Mubadalah.id – Pagi-pagi sudah diwarnai oleh viralnya ceramah ustadzah OSD. Narasi kisah nyata tentang pemukulan suami pada istri, yang karena kelembutan dan kemuliaan akhlaknya, mampu menyadarkan suami untuk tidak berprilaku kasar. Bahkan tambah sayang.
Well… Tidak ada yang salah dengan kisah ini. Inspiratif dan meneladankan bagaimana sebuah konflik keluarga itu dikelola dengan baik. Sayangnya framing kisah inspiratif ini, terlanjur merefleksikan pandangan dunia ustadzah tentang isu KDRT.
Paling tidak, ada pesan minim empati yang tersampaikan dari framing kisah nyata keluarga di Jeddah. (Jauh amat ngasih contohnya yaks ustadzah ini, masak dari sabang sampai Merauke, dari pulau Miangas sampai Pulau Rote, nggak ada kisah inspiratif yang relate dengan pengalaman jamaah pengajian Indonesia)
Pertama, Perempuan suka lebay kalau cerita pengalamannya. Apalagi kalau sedang sakit hati, ceritanya suka dilebih-lebihkan. Jujurly, kalimat ini yang pertama kali menghentak saya. Alih-alih memberikan empati pada korban, ustadzah justru memvalidasi stereotyping ‘perempuan emosional dan lebay soal perasaan’. Rasanya aku ingin menyanyi lagu Meggi Z, “Tidak semua perempuan…….” Sambil bilang, untuk berempati gak harus mengalami lo gaes…
Kedua, membicarakan pengalaman kekerasan, dianggapnya sama dengan membuka aib suami. Penting untuk sama-sama kembali membaca pasal-pasal UU PKDRT. Bahwa empat macam kekerasan yang terjadi dalam lingkup keluarga itu tindak pidana. Mau kekerasan fisik, psikis, seksual, dan atau penelantaran ekonomi, semua adalah extra-ordinary crime. Jangan serta merta dihubungkan dengan persoalan saling menutupi kekurangan.
Kata Prof Alimatul Qibtiyah (Komisioner Komnas Perempuan), Kalau nggak mau menceritakan sama orang tua, karena berbagai pertimbangan, it’s fine!! Tapi kamu bisa cerita pada orang yang tepat untuk memberikan bantuan dan layanan.
Ketiga, untuk meluluhkan hati suami pelaku kekerasan, istri harus bersabar agar suami makin cinta dan sayang. It’s a good advice. Tapi, seberapa cepat kesabaran istri bisa mengubah prilaku kekerasan menjadi makin sayang? Who knows? Kawan saya malah bilang secara ekstrim, ‘ini mitos”. he he
Saya meyakini bahwa kesabaran adalah obat manjur untuk banyak persoalan. Tapi untuk kasus KDRT, yang banyak terjadi justru apa yang disebut a circle of violence membuat kondisi korban makin buruk, jika siklus kekerasannya tidak segera diputus. Jadi, jangan hanya istri yang harus bersabar agar keluarga tidak bubar, tapi suami juga harus diberi penyadaran, memukul istri itu jahat. It’s not cool, man.
Yeaah ceramah sudah diperdengarkan, yang marah dan geram sudah lalu lalang mengekspresikan rasanya. Pun yang hanya diam-diam. Perjalanan saya mencatat pengalaman perempuan yang mengalami KDRT berurusan di Pengadilan Agama, membatinkan satu pemahaman, bahwa KDRT itu sangat-sangat komplek, mengancam kesehatan mental dan keselamatan jiwa.
Simplifikasi KDRT dengan persoalan mengumbar aib, lebay, tidak sabar, dan lemah iman jelas-jelas mengabaikan pengalaman perempuan. Apapun bentuk kekerasan yang dialami, seberapapun intensitas kejadiannya harus divalidasi sebagai pengalaman. Setiap perempuan punya situasi yang berbeda dengan ketahanan fisik dan mental yang tidak sama. Yuuuk saling dukung untuk saling menguatkan bukan menyudutkan. I love you. []