Mubadalah.id – Hadirnya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) menjadi angin segar untuk kita semua. Berbagai organisasi, komunitas, aktivis yang concern dengan isu perempuan terus menyuarakan agar RUU ini segera disahkan. Dalam hal ini, salah satunya adalah Sapa Institut.
Sapa Institut merupakan sebuah learning organization non profit dan independen di Kabupaten Bandung yang berfokus pada isu perempuan terkait hak seksual, kesehatan reproduksi dan kemandirian ekonomi perempuan serta anti kekerasan, terus menyuarakan isu tersebut.
Karena mengingat Sapa Institut lahir dari kegelisahan sekelompok muda terhadap tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, belum terpenuhinya hak dasar perempuan, khususnya hak seksual dan hak kesehatan reproduksi serta masih rendahnya tingkat kesejahteraan perempuan.
Dalam perspektif pengada layanan yang selama ini menangani korban, Koordinator Sapa Institut Sri Mulyati mengatakan, Jawa Barat (Jabar) punya andil besar dalam pembuatan atau penyusunan draft RUU P-KS.
Dalam kasus kekerasan, Jabar menduduki peringkat tertinggi ke-5 se-Indonesia, dan untuk kasus kekeraan terhadap perempuan ke-3 se-Indonesia setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur.
“Makanya penting bagi Jabar untuk mendukung penghapusan kekerasan seksual karena Jawa Barat menyumbang cukup banyak kasus kekerasan. Jika kita tidak mendukung, berarti kita abai terhadap kekerasan-kekerasan yang terjadi di sekitar kita,” kata Sri, saat diskusi tematik dan deklarasi dukungan pengesahanRUU P-KS di Aula Pondok Pesantren Al-Musyahadah-Cimahi, belum lama ini.
Sri menambahkan, dari 324 kasus kekerasan yang terlapor, 47 % adalah kasus kekerasan seksual. Dari kasus yang terlapor ini setiap tahun terus meningkat, karena kasus kekerasan menurutnya, seperti fenomena gunung es.
“Saat itu, dalam satu RW ada 10 persen perempuan yang mengalami kekerasan, misal kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), human trafficking, dan lain-lain. Tapi masyarakat abai saja, karena dianggap kasus tersebut berada di ranah privat bahkan aib,” tutur Sri.
Kekerasan seksual tidak hanya terjadi kepada kaum perempuan saja, namun kepada laki-laki pun jumlahnya relatif tidak jauh berbeda. Namun yang rentan mendapat dampak yang buruk dari kekerasan seksual adalah perempuan, karena perempuan mempunyai organ reproduksi, sehingga rentan tertular penyakit seksual.
Sri mencontohkan, misalnya perempuan mengalami kehamilan yang tidak diinginkan. Ketika di masyarakat yang distigma buruk adalah perempuan, bahkan di sekolah pun yang dikeluarkan adalah korban yang perempuan.
Sri juga menyayangkan karena yang dilaporkan hanya sebagian kecil dari fenomena yang ada di masyarakat. Namun banyak kasus kekerasan seksual yang tidak terlapor karena dianggap aib. Dalam beberapa kasus masyarakat malah mengusir korban, karena dianggap mencemarkan nama baik.
“Dari 47 % kasus kekerasan seksual, hanya 10 % yang berujung di pengadilan, 37 % berakhir damai. Bahkan dalam kasus pemerkosaan, orangtua seringkali melakukan pemaksaan pernikahan anaknya dengan si pemerkosa demi menutupi aib, dan untuk si pelaku dapat menggugurkan hukuman,” ungkapnya.
Sri menambahkan, dampak dari pemerkosaan akan menimpa fisik maupun mental si korban. Ada juga anak yang harus hidup bersama dengan orang yang telah melakukan kekerasan seksual kepadanya.
Lamanya proses hukum
Pemateri dalam diskusi tematik itu juga mengatakan, proses hukum kasus kekerasan seksual berjalan cukup lama, bisa sampai 3 tahun. Itu pun harus ada pengakuan dari si pelaku.
“Hukum di kita masih berjalan lama, karena baru ada dua bentuk kekerasan seksual yang ada payung hukumnya yaitu pemerkosaan dan pencabulan,” katanya.
Sehingga Sri melanjutkan, apabila ada kasus pelecehan seksual maka ia tidak bisa diproses secara hukum karena belum ada payung hukumnya. Padahal menurutnya, kasus-kasus seperti pemerkosaan bisa jadi diawali dengan pelecehan verbal, setelah itu dilanjut dengan pelecehan fisik, meraba dan lain-lain.
Pengalaman Sri selama pendampingan, ada 9 jenis kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat. Di antaranya adalah perbudakan seksual, pemaksaan pernikahan, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan pelacuran, pemaksaan aborsi.
“Korban kekerasan seksual bisa siapapun, kaya miskin, berjilbab atau tidak, anak-anak atau dewasa, orang tua, remaja dan balita. Seperti kasus ada bayi enam bulan yang dilecehkan kakek-kakek. Kakek tersebut masukkan jarinya ke dalam vagina bayi tersebut,” jelas Sri.
Oleh karena itu, Sri mengajak penting untuk mendukung pengesahan RUU P-KS untuk menghilangkan tantangan dan hambatan dalam penegakkan hukum serta mengurangi kasus kekerasan seksual.
“Sosialisasi RUU P-KS penting dilakukan, agar masyarakat semakin paham, sehingga tidak akan terjadi victimisasi kepada korban tetapi bersama-sama memulihkan keadaan korban,” tandas Sri. (RUL)