• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Belajar Menghargai Keberagaman lewat Kurikulum Diri

Proses pemaafan diri mesti melewati segenap latihan. Memaafkan, bukan melupakan, agar segenap kekeliruan yang pernah dilakukan tak lagi terulang

Thoah Jafar Thoah Jafar
14/09/2022
in Hikmah
0
Menghargai Keberagaman

Menghargai Keberagaman

255
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – “Man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu.” Barang siapa mengenal diri sendiri, maka ia mengenal Tuhannya. Begitulah cara Rasulullah Muhammad saw mengingatkan tentang pentingnya membangun kesadaran diri. Yakni dengan menghargai keberagaman yang kita mulai tentang diri sendiri. Dalam diri manusia, tersimpan ayat-ayat Allah. Afala tubsirun? Apakah kamu tidak memperhatikannya?

Diri merupakan entitas paling dekat. Jika tak bisa mengenalinya, bagaimana akan mampu memahami Sang Zat Pencipta Jarak. Namun, di sisi lain, memahami diri sendiri bukanlah segampang membalikkan telapak tangan. Ada rasa ketidakterimaan, kadang penyesalan. Sesekali mengeluh, membunuh rasa syukur. Jika tidak, justru manusia lebih memilih memuja-muji diri secara berlebih.

Keberagaman diri

Diri sendiri ibarat sebuah buku. Ia perlu dibaca tuntas dimulai dari tahapan membuka sampul, lalu menelusuri huruf demi huruf, kata per kata, dari kalimat ke kalimat, serta cerita ke cerita di dalamnya, hingga tuntas.

Imam Al-Ghazali dalam Kimiya’ al-Sa’adah menekankan, proses pengenalan diri sendiri harus melampaui batas-batas lahiriah. Permenungan demi permenungan pun harus dilengkapi sejumlah pertanyaan. Misalnya, siapa kita? seberapa besar kah diri kita? Bagiamana anatomi tubuh kita? Bukan sekadar tentang pangkat dan atribut yang disandang, semua proses pengenalan diri harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar.

Membaca buku diri harus dengan serius, fokus, penuh ketekunan, ajek, dan tulus ikhlas. Sikap-sikap itu perlu kita siapkan untuk melewati rekaman kisah yang menyedihkan, penuh luka, juga derita. Begitu pula guna meredam rasa terlalu berbangga, bahagia, tersanjung, atau hal-hal yang dinilai menyenangkan lainnya.

Dalam sebuah buku diri, terekam rupa-rupa wajah. Ia bahkan akan terus berubah, tanpa kita duga, tanpa bisa kita ketahui kapan waktu dan di mana tempatnya. Dari diri sendiri, kita berkenalan dengan fakta keberagaman. Yakni, keberagaman yang hakiki, demi bisa memahami konsep keberagaman yang lebih luas lagi.

Baca Juga:

Refleksi Surah Al-Ankabut Ayat 60: Menepis Kekhawatiran Rezeki

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Merangkul yang Terasingkan: Memaknai GEDSI dalam terang Dialog Antar Agama

Membuka Tabir Keadilan Semu: Seruan Islam untuk Menegakkan Keadilan

Praktik dasar bertoleransi

Sekali lagi, kemauan membaca diri sendiri adalah sebuah keberanian untuk menjumpai kekecewaan, cerita kegagalan, atau potret kekeliruan yang pernah menghinggapi perjalanan hidup. Setelah itu, cobalah untuk bertoleransi, memaafkan diri sendiri.

Begitu pun ketika dalam proses pembacaan diri itu hanya menjumpai gemuruh kesombongan, kecongkakan, dan kelalaian. Memaafkan diri adalah langkah bijak agar perjuangan untuk menjadi lebih baik bisa terus tetap berjalan, tetapi semuanya direkam sebagai pelajaran.

Tak semua orang bisa memaklumi kekurangan diri dalam proses pembacaan tersebut. Tak semua juga bisa memaafkan diri tanpa beban yang membuat segenap langkah jadi terhambat. Proses pemaafan diri mesti melewati segenap latihan. Memaafkan, bukan melupakan, agar segenap kekeliruan yang pernah dilakukan tak lagi terulang.

Tiga Jenis Sifat Manusia

Al-Ghazali menyebut bahwa dalam diri manusia terdapat tiga jenis sifat. Yakni shifatul baha’im (sifat-sifat binatang), shifatusy syayathin (sifat-sifat setan), dan shifatul malaikah (sifat-sifat malaikat). Semua itu harus dikenali, dipilih, dimaafkan (bertaubat), lalu dibersihkan untuk menjadi lebih baik lagi.

Dari pembacaan dan pemaafan diri itulah, kemudian seorang manusia memiliki tugas untuk memperluas lingkup keberhasilannya. Karena, Allah Swt berfirman, “Kami akan memperlihatkan kepada mereka ayat-ayat Kami di dunia ini dan di dalam diri mereka sendiri. (QS. Fusilat: 53).

Sedangkan dari hikmah keberagaman dalam diri itu, Allah Swt berfirman, “Sekiranya Dia menghendaki, bisa saja komunitas besar manusia hanya dibentuk satu umat yang homogen, namun Tuhan tidak melakukannya”.  (QS. Hud: 118). Keberagaman sebagai sebuah sunatullah pun pada akhirnya bisa kita pahami melalui diri untuk kemudian berani “memaafkan” perbedaan-perbedaan yang hadir di lingkungan sekitar, dan mengubahnya menjadi sikap menghargai dan menghormati. []

Tags: Al Ghazalikeberagamankemanusiaanmanusiatoleransi
Thoah Jafar

Thoah Jafar

Pengasuh Ponpes KHAS Kempek Cirebon

Terkait Posts

KDRT

3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

7 Juni 2025
Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

Islam Berikan Apresiasi Kepada Perempuan yang Bekerja di Publik

6 Juni 2025
Wuquf Arafah

Makna Wuquf di Arafah

5 Juni 2025
Kritik Asma Barlas

Iduladha sebagai Refleksi Gender: Kritik Asma Barlas atas Ketaatan Absolut

5 Juni 2025
Aurat

Aurat Perempuan: Antara Teks Syara’ dan Konstruksi Sosial

5 Juni 2025
Batas Aurat Perempuan

Dalil Batas Aurat Perempuan

5 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Masyarakat Adat

    Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID