Mubadalah.id – Bagaimana perasaanmu ketika harus berpisah dengan orang tercinta? Atau mengalami suatu kegagalan dalam hidup? Pastinya sedih, marah, kecewa, pun terluka. Namun, hal ini berbeda dengan yang dilakukan oleh salah satu selebriti tanah air baru-baru ini.
Sebagaimana yang terjadi pasca perceraian Thalita Latief dengan suami yang telah hidup bersama selama 9 tahun, ia kemudian merayakan perpisahan bersama keluarganya dengan meniup lilin pada kue tart. Uniknya, di atas kue tersebut bertuliskan “Selamat Menempuh Hidup Baru”.
Kelihatannya aneh saat ada seseorang merayakan kehilangan atau kegagalan. Tetapi, jika hal tersebut yang membuat seseorang lebih bahagia karena misalnya terbebas dari toxic relationship, silent treatment, trust issue, maka tidak ada salahnya untuk dirayakan. Bahkan rasanya menjadi suatu keharusan untuk merayakannya, meski harus kehilangan seseorang atau gagal dalam suatu hal.
Proses yang ditempuh untuk bisa merayakan kehilangan atau kegagalan itu tidaklah mudah. Dalam buku “On Death and Dying” yang ditulis oleh Kubler Ross, psikiater asal Swiss, ia mengatakan bahwa ada 5 tahapan kesedihan yang perlu dilewati saat mengalami perpisahan atau kegagalan.
- Penyangkalan (Denial)
Pada tahap pertama ini merupakan reaksi yang sangat normal dialami seseorang saat menghadapi kehilangan atau kegagalan. Sikap penyangkalan ini biasanya untuk mengurangi rasa sakit yang diderita. Sering kali kita akan menyangkal situasi kehilangan atau kegagalan dengan tidak mempercayai siapapun.
Pembenaran terus menerus disugestikan pada diri sendiriatau orang lain. Misalnya, denganberkata “saya tidak percaya hal ini terjadi pada saya” atau “semua ini pasti hanyalah mimpi”.
- Marah (Anger)
Emosi-emosi yang terpendam mulai muncul setelah keluar dari tahap penyangkalan. Pada tahap ini seseorang yang menghadapi kehilangan atau kegagalan sangat wajar untuk marah atau kecewa. Meluapkan emosi dan perasaan sangat diperlukan agar tidak terasa sesak di dalam dada dan berisik di dalam pikiran.
Dari luapan emosi atau perasaan ini, seringkali kita berpikir atau bersikap tidak rasional dengan menyalahkan orang, keadaan bahkan Tuhan. Hal ini amatlah wajar, tetapi jangan sampai melakukan self-harm (melukai diri sendiri). Setelah kemarahan mereda, emosi-emosi yang lain akan muncul, sehingga membuat diri menjadi lebih tenang dan rasional.
- Menawar (Bargaining)
Saat tingkat kemarahan atau kekecewaan berangsur rendah, emosi yang lain mulai bermunculan, seperti putus asa. Dari emosi putus asa yang dirasa, pikiran pengandaian melintasi batin dan pikiran.
“Seandainya saya tidak menerimanya dari awal, mungkin saya tidak akan merasakan sakit hati sekarang” atau “jika saja saya tidak sibuk bekerja, saya akan memiliki waktu yang lebih banyak bersama orang tua”. Seringkali kita melakukan tawar-menawar seperti itu agar mendapatkan kekuatan atas rasa sakit yang mendera.
- Depresi (Depression)
Setelah melalui proses emosi yang bergejolak, seseorang akan mulai melihat realita yang terjadi dihadapannya. Kehilangan atau kegagalan tentu menyesakkan, tapi hidup harus terus berjalan. Tahap depresi ini sepertihalnya menghadapi kesedihan yang mendalam dan kebingungan yang melanda.
Banyak pertanyaan dan kekhawatiran yang berseliweran atas apa yang belum erjadi. Akankah hidup kesepian tanpa orang tersayang, bagaimana eksistensi diri hadir tanpa sebuah pencapaian, atau bagaimana kebutuhan terjamin tanpa pekerjaan.
Selain itu, tipe depresi yang dialami setiap orang berbeda-beda. Ada yang memilih untuk menyen diri atau tidak nafsu makan. Apabila kesedihan terasa amat pedih hingga membuat diri tak berdaya, perlu tindakan untuk bercerita kepada orang terdekat atau psikolog agar beban yang dirasa bisa berkurang.
- Penerimaan (Acceptance)
Untuk menerima suatu kenyataan, diperlukan kebesaran hati dan pikiran yang jernih. Pada tahap ini, bukan berarti seseorang yang tadinya berduka sudah bahagia. Kesedihan masih tetap terasa, tetapi setelah melewati berbagai tahap, seseorangakan belajar untuk melanjutkan hidup yang lebih baik.
Pikiran-pikiran positif akan muncul seiring berjalannya waktu. Misalnya, “ini adalah yang terbaik untuk saya”, “saya beruntung menjadi anak dari orang tua yang telah tiada”atau “selalu ada pengganti dari setiap yang pergi”.
Perjalanan panjang merayakan kehilangan pun kegagalan sangatlah berarti untuk proses pendewasaan diri. Dari ujian kehidupan yang datang silih berganti dapat membentuk karakter dan mental seseorang menjadi kuat dan tangguh. Seperti pesan termasyhur yang disampaikan oleh Tan Malaka: Terbentur, Terbentur, Terbentur, Terbentuk.
Secara lahir kita memang harus banyak bersabar menghadapi kesedihan, kemarahan juga kekecewaan atas kehilangan atau kegagalan. Namun, secara batin harus tetap bersyukur karena keyakinan atas janji Tuhan bahwa setelah kesusahan pasti ada kemudahan. Dan, ayat tersebut disebutkan sebanyak dua kali pada Surah Al-Insyirah ayat 5 dan 6.
Maka dari itu, kita berhak menikmati setiap tahapan proses kehilangan atau kegagalan ini untuk kemudian bisa sampai di tahap penerimaan. Karena ketika kita ridla atas segala qadha dan qadhar, baik dan buruk ketetapan Tuhan yang ditakdirkan kepada kita, kita akan lebih mudah berhusnudzon (berprasagk abaik) kepada-Nya. []