Mubadalah.id – Pengasuh Pondok Pesantren Mahasina Darul Qur’an wal Hadits, Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc. MA menjelaskan bahwa suami idaman pada umumnya lebih banyak dikaitkan dengan fungsi suami sebagai pemimpin, pemberi nafkah lahir dan batin, serta menjadi penanggungjawab keluarga.
Kriteria ini, kata Nyai Badriyah, tentu tidak salah. Namun uraian kriteria tersebut seringkali salah kaprah dan menyulut ketidakadilan.
Yaitu, ketika sebagai pemimpin suami memahaminya sebagai satu-satunya penentu arah, tindakan dan pilihan hidup istri sehingga sang istri tidak memiliki hak apapun.
Bahkan, Nyai Badriyah mengungkapkan, atas kehidupannya sebagai pribadi dan makhluk sosial.
Begitu menikah, maka suami telah memiliki seluruh raga, jiwa dan bahkan kehendak istri.
Citra suami sebagai pemimpin yang mengayomi, memahami dan melayani keluarga tidak muncul dalam urusan tersebut.
Ironisnya, Nyai Badriyah menyebutkan, citra “suami idaman” yang sedemikian macho, kaku dan lebih merepresentasikan hubungan majikan-bawahan dari pada hubungan mitra sejajar ini dalam kenyataannya masih banyak yang mengikuti dan mepraktikkannya.
Lebih ironis lagi, sebagian laki-laki menikmati pola relasi yang demikian sebagai “anugerah Tuhan”.
Dan perempuan – karena keterbatasan pengetahuannya – menganggap bahwa pola relasi yang tidak adil itu “suratan takdir”.
Benarkah relasi yang timpang itu ajaran Islam? Tentu saja tidak! sama seperti citra “istri ideal”, citra suami idaman yang berkeadilan juga perlu merumuskannya dengan mendengar suara perempuan.
Sebab, tidak mungkin kondisi ma’ruf (benar secara syar’i, sesuai akal sehat dan patut secara sosial) tercapai jika hanya berdasarkan pada apa yang laki-laki inginkan dengan mengabaikan apa yang perempuan harapkan dan pikirkan. (Rul)