Mubadalah.id – Dalam beberapa catatan hadis, Nabi Muhammad Saw meminta kepada kita semua, janganlah mengganggu waktu istirahat pasangan suami istri di malam hari.
Larangan mengganggu waktu istirahat pasangan suami istri di malam hari itu merujuk pada teks hadis yang diriwayat Anas bin Malik Ra. Isi hadis tersebut sebagai berikut :
Anas bin Malik Ra menuturkan, “Nabi Muhammad Saw tidak pernah ketika datang dari bepergian lalu mengetuk pintu keluarganya pada malam hari. Beliau juga tidak memasuki rumah, kecuali pada pagi atau sore hari” (Shahih al-Bukhari).
Dalam teks hadis di atas, menurut Faqihuddin Abdul Kodir, seperti di dalam buku 60 Hadis Shahih, menegaskan Nabi Muhammad Saw bahwa tidak pernah datang ke rumah dari bepergian pada malam hari.
Beliau tidak melakukan ini karena tidak ingin masuk rumah ketika istri sedang terlelap, berpakaian lusuh, atau sedang melakukan hal-hal yang tidak ingin dilihat suami.
Intinya, Nabi Muhammad Saw tidak ingin mengganggu istrinya, juga tidak ingin istrinya terganggu dengan kedatangan beliau pada malam hari. Untuk itu, beliau memilih untuk pulang ke rumah pada pagi atau sore hari.
Bahkan ketika pulang dari haji pada malam hari. Nabi Muhammad Saw memilih untuk tinggal dulu di Dzul Hulaifah melalui pintu al-Mu’arras, dan menginap semalam. Pagi hari, barulah beliau berangkat masuk ke Madinah (Shahih al-Bukhari, no. hadits: 1558 dan 3099).
Nabi Saw Menghindari Datang Ke Kota Madinah Pada Malam Hari
Selain itu, Ibnu Battal pernah menyampaikan, praktik ini Nabi Muhammad Saw lakukan untuk menghindari datang dan masuk kota Madinah pada malam hari.
Ini sesuai dengan ajaran yang Nabi Saw sampaikan kepada para sahabat. Tentu saja, praktik ini juga bersifat kontekstual, yang intinya adalah tidak mengganggu keluarga di rumah atau membuat mereka merasa terganggu.
Ketika kedatangan ke dalam rumah ini menegaskan prinsip-prinsip relasi kesalingan dalam keluarga. Seperti dalam al-Qur’an bahwa antara suami dan istri itu terikat oleh komitmen untuk saling berbuat baik satu sama lain (QS. an-Nisaa’ (4: 19).
Saling menutupi, menjaga, dan menghangatkan. Sebagaimana al-Qur’an menggambarkan suami sebagai pakaian istri dan istri sebagai pakaian suami (QS. al-Bagarah (2): 181). Jika dua prinsip ini saja menjadi komitmen bersama dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Maka seluruh persoalan yang datang akan mudah mereka selesaikan.
Dengan prinsip kesalingan ini, kebahagiaan yang hakiki adalah jika suami bisa berbahagia dengan istri dan bisa membahagiakan istri. Begitu pun kesenangan istri hanya akan paripurna jika sudah merasa senang dan bisa menyenangkan suami. Hal yang sama juga berlaku dalam relasi dengan anggota keluarga yang lain, antara orang tua dan anak. Serta antara kakak dan adik, atau anggota lain dalam satu rumah tangga.