Mubadalah.id – Apakah Feminisme Bisa Selaras dengan Ajaran Islam? Jika feminisme dipahami dan dipraktikkan sebagai paham yang melawan patriarkhi (standar laki-laki) dan beralih kepada matriarkhi (standar perempuan), lalu terjadi dakwah dari budaya yang mementingkan laki-laki dan menafikan perempuan, pindah merengkuh nilai yang selalu menomorsatukan perempuan dan terus menerus menyalahkan laki-laki, ini tidak benar dan salah.
Tetapi, feminisme, adalah soal analisis yang membuka mata mengenai kekuasaan destruktif dalam patriarkhi, yang harus dihilangkan dalam setiap level relasi laki-laki dan perempuan, domestik maupun publik, yang mendobrak relasi destruksi dan kekerasan, menjadi relasi resiprositi dan kerjasama untuk kebaikan, keduanya dan bersama, adalah sesungguhnya benar dan islami.
Karena di mata Islam, Laki-laki dan perempuan, keduanya adalah manusia ciptaan Allah SWT yang bermartabat, yang sama-sama memiliki akal budi, perasaan dan pengalaman, dimana penistaan dan perendahan apapun kepada salah satunya oleh yang lain, atas nama apapun, adalah menyalahi prinsip ajaran Islam.
Keduanya, laki-laki dan perempuan, di mata al-Qur’an (at-Taubah, 9: 71), adalah setara dan saling menolong (awliya), dalam segala aktivitas untuk mewujudkan kebaikan, menjauhkan keburukan, menegakan ritual agama, dan kerja-kerja sosial yang lain.
Misalnya, jika feminisme dipahami dan dipraktikkan sebagai pelepasan tubuh perempuan dari penguasaan laki-laki (patriarkhi) menjadi penguasaan tubuhnya oleh dirinya sendiri, secara bebas dan semena-mena, tidak mau diatur oleh nilai apapun, dalam kehidupan domestik maupun sosial, sehingga bisa destruksi, bahkan pada dirinya sendiri, maupun orang lain, ini tentu saja tidak benar dan salah.
Tetapi feminisme itu menyadarkan pada kita bahwa penguasaan tubuh perempuan selama ini, telah menempatkannya sebagai pihak yang selalu salah dan dikambinghitamkan masyarakat, yang selalu dianggap sebagai pihak yang memesona dan menggoda dalam keadaan apapun. Sehingga perempuan harus selalu dijauhkan dari segala bentuk aktivitas yang akan dianggap masyarakat (biasanya laki-laki) akan selalu memesona dan menggoda. Lalu perempuan tidak lagi menjadi manusia utuh dengan segala anugerah akal, budi, perasaan, dan pengalaman.
Hanya karena dianggap tubuh perempuan penuh pesona dan selalu menggoda.
Padahal, pesona itu juga ada pada tubuh dan pribadi laki-laki. Dan selama ini, tidak pernah masyarakat merasa perlu pada aturan penguasaan dan kontrol pada tubuh dan pribadi laki-laki. Sehingga semua ekspresi akal, budi, perasaan, dan pengalaman mereka bisa lepas dan bahkan, menjadi ilmu pengetahuan.
Yang diperlukan, lalu, adalah norma dan nilai yang memungkinkan kemanusiaan perempuan dan laki-laki, dengan segala akal budi yang dimiliki, bisa dihormati dan diapresiasi, keduanya, tanpa mengambing-hitamkan pesona perempuan (tetapi justru merayakan pesona laki-laki).
Dalam Islam, tubuh perempuan bukan milik perempuan, juga bukan milik laki-laki. Begitupun tubuh laki-laki, bukan milik dirinya atau milik perempuan. Satu sama lain, karena itu, tidak boleh saling menguasai dan memaksa.
Tetapi, sebagaimana semua alam ini, tubuh manusia, perempuan dan laki-laki adalah miliki Allah SWT.
Di mana keduanya, lalu, laki-laki dan perempuan, terikat pada hukum-Nya untuk tidak saling destruksi dan menyakiti, tetapi saling mengasishi dan menyayangi serta kerjasama untuk mewujudkan segala kebaikan dalam rumah tangga, maupun masyarakat, bangsa, publik dunia, dan seluruh semesta. Mari![]