Mubadalah.id – Baru-baru ini mantan musikus dari grup band Noah, Uki menghebohkan jagat media sosial atas pernyataan publiknya yang menyampaikan secara terang-terangan bahwa musik itu haram. Tak hanya menuding musik sebagai jalan kerusakan, setelah hijrah dan memutuskan meninggalkan dunia hiburan, Uki Kautsar mengibaratkan musik sekarang seperti racun, “jadi (musik) kayak racun yang nempel, agak lama, apalagi dari dulu kita sudah biasa dengar.”
Pernyataan Uki tadi tentu memantik pro kontra, terlebih generalisasinya sangat menyudutkan beberapa pelaku seni muslim yang selama ini mengandalkan pemasukan dari bermain musik, termasuk legenda dangdut Rhoma Irama. Bagi “raja dangdut” tersebut, perkataan Uki tidak bisa dilihat dari satu perspektif saja. Apalagi, jika ia hanya melihat kondisi tersebut dari pengalaman personalnya semata. Padahal, bagi sebagian orang, musik adalah terapi, pembangkit semangat hidup, hingga obat ketika patah hati.
Sehingga, apa yang terus Uki gaungkan tentang cap negatif musik justru kurang relevan dengan realita yang ada. Terlebih dalam banyak kasus, musik juga dijadikan sebagai sarana berdakwah. Hal itu pun dibuktikan oleh Rhoma Irama sendiri, banyak musiknya menyerukan misi Islam, bahkan turut mendeklarasikan semboyan “voice of moslem”. Terutama setelah Bang Haji, begitu ia akrab disapa, menunaikan rukun kelima, ia terlihat gigih dalam mendakwahkan nilai-nilai religiusitas melalui nada.
Sejak berhijrah, Rhoma mulai menggunakan kemeja longgar dan sorban di bahunya. Sementara ihwal aksi panggung, ia mulai menampilkan sikap yang jauh lebih berwibawa. Persis dengan gaya yang kini sering kita lihat. Tak hanya itu, ayah dari Ridho Rhoma ini juga menegaskan aturan baku, “mulai hari ini, tidak ada lagi yang meninggalkan shalat. Tidak ada lagi botol minuman di pentas musik. Yang mau ikut, jabat tangan saya. Yang tidak, silakan keluar!”
Ketegasannya untuk berubah lebih baik pun sontak diamini semua personel grupnya. Dalam perkembangannya, mereka sepakat bahwa musik harus dijadikan sebagai jalan menyerukan kebaikan ke khalayak yang lebih luas. Ia bahkan berdoa, Ya Allah seandainya musik ini memperlebar jalan saya ke neraka, tolong hentikan sampai di sini, cabut naluri musik anugerah-Mu ini. Tetapi seandainya musik ini bisa membawa kepada keridhoan-Mu, tolong bimbing saya ya Allah.”
Sejatinya di masa lampau, seni termasuk musik sudah dijadikan sebagai metode penyebaran Islam. Dahulu Al Farabi, seorang filsuf sekaligus komponis terkenal di eranya bahkan mengarang Kitabu al-Musiqa al-Kabir, sebuah kitab yang membahas tentang teori musik. Sumbangsih pengetahuannya bahkan masih diaplikasikan dalam permusikan modern. Tak hanya mahir dari segi konsep, konon permainan musik Al Farabi yang sangat luar biasa ketika dihadapkan pada penguasa Suriah, membuat banyak audiens teradu-aduk emosinya.
Praktik dakwah Al Farabi bahkan diaplikasikan juga dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa. Alih-alih melarang semua kultur dan budaya warga asli, para wali zaman dahulu justru memanfaatkan nilai-nilai lokal untuk dikombinasikan sebagai produk seni seperti lagu untuk berdialog serta berdakwah kepada masyarakat.
Sunan Kalijaga hingga Sunan Kudus adalah contoh wali yang melakukan dakwah seni tersebut. Beberapa contoh dari karya mereka yaitu: Asmarandana, Maskumambang, dan sebagainya. Tak heran, kelemahlembutan yang berpadu dengan dakwah humanis mereka berhasil menarik simpati rakyat yang kala itu masih awam dengan nilai-nilai Islami.
Dari fakta ini, tentu kita tidak bisa langsung menghakimi bahwa seluruh musik adalah pintu kemaksiatan. Layaknya pisau, yang menentukan produk atau dampak alat itu ya kembali pada subjeknya atau siapa yang dibalik benda tajam itu. Pisau akan dilihat menjadi negatif jika itu digunakan untuk menyakiti orang lain. Namun, di saat yang sama jika penggunaannya hanya untuk memotong sayur, buah, atau diaplikasikan untuk membantu proses memasak, dampak buruknya tentu tak akan tampak, bukan?
Perandaian yang tak jauh beda bisa kita terapkan dalam musik, jika musik digunakan untuk berdakwah, mengajak kepada kebaikan: mengingat Allah atau bahkan merangkul pendengarnya untuk terus beriman, kenapa harus dilarang? Bila musik itu membawa pendengarnya merasakan damai, menggerakkan rasa kesalingan antar sesama baik itu antar pasangan suami istri, orang tua dan anak, dan satu sama lain sebagai manusia, mungkin itu cara Allah menggugah hati umatNya.
Terlebih jalan hidayah itu beragam, kita hanya diminta untuk memperjuangkannya secara maksimal. Seperti yang dulu diucapkan William Shakespeare, “jika musik adalah asupan cinta. Maka mainkanlah!”. []