• Login
  • Register
Rabu, 21 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Keributan Jagat Maya dan Harmonisasi Masyarakat dalam Al-Qur’an

Apabila kajian Al-Quran tidak kunjung beranjak dari ‘debat-kusir’, sebagai Muslim kita akan tertinggal jauh dan dipandang apatis terhadap persoalan genting zaman

M. Naufal Waliyuddin M. Naufal Waliyuddin
02/11/2022
in Publik, Rekomendasi
0
Harmonisasi Masyarakat

Harmonisasi Masyarakat

464
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Di era digital ini, kehadiran media baru secara spesifik: media sosial online, dalam banyak kasus turut andil dalam merubah tatanan. Juga sekaligus watak sosio-antropologis masyarakat yang terlibat di dalamnya. Jejaring dunia maya menjadi lahan komunikasi dan bisnis baru yang instan, cepat, dan merambah spektrum cukup luas.

Kontur peradaban online terbilang multidimensi karena berpadu dengan aneka gejala baru yang bernama hoax, era post-truth, artificial intelligence, dan senarai gelombang kontestasi narsisistik antar-penduduknya (netizen). Hal tersebut berjalan seiring dengan budaya konsumerisme dan memunculkan “kultur selebriti” dalam lingkup yang beragam.

Batas-batas ruang dan waktu seakan bisa kita lipat, dan kita ringkas dengan adanya dunia online. Di satu sisi ia mendatangkan manfaat positif untuk harmonisasi masyarakat. Namun di lain pihak juga memunculkan persoalan baru dampak yang negatif.

Ghibah Media Daring

Pergunjingan bertransformasi meluas ke dalam wujud ghibah di media daring. Per-bully-an malih rupa jadi diskriminasi online. Dari twittwar ke twittwar dan bermacam gelagat destruktif lain yang mengakibatkan pecah-kongsi, polarisasi, sampai kehilangan spirit kolektivitas dan kohesivitas masyarakat. Perhubungan intersubjektif semakin kebak dengan segregasi, rasialisme ‘cebong-kampret’, dan dipenuhi eufemisme kultural yang cenderung egosentris dan intoleran.

Sebab di dunia maya, intensitas muwajjahah menjadi teredusir dan isyarat ini akan semakin memperbesar peluang kesalahpahaman, mispersepsi, peyorasi nilai-nilai, yang kelak berpotensi mencapai dosis paling fatal: wabah kebencian, kamuflase kolektif, hingga berujung ke peperangan dan bahkan genosida.

Baca Juga:

Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

Kesaksian Menurut Penjelasan Al-Qur’an

Al-Qur’an Tidak Membedakan Kesaksian Perempuan dan Laki-laki

Ungkapan homo homini lupus (manusia bagi manusia lain adalah serigala) dari Thomas Hobbes, filsuf Inggris abad ke-17, jika tetap begitu, tentu akan mengambil wujud nyatanya kembali. Adagium bahasa Latin yang berbunyi “bellum omnium contra omnes” (perang semua melawan semua) juga akan semakin mewujud menjadi realitas tak tertahankan. Hal itu terjadi bila perluasan kebencian di jagat maya ini kita biarkan.

Serangkaian pola-pola tersebut pada gilirannya nanti akan membuahkan “kontravensi” di jagat maya. Dinamika perselisihan kontrapoduktif yang tertandai dengan ketidakpastian pribadi seseorang dan perasaan yang mereka sembunyikan diam-diam. Silang-sengketa kehidupan maya, dengan demikian dan mau tidak mau, akan menuntut wadah tawaran solusi alternatif dalam menjawab problematikanya.

Konteks Indonesia

Dalam konteks Indonesia sendiri, dengan seluruh keragaman suku, bahasa, budaya, dan agama, tentu akan mengalami kompleksitas harmonisasi masyarakat yang khas sekaligus rumit. Apalagi dalam kajian sosiologi, keragaman dari segi alam (natural diversity) dan sosial (social diversity) di Indonesia tidak saja rawan dari bencana alam (natural disaster). Namun juga rentan menuai ‘bencana sosial’ (sosial disaster).

Bertolak dari hal itu, momentum penelaahan Al-Quran tentang harmonisasi masyarakat menjadi tepat sekaligus krusial. Upaya menginisiasi konvensi sosial jagat maya, tata-kelola yang nir-diskriminasi, dan pemberhentian narasi kebencian menjadi beberapa urusan yang perlu kita gencarkan. Asas kebersamaan bagi sesama (altruisme atau ietsār) kita upayakan agar melampaui egosentrisme (ananiyah) dan monopoli.

Terutama jika meyakini Islam yang sejatinya melahirkan kejernihan (clarity) dan kesadaran inklusif. Itulah beberapa bekal utama dalam memformulasikan dan merealisasikan harmonisasi masyarakat, bahkan kosmologis—dalam ungkapan umat Islam: rahmatan lil-‘alamin—yang akan menetaskan trilogi kehidupan yaitu kebenaran, kebaikan dan keindahan. Maka penting untuk mengupayakan kontekstualisasi muatan Al-Quran sesuai dengan fenomena zaman yang sedang berlangsung dan yang akan datang.

Konsentrasi pada Kelestarian Lingkungan

Lebih jauh, umat Muslim perlu berkonsentrasi secara integral dan kolaboratif dengan kelestarian lingkungan, kedamaian dan keadilan hidup umat manusia secara menyeluruh tanpa pandang bulu—meskipun ‘berbeda pendapat’ maupun ‘berbeda pendapatan’.

Aksentuasi sikap dalam merespon gejolak di jagat maya butuh untuk disandarkan pada insiatif kontra-destruksi, semangat toleransi, dan asas kemanusiaan. Sosialisasi spirit cinta kasih yang humanistis perlu kita perluas merambah ke linimasa online—dengan berjenis-jenis aplikasinya; Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube.

Tidak sekadar ‘jalan di tempat’ berkecimpung dalam kompetisi klaim kebenaran masing-masing sementara di Al-Quran sendiri tidak ada fastabiqul-haq, yang ada fastabiqul-khairat. Hal ini penting mengingat manusia modern yang kerap mengalami disorientasi tujuan hidup sehingga berimbas pada komplikasi malpraktek multipotensi yang ia miliki. Sehingga berujung pada disonansi dan disoperasi kehidupan sosial mereka.

Tidak heran jika banyak manusia modern yang mengalami alienasi dan terjerumus ke dalam perangkap pseudo-happiness yang sesaat, khayal kekuasaan temporer, dan ilusi dominasi terhadap liyan (others).

Atas dasar itulah, metadinamika yang akan berkembang memerlukan pendekatan multiperspektif yang tidak parsial. Integrasi kajian Al-Quran dengan berbagai disiplin ilmu menjadi hal yang tidak boleh kita abaikan. Tadabbur Al-Quran online agaknya juga perlu kita beri perhatian dalam menyuguhkan konten-konten berfaedah, mendedah persoalan kontemporer (semisal perubahan iklim tadi) melalui berbagai kanal guna menumbuh-suburkan semangat perbaikan kualitas hidup.

Dengan demikian, anasir demonic yang sedang menjangkit banyak pihak di era disrupsi ini akan secara berangsur-angsur terkikis, sekalipun butuh proses. ‘Syahadat’ demokrasi yang melingkupi tiga aspek penting—liberté, egalité, dan fraternité—yang sempat terkhianati sendiri oleh manusia modern dalam sebagian kasus, kini tidak hanya akan menjadi buah bibir belaka.

Gairah pembebasan, semangat persamaan, dan dorongan persaudaraan akan utopis semata jika tidak kita barengi dengan usaha dari diri manusianya sendiri. Demokratisasi mencakup berbagai lini dan segmen masyarakat akan tidak lagi menjadi wacana selama manusia modern mau dan mampu meredusir keserakahan, kepongahan, dan psikologi kebencian terhadap sesama mereka.

Masyarakat Madani

Dalam rangka menuju masyarakat madani yang berjuang memuhammadkan diri. Jika meminjam istilah Kuntowijoyo, maka “Islam sebagai ilmu” sudah harus kita mulai sejak dalam pikiran apalagi tindakan (praktikal). Semangat humanisme dan gairah kosmopolitan—bahkan kosmologis—sudah harus kita kedepankan dalam kajian Al-Quran. Juga tetralogi profetik yakni shiddiq, amanah, tabligh, fathonah kita rasa perlu menjadi inti dan kompas dari gerak sejarah umat Islam di masa kini.

Keempat anasir mulia tersebut akan dengan sendirinya menggusur potensi korup, kemaruk kepentingan, dan keserakahan struktural dalam kehidupan manusia. Di mana justru melahirkan kegilaaan dan peradaban yang kering spiritualitas. Jika mengingat diskursus ala Michel Foucault, boleh kita sebut madness and (cruel) civilization.

Memang ulasan ini akan terkesan muluk-muluk, terlampau ideal, dan nyaris utopis. Namun jika mindset kolektif setiap orang memilih untuk over-permissive terhadap segala kondisi, dinamika sejarah tentu akan beku dan menjadi stagnan. Sementara realitas menyuguhkan banyak tontonan yang membuat seseorang beralasan untuk menjadi radikal atau sebaliknya: abai dan ‘masa-bodoh’.

Padahal masih seabrek persoalan membutuhkan penuntasan dan bukannya malah terjerumus ke ‘prokrastinasi-kultural’ atau eskapisme sosial. Problem segregasi, persekusi terhadap minoritas, polarisasi politik dan friksi lintas-madzhab, akan menjadi ajang buang-buang tenaga. Selain itu pemborosan nafas dan pemubadziran usia yang sempurna dan efektif jika kita terus-teruskan.

Kontekstualisasi Al-Qur’an

Kontekstualisasi dan teroka kajian integratif Al-Quran di masa depan akan semakin menuai beragam problem. Terutama, menyangkut senarai ‘hibridasi identitas’ generasi Y dan generasi terbaru yang bernama Alpha. Di mana sekitar 2045 dan seterusnya akan menjadi pemimpin masa depan.

Dengan begitu, pertentangan faksional, kontestasi politik kepentingan sebagian kecil umat manusia hanyalah urusan yang tidak primer. Sehingga butuh untuk kita alihwahanakan menjadi semangat pencarian titik-temu harmonisasi masyarakat dalam kehidupan global mendatang. Yakni dengan serangkaian permasalahan yang tak kalah rumit.

Karena apabila kajian Al-Quran tidak kunjung beranjak dari ‘debat-kusir’, sebagai Muslim kita akan tertinggal jauh dan dipandang apatis terhadap persoalan genting zaman. Dalam kadar paling parah, kelak generasi depan yang merasa dirugikan oleh para pendahulunya akibat industrialisasi tak ramah lingkungan, eksploitasi alam sampai rusak dan menjadi tak layak huni karena udara telah tercemari.

Maka, jangan salahkan-balik mereka jika kelak melotot kepada pusara atau potret generasi kita sambil mengutuk seperti ucapan Greta Thunberg: “You are failing us! The eyes of all future generations are upon you. And if you choose to fail us, I say: we will never forgive you!” []

Tags: al-quranharmonimasyarakatmedia sosialPerubahan Iklim
M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Redaktur metafor.id. Peneliti swadaya seputar generasi muda dan sosial keagamaan. Alumni Tasawuf Psikoterapi dan Interdisciplinary Islamic Studies. Pegiat literasi dan seni yang kerap menulis dengan nama pena Madno Wanakuncoro.

Terkait Posts

Peran Aisyiyah

Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

20 Mei 2025
Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas

Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

20 Mei 2025
Bangga Punya Ulama Perempuan

Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

20 Mei 2025
Nyai Nur Channah

Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

19 Mei 2025
Nyai A’izzah Amin Sholeh

Nyai A’izzah Amin Sholeh dan Tafsir Perempuan dalam Gerakan Sosial Islami

18 Mei 2025
Inses

Grup Facebook Fantasi Sedarah: Wabah dan Ancaman Inses di Dalam Keluarga

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Islam

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mengenal Jejak Aeshnina Azzahra Aqila Seorang Aktivis Lingkungan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version