Mubadalah.id – Dewasa ini, banyak sekali pikiran yang berseliweran. Yang berisik itu bukan hanya omongan orang, tapi yang ada dalam pikiran kita sendiri juga sering kali mengganggu. Overthinking, tidak percaya diri, memikirkan banyak hal secara berlebihan justru membuat kesehatan mental kita memburuk. Bahkan, banyak orang yang mengalami kesulitan tidur oleh sebab overthinking. Hal ini sering terjadi saat seseorang masih dalam proses pencarian identitas diri.
Kebanyakan orang dalam rentang usia 18-30 tahun merasa tidak memiliki arah tujuan, khawatir, bingung, dan galau akan ketidakpastian menghadapi kehidupan di masa depan tentang percintaan, karir, finansial, relasi dan kehidupan sosial. Fase ini dinamakan Quarter Life Crisis.
Pemicu awal seseorang berada dalam fase ini adalah sikap insecure pada diri sendiri atas pencapaian orang lain. Misalnya, si A di usia 23 tahun sudah menikah, tapi kita sendiri masih melajang. Si B di usia 23 tahun sudah memiliki pekerjaan tetap, sedangkan kita masih freelancer. Si C di usia 23 tahun sudah pernah ke luar negeri, tapi kita sendiri masih sebatas mimpi.
Sikap insecure yang berujung membandingkan diri sendiri dengan orang lain membuat kita mempertanyakan kembali apa value dalam diri dan tujuan hidup itu sendiri. Situasi ini disebut dengan istilah Existential Crisis yang membuat kita seringkali terjebak pada konstruksi sosial yang menciptakan standar dan nilai-nilai tertentu di masyarakat.
Contohnya, perempuan yang belum menikah di usia 25 tahun disebut perawan tua. Laki-laki yang belum memiliki pekerjaan tetap di usia 25 tahun dianggap belum sukses. Atau, pasangan yang belum dikaruniai keturunan di 2 tahun usia pernikahan menjadi bahan gosip tetangga.
Standar dan nilai-nilai tersebut justru menjadi penghalang dalam menentukan jati diri seseorang. Padahal, identitas diri tidak ditentukan oleh orang lain, melainkan diri kita sendiri yang menentukan. Oleh karena itu, kita harus bangga, percaya diri dan yakin dengan diri sendiri supaya bisa menghiraukan kritik subjektif orang lain.
Untuk menghadapi Quarter Life Crisis atau Existential Crisis dan krisis-krisis lainnya, agar lebih percaya diri, dan lebih menjaga kesehatan mental adalah yang paling utama, setidaknya dengan menerapkan 5 hal berikut:
Pertama, Menerima diri sendiri apa adanya dan ada apanya dengan cara mengenali apa yang kita sukai, apa yang kita benci, dan apa yang kita butuhkan. Kemudian, setelah kita benar-benar mengetahui jati diri melalui proses pengenalan diri bukan dari apa kata orang lain, kita bisa mulai menjalani hidup dengan versi terbaik dari kita.
Membandingkan diri dengan orang lain atau memantaskan diri dengan standar yang berdasarkan konstruksi sosial justru membuat kita tidak menjadi diri sendiri dan tidak nyaman menjalani kehidupan. Maka dari itu, diperlukan kesadaran bahwa setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Nikmati saja setiap prosesnya karena kesuksesan tidak diraih dengan instan.
Kedua, membiasakan diri untuk melakukan Positive Affirmation yakni kalimat-kalimat atau kata-kata positif yang diucapkan berulang kali untuk membangun kepercayaan diri karena secara tidak sadar perkataan-perkataan baik yang kita ucapkan akan membentuk karakter atau mindset kita menjadi lebih positif.
Positive Affirmation ini bisa dilakukan ketika kita bangun dari tidur di setiap harinya, misalnya dengan mengucapkan “Aku Hebat”, “Hidupku Luar Biasa” atau “Hari Ini Istimewa”. Jika dilakukan berulang-ulang, kalimat positif tersebut akan mempengaruhi alam bawah sadar kita sehingga kita akan lebih optimis untuk menjalani hari-hari mendatang.
Ketiga, berada di lingkungan bersama orang-orang yang positif dan suportif karena kondisi tersebut sangat membantu diri kita menjadi pribadi yang lebih baik. Ketika kita jatuh, akan ada orang yang menolong kita untuk bangkit.
Setidaknya hanya dengan mendengarkan keluh kesah seseorang yang sedang galau, sebenarnya kita telah membantu meringankan masalahnya. Dengan bercerita, kita telah sedikit mengeluarkan perasaan yang membuat sesak di dada, menjadi lega. Di samping itu, saat kita merasa sendiri, kita seperti menanggung beban hidup yang berat sekali. Ingat, you’re not alone!
Keempat, ketika kita merasa di titik terendah, usahakan untuk mencari solusi atau melakukan kegiatan yang membuat kita produktif. Jangan hanya diam atau menunggu pertolongan dari orang lain. Sejatinya, satu-satunya orang yang bisa kita andalkan adalah diri kita sendiri yang tak pernah pergi walau masalah datang bertubi-tubi.
Merasa sedih atau bahkan menangis itu manusiawi, dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Tapi, kesedihan itu cukup dirasakan seperlunya saja karena jika dalam kondisi terpuruk yang berkepanjangan justru hanya membuat situasi bertambah buruk.
Kelima, memasrahkan segala takdir baik maupun buruk pada Tuhan. Puncak dari ikhtiar (usaha) adalah tawakkal (berserah) kepada Yang Maha Kuasa. Hanya Ia satu-satunya Dzat yang dapat menghidupkan harapan-harapan kita tentang masa depan.
Spiritualitas juga erat kaitannya dengan kepercayaan diri, dan kesehatan mental. Banyak orang yang memilih jalan yang keliru saat mengalami krisis dalam hidupnya dikarenakan mentalnya yang lemah. Tapi, jika kita kembali dan menyandarkan diri pada Tuhan Yang Maha Kuat, kita akan mendapatkan kekuatan besar untuk menjalani kerasnya kehidupan. Sampai pada akhirnya, kita bisa melewati fase yang menyebalkan, Quarter Life Crisis. []