Mubadalah.id – Cara mengatasi sirkuit kemelut kerusakan sosial (nahi mungkar) mengingatkan kembali pada masyarakat abad pertengahan, ketika kekuasaan politik ada di tangan personal, seorang raja atau kaisar, dan ketika kekuasaan yang kuat menindas kekuasaan yang lemah. Apalagi ketika kekuasaan-kekuasaan itu berkolaborasi dengan otoritas agama.
Saya kira dalam konteks sosial-budaya hari ini di mana demokrasi menjadi sebuah mekanisme yang terbaik dalam menyelesaikan masalah, hadits di atas memerlukan tafsir ulang.
Maka saya kira kata “dengan tangan”, tidak lagi harus dimaknai sebagai bagian anggota tubuh manusia, tetapi bisa tetap dimaknai kekuasaan.
Pemerintah harus “menangani” kemunkaran itu. Meski demikian, penanganan oleh negara (kekuasaan) di sini bukan kekuasaan ototiter, tetapi kekuasaan konstitusional.
Dengan kata lain, instrumen hukum ini dan undang-undang, harus dijadikan landasan bagi tindakan pemerintah mengatasi sirkuit kemelut kerusakan sosial (nahi mungkar) tersebut.
Konstitusi adalah hasil konsensus seluruh warga bangsa yang harus menjadi pijakan dari seluruh kebijakan dan tindakan pemerintah dan otoriotas yang lain.
Ia adalah common platform bangsa. Pemegang mandat kuasa atas rakyat wajib menjalankannya dengan tidak bisa dan tidak boleh mengabaikan konstitusi ini. Semua kebijakan lain harus menerjemahkannya tanpa boleh bertentangan dengannya.
Dengan Lisan
Frase “dengan lisan”. Ini bisa bermakna ucapan, nasehat, dan ceramah. Tetapi ia tidak boleh dipahami sebagai celoteh, caci maki, dan kata-kata lain yang merendahkan martabat manusia.
Maka tafsir baru atas kata tersebut adalah bicara dengan cara yang lebih baik, dialog, saling mendengarkan, saling memahami, dan saling menghargai, tanpa yang satu lebih dari yang lain.
Jika harus berdebat, maka juga harus dengan cara bicara yang lebih baik (Billati Hiya Ahsan). Al-Qur’an sudah menyarankan kepada Nabi,
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah (ilmu pengetahuan atau kebijaksanaan) dan pelajaran yang baik dan bantahlah (kritik) mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalanNya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl (16): 125).
Frase “dengan hati.” Ia bisa berarti diam atau mendiamkan, tetapi diam yang aktif, bukan diam yang pasif dan menyerah. Diam yang aktif adalah melakukan sesuatu dengan tenang dan disiplin serta kokoh dalam prinsip kebenaran dan keadilan.
Dengan kata lain, kita tidak boleh membiarkan saja sirkuit kemelut kerusakan itu terus berlangsung. Apalagi kemudian tenggelam atau terseret arusnya. “Jangan ikuti hasrathasrat rendah yang mencelakakan masa depan kemanusiaan.”
Nabi mengatakan, “Janganlah kalian menjadi orang yang ikut-ikutan. Jika orang lain berbuat baik kami berbuat baik, jika mereka berbuat zalim kami juga berbuat zalim. Komitmenlah pada sikap, jika mereka berbuat baik kami berbuat baik. Jika mereka berbuat jahat, kami tetap berbuat baik dan tidak menzalimi.” []