Mubadalah.id – Ngaji bareng kang Faqih di awal tahun baru hijriyah 1443, bikin nambah imun dan iman, sebab angin segar ala mubadalah menjadi lingkaran wawasan baru yang tak berujung. Aneh bukan? Ya begitulah kenyataannya, aneh tapi nyata lingkaran yang tidak berujung, karena itulah yang dirasakan.
Pada 10 Agustus 2021, sekitar jam 19.30-21.00 wib, via zoom saya berkesempatan mengikuti acara Ngaji Bareng Kang Faqih. Walaupun hanya berpartisipasi sebagai penyimak saja, namun banyak hal yang saya garis bawahi dari kegiatan ngaji bareng tentang “Perempuan Bukan Sumber Fitnah” ini, dan pastinya karya terbaru Dr. Faqihuddin Abdul Kodir. Beberapa catatan saya antara lain:
Islam itu utuh. Jika diibaratkan rumah, pasti ada pondasi, ada jendela, ada pintu, ada sekatan kamar, ada atap dll (satu kesatuan yang saling menguatkan dan menghubungkan antara yang satu dengan yang lainnya, karena kalau tidak utuh pasti bukan dikatakan rumah lagi). So pandanglah sesuatunya dari berbagai sisi, jika ingin memaknainya. Bukan lagi hanya dilihat dari tampak luarnya saja, seperti melihat rumah tapi tidak memandang berbagai komponen yang ada di dalamnya, sehingga dalam hal ini, kita dianjurkan bersikap hati-hati dalam memaknai banyak hal, agar tidak menimbulkan kemudharatan bagi yang lain.
Karena jika kita tidak ingin memaknai sesuatu tersebut tanpa memandang dari berbagai sisi, yang pastinya, hal demikian tidak mencerminkan keutuhan tersebut. Maka yang akan terjadi, hanya akan mengkafirkan orang lain, mudah melarang orang lain dalam segala hal, merendahkan dan lebih khusus mudah mengganggap perempuan sebagai sumber fitnah dan sumber masalah, sehingga tanpa disadari kemudharatan akan muncul dan dirasakan oleh semua pihak.
Padahal sejatinya, kehidupan ini fitnah, kalau diuraikan kembali menurut Kang Faqih, kata fitnah ini, kata asal dari bahasa arab yang memiliki makna “sesuatu yang menggoda atau menggiurkan”, sehingga membuat kita tergoda dan akhirnya tersandung baik yang berkaitan dengan kekayaan, kemiskinan, ketampanan/kecantikan, jabatan dll, intinya yang menggoda ya berarti itu termasuk fitnah, apapun itu.
Nah, di sini kalau ada kata “kita” itu pasti berlaku untuk siapa saja bukan? Seharusnya kata fitnah ini berlaku juga untuk laki-laki, dan tidak hanya bagi perempuan. Sebab laki-laki dan perempuan juga memiliki potensi fitnah itu sendiri. Lalu kenapa yang selalu dijadikan sebagai sumber fitnah adalah perempuan? Bukan laki-laki?? Atau juga kedua-duanya?
Di dunia nyata, yang telah berakar dalam budaya dan masih bertebaran dalam kehidupan kita, yakni mengenai berbagai hadits yang ditafsirkan seolah-olah untuk menyudutkan perempuan. Sedangkan hadits yang ramah perempuan malah digembok agar tidak banyak yang tahu dan bukan karena tahu diri, dan lebih parahnya lagi, kepentingan pribadi berkedok hadits ini, dijadikan senjata, untuk menjatuhkan lawan (dalam hal ini adalah sosok perempuan).
Demikianlah yang terjadi, bisa berawal dari memaknai sesuatunya tidak secara utuh, hanya fokus pada teks-teksnya saja dan tidak menghiraukan rujukan dari hadits tersebut. Padahal sebenarnya kita sudah tahu, bahwa Nabi Muhammad, SAW diutus ke muka bumi ini, untuk menyempurnakan akhlak dan membawa visi Islam yang penuh kerahmatan bagi seluruh alam semesta beserta isinya.
Apabila melihat misi kenabian tersebut, menjadi catatan bahwa pasti tidak akan ada hadits yang merugikan semua makhluk, khususnya perempuan. Jadi kalau kita mengkaji dan mengaji lagi, tidak hanya melihat wujud rumah dari tampak luarnya saja, maka akan terciptalah kerahmatan yang saling membahagiakan, saling menghargai, saling menghormati dan saling kesalingan yang lainnya, intinya melihat sesuatu dalam kerangka kebaikan bukan keburukan.
Harapannya, laki-laki dan perempuan saling bekerja sama dalam mengelola kehidupan menjadi anugerah tanpa menyalahkan siapa pun, dengan merubah keburukan menjadi kebaikan, dan hal ini berlaku untuk semua dengan tidak melihat dari mana, siapa dan memiliki jabatan apa. Misalnya jika sang istri jihadnya di rumah tangga dengan berbuat baik, yakni diantaranya melayani suami, anak dan orang tua serta merawat rumah agar tetap bersih, maka jihad tersebut pasti berlaku bagi sang suami jua.
Atau jika laki-laki bisa bekerja di ruang publik, menjadi pemimpin dan belajar, maka hal demikian berlaku kepada perempuan juga. Karena yang bertanggung jawab atas dirinya adalah diri sendiri bukan orang lain. Karena hidup itu akan menjadi anugerah terindah, selagi nafas masih berhembus, dengan tetap menebar manfaat serta kebaikan seluas-luasnya.
Jadi siapapun ia, baik laki-laki ataupun perempuan, harus sama-sama menjadi subjek kehidupan, bukan hanya laki-laki yang harus menjadi subjek dan perempuannya yang menjadi objek, tapi diantara keduanya harus sama-sama menjadi subjek, agar terciptalah kebahagiaan yang membahagiakan dan terwujudnya kemaslahatan bersama, serta tidak ada kata lain selain kamu adalah aku yang lain. Maka dari itu, buku ini hadir dengan ala mubadalah untuk menghijrahkan pemahaman yang salah tentang ketidakhadiran “makna perempuan” dalam sebuah hadits. []