalkanlah rencana poligami itu.
Untuk bisa meninggalkanya, cobalah ia memulai untuk tidak lagi cenderung kepada perempuan selain istrinya (fa la tamilu kulla al-mayl), tidak juga memberi perhatian kepadanya, yang membuat sang istri justru terkatung-katung, tanpa perhatian, tanpa cinta dan kasih sayang (fa tadzaruha ka al-mu’allaqah).
Selanjutnya, cobalah ia perbaiki dirinya dan perkuat lagi relasinya dengan sang istri (wa in tushlihu), lalu menahan diri dari segala perbuatan dosa, buruk, dan tidak lagi berpaling kepada perempuan lain (wa tattaqu). Jika yang demikian itu ia lakukan oleh laki-laki, dengan sungguh-sungguh, Allah Swt akan memudahkannya kembali hidup bersama istrinya dalam ampunan dan kasih sayang-Nya, juga kasih sayang di antara mereka berdua (fa innaallah kana ghafuran rahiman).
Namun, dalam kehidupan nyata bisa jadi tidak ada laki-laki yang demikian. Sekalipun tidak memilih poligami, akibat kejadian percobaan selingkuh itu, laki-laki menjadi mudah menyalahkan istri dan mendiskreditkannya. Ia juga mudah marah, bahkan beberapa malah melakukan kekerasan.
Atau, kepalang basah, daripada berzina, sang suami bersikeras menikahi perempuan tersebut, alias berpoligami. Ia tidak mawas diri. Ia justru jumawa hanya bermodal kebolehan poligami dalam al-Qur’an, menyalahkan dan menyudutkan istri. Padahal dia yang selingkuh dan melanggar komitmen.
Alih-alih mendengar anjuran al-Qur’an untuk mawas diri, berbuat baik, dan menahan diri, ia malah berbuat semena-mena kepada istrinya. Sang istri tentu saja tidak hanya sakit karena dipoligami, tetapi juga menerima perlakuan buruk, tidak diperhatikan, tidak lagi memperoleh cinta dan kasih sayang, bahkan lebih dari itu, ia menjadi korban kekerasan, psikis dan fisik.
Poligami memang pada praktiknya adalah menyakitkan. Fakta inilah yang ingin diingatkan al-Qur’an. Karena itu, para laki-laki diminta al-Qur’an untuk memiliki komtimen tinggi, ketika memilih poligami. Komitmen pada keadilan, kebaikan, dan ketakwaan.
Namun, jika pada akhirnya, perempuan tidak menemukan laki-laki yang memiliki komitmen tersebut, apa yang dianjurkan al-Qur’an kepada mereka?
Nah, jawabanya ada pada ayat berikutnya (QS. An-Nisa, 4: 130). (Bersambung)
*)Baca tulisan sebelumnya “Tuntunan Qur’ani Agar Tidak Tersakiti Poligami (Bagian I)”