Mubadalah.id – Seorang mamud (mama muda) curhat pengalaman pertamanya puasa kali ini;
“Pantes agama perempuan separuh lelaki.”
Kutanya dia “emangnya kenapa? Kok tiba-tiba kamu membenarkannya?”
Dia menjawab dengan nada mengeluh “Tiap salat 5 waktu gak bisa jamaah, kalo bisa itupun gak lengkap karena harus jagain anak. Abis salat suami bisa ngaji aku nggak karena anak macem-macam, anak minta nen lah, cebokin anak yang bikin aku batal wudu dan males ngambil lagi, suami bisa tahajud akunya kecapean karena bayi mimi gak berhenti, suami tahlilan aku nidurin anak.”
“Emang suamimu gak bantu ngasuh bayi kah.”
“Bantu sih, dia gendong, bantu nyuci dan cebokin dan lain-lain. Tapi intensitas mimik yang bikin bayi lebih lama lengketnya sama aku. Makanya ibadahku tahun ini menurun. Ditambah aku udah batalin puasa karena bayi sakit jadi kudu boosterin ASI biar cepet sembuh.”
“netein dan ngasuh anak itu juga sedang ibadah lo.”
“Kok bisa? Aku gak zikir dan ngaji kok bisa beribadah?”
“Siapa yang nyuruh kamu puasa? Allah kan. Menyusui, mengasuh anak, menjaga kualitas ASI dan tidur anak juga diperintahkan oleh Allah kepada seluruh orang tua, kebetulan kamu yang punya kapasitas untuk itu. Dan semua bentuk sayangmu pada anak adalah ibadah. Jadi meski tanpa nawaitu-nawaitu kamu sedang melakukan ibadah, pastinya berpahala dong”
“benarkah mbak?! Ada dalilnya bahwa agama perempuan bukan separuh lelaki itu tidak benar?”
“Ada dong”
***
Setiap bulan Ramadan pasti ada mamah muda yang mengalami hal serupa dan perasaan yang sama. Kebanyakan mereka hanya diam dengan pengalaman yang mereka anggap kodrat. Mengasuh anak seringkali menjadi tugas perempuan saja. Parahnya, mengasuh anak dianggap bukan sebuah ibadah karena tidak berkaitan dengan zikir, salat, mengaji dan serangkaian ibadah yang kita awali dengan nawaitu.
Mengasuh Anak Adalah Perintah Allah
Mengapa demikian? Mengasuh merupakan bentuk kebaikan orang tua pada anak. Perintah berbuat baik adalah perintah universal, kepada siapapun dan oleh siapapun. Dari yang tua ke muda dan sebaliknya. ada banyak padanan kata kebaikan dalam Alquran, seperti alkhair, albirr, alhasan, alshalih dan atthayyib. Seperti dalam surat Al-Hajj ayat 77 wa if’alū alkhaira “dan lakukanlah kebaikan” tidak disebutkan siapa objeknya agar kebaikan dilakukan secara menyeluruh. Tak pandang bulu.
Dalam ayat lain disebutkan,
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُون
Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur atau barat, melainkan kebajikan itu ialah (kebajikan) orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab suci, dan nabi-nabi, memberikan harta yang dicintainya kepadda kerabat, anak yatim, orang miskin, musafir, peminta-minta, dan (memerdekakan) hamba sahaya, melaksanakan salat, menunaikan zakat, menepati janji apabila berjanji, sabar dalam kemelaratan, penderitaan dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.
Makna-makna kebajikan ini bisa kita tarik pada konteks birrul walidain (berbuat baik/berbakti pada orang tua) dan birrul awlad (berbuat baik pada anak-anak). Setidaknya ada 4 ayat yang dijadikan referensi bahwa berbakti kepada orang tua adalah ajaran agama Islam. QS Al-Baqarah [2]: 83, QS An-Nisa [4]: 36, QS Al-An’am [6]: 151, dan QS Al-Isra’ [17]: 23. Keempat ayat tersebut menggunakan kata ihsān untuk perlakuan baik kepada kedua orang tua.
Birrul Walidain dalam pandangan Imam Ghazali
Sedangkan dalam konteks birrul wālidain, Imam Ghazali dalam kitabnya Ihyā ‘Ulumuddīn menulis, ada seorang lelaki mendatangi Nabi dan bertanya;
الى من أبر؟“Kepada siapa aku harus berbakti?”
بر والديك “berbaktilah pada kedua orang tuamu”
Lelaki itu menjawab tidak memiliki kedua orang tua, lalu Nabi menjawab بر ولدك كما أن لوالديك عليك حقاً كذلك لولدك عليك حق “berbaktilah pada anak-anakmu, sebagaimana kedua orang tuamu memiliki hak atasmu. Begitupun anak-anakmu.” Nabi menambahkan رَحِمَ اللَّهُ وَالِدًا أَعَانَ وَلَدَهُ عَلَى بِرِّهِ “Semoga Allah merahmati orang yang membantu anaknya bisa berbakti kepadanya”
Sikap birrun (kebaikan) bukan hanya kita anjurkan pada satu pihak, melainkan dari dua pihak. Yakni anak kepada orang tua dan orang tua kepada anak. Tentu dengan porsinya masing-masing. Mengapa yang sering kita gemborkan hanya berbakti kepada orang tua? Karena umumnya orang tua tidak perlu kita ingatkan lagi untuk menyayangi, mengasihi, berkata baik dan memberikan yang terbaik pada anaknya. Sedangkan anak butuh berkali-kali kita ingatkan untuk itu.
Oleh karena berbakti pada anak adalah kebaikan maka siapapun yang melakukannya berarti ia sedang beribadah dan mendapat pahala. []