Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, dalam sebuah obrolan di angkringan, teman saya berceloteh tentang tugas laki-laki di sebuah kegiatan organisasi. Kata dia, laki-laki itu harus dikasih pekerjaan yang berat-berat. Menjadi tukang usung-usung barang, misalnya. Menurutnya, tugas seperti mengetik dan mengeprint lembaran kertas, hingga menjadi seksi konsumsi, itu biar perempuan saja.
Saya yang mendengar celotehan teman saya, yang seorang laki-laki muda berusia 20 tahunan itu, hanya bisa tertawa kecil. Teman saya itu berargumen bahwa laki-laki secara fisik jauh lebih kuat daripada perempuan. Alasan itulah yang membuat ia berpandangan bahwa tugas sebagai seksi perlengkapan, itu milik lelaki. Sementara, tugas memasak di bagian seksi konsumsi, itu lebih baik milik perempuan.
Tapi, saya tidak sependapat dengan cara pandang teman saya itu. Menurut ku, dalam sebuah kepanitiaan, siapa pun, baik laki-laki atau perempuan, memiliki hak dan kewajiban secara bersama. Maksudnya, tidak ada batasan bahwa laki-laki itu bertugas harus seperti itu, sedangkan perempuan harus seperti ini, dan lain-lain.
Akan tetapi, selama ini, realita yang berkembang di dunia yang penuh drama ini adalah bahwa kaum adam lebih cenderung melaksanakan tugas-tugas yang secara umum dipandang oleh masyarakat lebih “pas”, seperti menjadi koordinator seksi perlengkapan, atau menjadi ketua panitia. Sedangkan, tugas kaum hawa ya sangat lekat sebagai tukang masak-masak atau penyedia konsumsi.
Budaya Patriarki
Mengapa demikian? Mengapa hal ini bisa terjadi? Hal ini karena budaya patriarki yang sangat kuat di tataran masyarakat. Patriarki sendiri dinilai sebagai sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi dalam peran kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial, dan penguasaan properti.
Dalam sistem budaya patriarki, perempuan hanya dituntut untuk melakukan pekerjaan domestik, seperti memasak, menyapu hingga mencuci. Sementara, kaum lelaki akan fokus mencari nafkah. Sistem seperti ini yang pada akhirnya merembet ke tataran organisasi-organisasi, baik di sekolahan, kampus maupun organisasi di tingkat kampung.
Saya sendiri, sebagai orang yang pernah berproses di organisasi, masih sering melihat budaya patriarki yang tumbuh dan berkembang di ranah organisasi yang saya ikuti di kampus, maupun organisasi yang saya tekuni di kampung. Di organisasi kampus, misalnya, seorang mahasiswi kalau tidak ditempatkan sebagai sekretaris atau bendahara, ya difokuskan ke seksi konsumsi.
Sementara, mahasiswa dipandang lebih berhak untuk menduduki jabatan sebagai ketua panitia, seksi acara, dan seksi perlengkapan. Seksi-seksi tersebut cenderung lebih tampil dominan (tampil di depan publik) pada saat kegiatan.
Seksi Konsumsi dan Label Feminim
Seksi konsumsi dalam sebuah kepanitiaan memang label feminimnya sangat kuat. Melekat sekali. Intinya, apa-apa yang berurusan dengan penyediaan makanan dan minuman, ya serahkan ke kaum hawa. Di sisi lain, label maskulin mengakar kuat pada seksi perlengkapan.
Se-pengalaman saya, orang-orang yang ditugaskan sebagai seksi perlengkapan kebanyakan adalah laki-laki. Kalau toh ada perempuan, ya tidak sebanyak lelaki. Jadi, misalnya gini, di seksi perlengkapan, ada 8 orang panitia. Dari jumlah tersebut, 6 orang diisi laki-laki, yang juga sebagai koordinator, sementara sisanya diisi oleh kaum perempuan.
Teori yang sama juga berlaku untuk seksi konsumsi. Dari 8 panitia yang terdaftar sebagai seksi konsumsi, 6 orang berjenis kelamin perempuan, sedangkan 2 lelaki. Bahkan, di suatu kasus, seksi perlengkapan hanya diisi oleh kaum lelaki semua, sementara kaum hawa, di sisi lain, menguasai seksi konsumsi.
Sistem kepanitiaan yang sering menempatkan perempuan sebagai seksi konsumsi, dan laki-laki identik sebagai seksi perlengkapan menandakan masih adanya kesalahpahaman masyarakat dalam memaknai gender. Masyarakat masih berpandangan bahwa gender dan jenis kelamin itu sama. Padahal itu berbeda.
Nah, perbedaannya di mana? Jenis kelamin identik dengan perbedaan bentuk fisik antara perempuan dan laki-laki. Sementara gender lebih mengarah pada karakteristik, peran, fungsi, status, serta tanggung jawabnya. Selain itu, jenis kelamin sudah menjadi kodrat tiap manusia. Sedangkan gender sifatnya tidak kodrati, dan bisa terpengaruhi budaya, waktu, serta lingkungan.
Kesetaraan Gender
Hilary M. Lips dalam bukunya berjudul ‘Sex and Gender’ mengartikan Gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan. Misalnya; perempuan kita kenal dengan lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan. Di sisi lain, laki-laki anggapannya kuat, rasional, jantan dan perkasa.
Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat yang dapat kita pertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.
Nah, ciri-ciri dari sifat itu bisa dipertukarkan dalam konteks kepanitiaan di sebuah organisasi. Misalnya, perempuan yang lebih mendominasi sebagai seksi perlengkapan, laki-laki giliran mengurusi dapur. Kondisi seperti ini, sah-sah saja kita lakukan. Bahkan seperti yang saya singgung di awal tulisan ini. Kaum laki-laki dan perempuan memiliki tugas dan tanggung jawab yang sama setara di sebuah kepanitiaan. Tidak ada batasan-batasan tertentu.
Dalam kehidupan nyata, bahkan ada perempuan-perempuan yang sukses berkarier dalam bidang pekerjaan laki-laki. Saya kasih contoh beberapa di antaranya adalah Kalpana Chawla. Ia merupakan seorang astronot, di mana profesi ini identik untuk laki-laki. Kalpana adalah perempuan India pertama yang terbang ke luar angkasa.
Kemudian ada juga Ida Nasution. Ia adalah sosok perempuan tangguh yang semangat bekerja dalam hal apapun. Ia adalah seorang pengusaha yang bergerak dalam bidang perdagangan umum, jasa dan konstruksi, sebuah bidang yang umumnya kaum adam geluti.
Selain ada perempuan yang sukses menekuni bidang yang secara umum identik dengan laki-laki, juga ada laki-laki yang sukses berkarir di bidang yang identik dengan perempuan. Contohnya Didit Hediprasetyo, salah satu desainer baju asal Indonesia yang sampai saat ini karyanya sudah dikenal hingga ke tingkat internasional. Selain itu, juga ada nama Juna Rorimpandey, seorang jurutama masak profesional berkebangsaan Indonesia.
Berdasarkan contoh dua perempuan sukses yang menggeluti bidang pekerjaan laki-laki, dan dua laki-laki sukses yang berkarir di bidang yang identik dengan perempuan, saya kira dalam kepanitiaan di sebuah organisasi, pertukaran peran antara laki-laki dan perempuan perlu untuk dicoba. Tidak selalu perempuan bertugas untuk membeli makanan, mencuci peralatan dapur, dan lain sebagainya.
Mendorong Aksi Afirmasi Pelibatan Perempuan
Perempuan, saya kira juga perlu tampil di depan, menjadi ketua panitia atau fasilitator misalnya. Langkah ini sebagai upaya mendorong aksi afirmasi pelibatan perempuan di ruang publik. Bahkan jika dimungkinkan tak ada salahnya perempuan agar membantu memasang bendera organisasi di depan tempat kegiatan, membantu menata kursi, hingga membawakan proyektor. Nah, pekerjaan-pekerjaan yang biasanya perempuan kelola agar diambil alih oleh kaum lelaki.
Laki-laki bisa kok untuk menempati posisi sebagai seksi konsumsi, bahkan menduduki jabatan sebagai koordinatornya. Se-pengalaman saya, tugas seksi konsumsi yang biasanya perempuan jalani juga bisa kaum adam lakukan.
Nah, dalam menjalankan tugasnya sebagai panitia, baik laki-laki dan perempuan perlu bekerjasama dengan baik. Saat laki-laki bertugas sebagai panitia yang mengurusi konsumsi, perempuan perlu memberikan saran, arahan, bantuan dan lain-lain. Misalnya, perempuan bertugas untuk memasak, lalu laki-laki yang menghidangkan masakan tersebut.
Atau perempuan berperan membikin kopi, nah laki-laki yang mengantarkan kopi tersebut ke para peserta. Intinya, meskipun tugas sebagai seksi konsumsi tanggung jawab laki-laki, perempuan bisa ikut andil membantunya. Begitu pula sebaliknya, ketika perempuan kita beri tugas menjadi koordinator seksi perlengkapan, maka laki-laki harus peka untuk memberi bantuan. Misalnya membawakan barang-barang yang sangat berat, yang itu sulit jika perempuan bawa. Jadi, dengan pertukaran peran ini, laki-laki bisa merasakan bagaimana rasanya kecipratan minyak panas saat menggoreng, misalnya, dan perempuan juga bisa merasakan bagaimana beratnya menaruh kursi-kursi di mobil bak terbuka, untuk dibawa ke tempat kegiatan. []