Mubadalah.id – Dalam memperjuangkan pemenuhan hak-hak anak untuk terbebas dari praktik perkawinan anak, maka Indonesia membutuhkan lebih dari 100 tahun lagi.
Meskipun butuh 100 tahun lagi, kita tetap tidak boleh berhenti. Kita harus tetap berjuang untuk memenuhi hak-hak anak, terutama agar anak dapat terbebas dari praktik perkawinan anak, dan setidaknya kita bisa memulainya melalui usaha regulasi dan pembatasan usia kawin.
Dalam memberikan upaya-upaya hukum untuk perlindungan anak saat ini terus dilakukan, baik dengan mengadopsi hukum internasional seperti Konvensi Hak Anak menjadi UU Perlindungan Anak maupun melalui upaya-upaya berbasis santunan dan rasa belas kasihan.
Akan tetapi potret buram tentang kondisi anak masih menghantui berbagai negara di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Data dari WHO, UNESCO dan UNICEF sebagaimana mengutip berbagai media pada 19 Juni 2020, separuh dari total populasi anak di dunia atau sekitar satu miliar anak mengalami kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan psikologis, mengalami cedera, menjadi penyandang disabilitas, dan menigggal dunia.
Berdasarkan siaran pers dari laman resmi WHO, kekerasan terhadap anak pada umumnya karena negara gagal mengimplementasikan strategi dan kebijakan untuk melindungi anak-anak.
Laporan Status Global
Dalam Laporan Status Global tentang Pencegahan Kekerasan terhadap Anak Tahun 2020, terungkap 88 persen atau hampir semua negara di dunia telah memiliki Undang-undang Perlindungan Anak agar anak terbebas dari kekerasan.
Namun, hanya kurang dari separuhnya atau 47 persen negara yang menyatakan telah menjalankan penegakan hukum.
Lebih lanjut, dalam laporan itu mencatat sebanyak 40.150 anak usia 0 sampai 17 tahun meninggal dunia akibat kekerasan secara global. Dari jumlah itu sebanyak 28.160 anak laki-laki alami dan 11.190 oleh anak perempuan.
Melihat data tersebut, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Fikih Hak Anak menyebutkan, meskipun jumlah kematian pada anak perempuan seolah-olah lebih rendah, namun, analisis gender memperlihatkan tingkat penderitaan pada perempuan seringkali jauh lebih kejam akibat fungsi biologisnya yang rentan perkosaan.
Terlebih, beban gendernya adalah anak harus menerima perlakukan diskriminatif lebih berat dari pada anak laki-laki.
Dan posisi sosialnya yang subordinatif sehingga mengalami proses marjinalisasi atau pemiskinan yang lebih berat.
Data itu juga menyatakan bahwa hampir tiga dari empat anak atau sekitar 300 juta anak-anak di dunia mengalami hukuman fisik.
Bahkan mereka mengalami kekerasan psikolosis yang mereka dapatkan dari orang tua ataupun pengasuh/penjaga di sekitarnya. (Rul)