Mubadalah.id – Mayoritas ulama fikih, terutama Mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali, melarang perempuan menjadi wali nikah, baik untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. Akad nikah oleh perempuan ini adalah tidak sah.
Sementara Mazhab Hanafi memperbolehkan perempuan yang sudah dewasa dan mampu berpikir secara baik untuk melangsungkan akad nikah bagi ia sendiri. Sekalipun yang lebih baik adalah mewakilkan kepada walinya, atau akad nikah yang perempuan langsungkan untuk hidupnya sendiri adalah sah.
Mayoritas ulama fikih dan ulama Mazhab Hanafi memiliki argumentasi dari ayat-ayat al-Qur’an yang mendukung pandangan mereka masing-masing.
Ayat-ayat ini secara umum tidak eksplisit memihak salah satu pandangan. Namun, ayat-ayat ini menjadi sangat logis untuk menjadi dasar bagi dua pandangan yang berseberangan tersebut.
Masing-masing pandangan juga mengajukan argumentasi dari teks-teks Hadis yang relevan dan mendukung.
Di antara argumentasi Hadis yang paling eksplisit bagi pandangan mayoritas ulama yang melarang adalah teks Hadis berikut ini:
Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah Saw. bersabda, Jika ada perempuan yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya adalah batal (tidak sah), nikahnya batal, nikahnya batal.
Apabila sudah telanjur terjadi hubungan intim, (dengan pernikahan yang tidak sah ini), perempuan tetap berhak atas maharnya (dari laki-laki), untuk menghalaikan vaginanya (karena hubungan intim tersebut).
Apabila terjadi pertengkaran antara mereka (perempuan dan walinya), maka yang menjadi wali bagi yang tidak memiliki wali (yang mau menikahkan) adalah negara.” (Sunan al-Tirmidzi, no. 1125).
Menurut Imam Tirmidzi, status Hadis di atas adalah Hasan. Isinya juga sangat eksplisit dan tegas bahwa perempuan yang hendak menikah akadnya harus langsung dengan walinya, bukan oleh ia sendiri.
Namun, menurut Mazhab Hanafi, dengan analisis takhrij (penelitian silsilah) Hadis yang ia ajukan, teks Hadis ini adalah dhaif. *
*Sumber: tulisan Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku Perempuan (Bukan) Makhluk Domestik.