Mubadalah.id – Salah satu dari lima pilar pernikahan adalah pilar mitsaqan ghalizan. Yaitu, kedua belah pihak, suami dan istri, memandang dan sekaligus menjaga ikatan perkawinan ini sebagai perjanjian yang kokoh. Baik dengan perkataan-perkataan yang positif dan mendukung, maupun dengan perbuatan-perbuatan yang menyenangkan dan membahagiakan. Bila suami tidak melakukan 5 pilar ini, berdosakah istri menggugat cerai suami?
Empat pilar yang lain adalah untuk ikut mengokohkan pilar mitsaqan ghalizan ini. Yaitu, kemitraan dan kesalingan suami istri (zawaj, QS. Al-Baqarah, 2: 187 dan ar-Rum, 30: 21); perilaku saling memberi kenyamanan dan saling meridhai satu sama lain (taradhin, QS. Al-Baqarah, 2: 233); saling memperlakukan dengan baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf, QS. An-Nisa, 4: 19); dan saling berembug atau musyawarah bersama (tasyawurin, QS. Al-Baqarah, 2: 233).
Masing-masing, suami dan istri, harus berkomitmen untuk selalu dan terus mengokohkan kelima pilar ini. Jika salah satu, apalagi keduanya, membikin pilar ini retak, apalagi runtuh, relasi pasutri akan mudah konflik dan berdampak pada pertengkaran yang tidak berkesudahan, bahkan kekerasan, dan tindakan-tindakan buruk yang menyakiti. Jika sudah pada tindakan kekerasan dan menyakiti, maka perpisahan menjadi pilihan, karena pilar-pilar dari bangunan pernikahannya pasti sudah roboh.
Cerai Perbuatan Halal yang Allah Swt Benci
Bolehkah pasangan suami dan istri menyudahi pernikahan mereka? Ya tentu boleh saja. Pada awalnya, mereka juga boleh menikah, jika mereka ingin mengakhiri, tentu juga boleh. Baik yang menggugat laki-laki maupun perempuan. Hal ini, pada kondisi ketika tidak ada yang merasa rugi dari percerain ini.
Dalam kondisi ini, perceraian menjadi perbuatan halal yang paling Allah Swt benci. Karena, sekalipun boleh dan tidak merugikan siapapun, ia mengindikasikan ketidak-seriusan kedua belah pihak, suami istri dalam memulai, dan mengelola pernikahan. Bisa jadi, mereka hanya ingin mencoba saja dan tidak secara serius membangun rumah tangga.
Di sinilah mengapa, perceraian Nabi Saw sebut sebagai perbuatan halal yang Allah Swt benci (Sunan Abu Dawud, no. hadits: 2180 dan Ibn Majah, no. hadits: 2096). Laki-laki maupun perempuan, suami dan istri yang menggugat cerai, dalam kondisi normal seperti ini, adalah sama, sedang melakukan perbuatan halal yang Allah Swt benci.
Namun, jika pernikahan itu baik-baik saja, semua pilar yang lima juga terjaga dengan baik, maka seseorang yang mengajukan perceraian dapat berdosa karena merusak ikatan pernikahan yang sudah kokoh. Apalagi, jika perceraian itu akan berdampak buruk pada anak-anak dan atau pasangan. Perempuan yang mengajukan, atau laki-laki, sama-sama berdosa.
Sebaliknya, jika perceraian justru menjadi jalan bagi seseorang justru terbebas dari kekerasan dan tindakan-tindakan buruk dalam pernikahan yang menyakitkan, ia bisa saja sunnah, bahkan bisa wajib. Minimal, bagi perempuan yang mengajukan perceraian agar terbebas dari kekerasan yang dialami dalam pernikahannya, adalah, tidak berdosa.
Al-Qur’an sendiri telah menggariskan, bahwa pernikahan itu harus dijalankan dengan baik, atau, berpisah dengan baik (fa imasukn bi ma’ruf aw tasrihun bi ihsan, QS. Al-Baqarah, 2: 229). Jika pernikahannya, benar-benar tidak menghadirkan kebaikan-kebaikan, al-Qur’an telah memberi kesempatan kepada masing-masing untuk memilih bercerai. Bahkan, kata al-Qur’an, bisa jadi perceraian malah akan membuat jalan mereka masing-masing menjadi lebih baik, lapang, dan menguatkan. (QS. Al-Baqarah, 2: 130).
Perempuan atau Istri Menggugat Cerai Suami pada Masa Nabi Saw
Jadi, seorang istri yang melepaskan ikatan pernikahannya yang cenderung buruk dan menyakitkan, adalah, sama sekali tidak berdosa. Bahkan, ketika sang suami adalah orang yang baik, sementara perempuan itu merasa tidak mampu untuk mengimbangi hidup bersamanya, dan dirinya malah akan menjadi buruk dan menyakiti, dalam kondisi ini, ia juga boleh menggugat cerai.
Hal ini adalah salah satu yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw. Yaitu, kisah seorang perempuan bernama Habibah bint Sahl radhiallahu ‘anha. Dia adalah istri seorang sahabat terpandang, tokoh panutan, dan orator ulung penduduk Madinah, Tsabit bin Qays bin Syammas al-Anshari al-Khazraji radhiallah ‘anhu. Habibah tiba-tiba datang ke rumah Rasulullah Saw.
Saat Nabi Saw membuka pintu rumah, dijumpai ada seorang perempuan. “Siapa ini? Kata Nabi Saw.
“Habibah bint Sahl”, jawab sang perempuan.
“Ada keperluan apakah gerangan?”, tanya Nabi Saw.
“Aku istri Tsabit bin Qays ra. Ya Rasul, aku tidak sanggup lagi menjadi istri dia. Sekalipun akhlak dia baik dan ibadah dia juga bagus, tetapi aku tidak sanggup serumah denganya”, jawab perempuan.
“Maumu apa?”, tanya Nabi Saw.
“Aku tidak menyalahkannya, tetapi aku sendiri yang ingin bercerai darinya, karena tidak sanggup hidup bersama. Khawatir malah aku berperangai buruk kepadanya”, jawab tegas Habibah.
Lalu Nabi Saw memanggil suaminya, Tsabit bin Qays ra, dan menyarankannya untuk menceraikan istrinya tersebut. Perceraianpun terjadi dengan tebusan sebidang tanah yang awalnya diterima Habibah sebagai mahar, yang dikembalikan kepada Tsabit. Inilah kisah cerai tebus pertama dalam Islam, yang dalam fiqh disebut sebagai khulu’. Kisah lengkap ini dari berbagai versi hadits yang dicatat Imam Ibn Hajar dalam Fath al-Bari.[1]
Hadits Mengenai Sahabat Perempuan yang Ingin Cerai
Dua teks riwayat dari kitab-kitab hadits utama, mungkin perlu kami sebutkan di sini.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ قَالَ جَاءَتِ امْرَأَةُ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّى لاَ أَعْتُبُ عَلَى ثَابِتٍ فِى دِينٍ وَلاَ خُلُقٍ وَلَكِنِّى لاَ أُطِيقُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ قَالَتْ نَعَمْ (صحيح البخاري، رقم: 5330).
“Dari Ibn Abbas ra, berkata: ada seorang perempuan, istri dari Tsabit bin Qays, datang menemui Rasulullah SAW, dan berkata: Wahai Rasul, saya tidak mencela agama maupun akhlak Tsabit (suamiku), tetapi aku tidak kuat (hidup bersama)-nya. Nabi SAW (menerimanya) dan bertanya: “Maukah kamu kembalikan kebun (yang dulu diberikan Tsabit kepadamu)? Sang perempuan menjawab: “Ya, mau.” (Shahîh Bukhâri, hadits nomor 5330).
عَنْ عَمْرَةَ بِنْتِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهَا أَخْبَرَتْهُ عَنْ حَبِيبَةَ بِنْتِ سَهْلٍ الأَنْصَارِىِّ أَنَّهَا كَانَتْ تَحْتَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسِ بْنِ شَمَّاسٍ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم خَرَجَ إِلَى الصُّبْحِ فَوَجَدَ حَبِيبَةَ بِنْتَ سَهْلٍ عِنْدَ بَابِهِ فِى الْغَلَسِ فَقَالَ لَهَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ هَذِهِ فَقَالَتْ أَنَا حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ مَا شَأْنُكِ قَالَتْ لاَ أَنَا وَلاَ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ لِزَوْجِهَا فَلَمَّا جَاءَ زَوْجُهَا ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم هَذِهِ حَبِيبَةُ بِنْتُ سَهْلٍ قَدْ ذَكَرَتْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَذْكُرَ فَقَالَتْ حَبِيبَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ كُلُّ مَا أَعْطَانِى عِنْدِى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لِثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ خُذْ مِنْهَا فَأَخَذَ مِنْهَا وَجَلَسَتْ فِى بَيْتِ أَهْلِهَا (موطأ مالك، رقم: 1187).
“Dari ‘Amrah bint Abdurrahman, dia memperoleh cerita langsung dari Habibah bint Sahl al-Anshari ra. Saat itu, Habibah adalah istri dari Tsabit bin Qays bin Syammas ra. Suatu hari, di saat masih pagi gelap, Rasulullah SAW keluar rumah untuk shalat subuh dan mendapati Habibah berada di pintu rumah Nabi SAW. “Ada apa?”, tanya Rasul. “Saya tidak ingin lagi bersama Tsabit bin Qays”, jawab Habibah tentang suaminya itu. Lalu, suaminya, Tsabit bin Qays, juga datang. Nabi SAW berkata kepadanya: “Ini Habibah, istrimu, menginginkan sesuatu (berpisah darimu)”. Habibah menambahkan: “Wahai Rasul, semua yang dia berikan padaku, masih aku simpan (dan bisa aku berikan lagi kepadanya, asal aku bisa pisah)”. Lalu Rasulullah SAW berkata kepada Tsabit: “Ya sudah, kamu terima saja harta (mu) yang ada pada istrimu itu”. Maka Tsabit menerima harta itu, Habibah pun (menjadi cerai) dan pindah ke rumah keluarganya.” (Muwaththa’ li Mâlik, hadits nomor 1187).
Dalam kisah ini, jelas sekali Nabi SAW tidak menganggap perempuan yang ingin lepas dari pernikahan yang buruk baginya sebagai dosa. Mengapa? Karena setiap orang, termasuk perempuan, berhak untuk hidup dalam pernikahan yang sesuai dengan anjuran al-Qur’an, yaitu yang sakînah, mawaddah, dan rahmah, bahagia dan membahagiakan. Wallahu a’lam.
[1]Ibn Hajar al-‘Asqallani, Fath al-Bâri bi Syarh Shahîh al-Bukhâri, ed. Abd al-Aziz bin Baz, (Beirut: Dar al-Fikr, 1993), juz 10, halaman: 496-506.