Mubadalah.id – Rumah tangga, idealnya dibangun atas dasar kesepakatan untuk mewujudkan kehidupan bersama yang penuh cinta dan kasih sayang (mawaddah wa rahmah) serta untuk merengkuh kebahagiaan bersama (sakinah).
Tetapi pertemuan dua orang dari jenis kelamin yang berbeda, ditambah dengan kehadiran anak, orang tua atau mertua, atau orang lain dalam sebuah keluarga, dengan berbagai persoalan keseharian masing-masing.
Terlebih sangat mungkin melahirkan perbedaan-perbedaan yang jika tidak dikelola dengan baik akan memunculkan konflik, bahkan kekerasan.
Idealitas berumah tangga ini seringkali lebih menuntut perempuan untuk bisa menghadirkan kehidupan surgawi di hadapan laki-laki seperti Islam harapkan. Jika lengah sedikit saja para perempuan harus menanggung risiko kekerasan yang sering kali cukup parah: pelecehan, pemukulan, bahkan pembunuhan.
Dalam catatan penelitian Soetrisno, misalnya menyebutkan:
“Rita tidak jarang dipukul bila menanggapi kemarahan suaminya. Menurut suaminya, ia memukuli istrinya karena menjawabnya saat ia marah. Menurutnya, istri harus diam, kalau tidak ingin dipukul lagi. Rita sering bingung karena suminyajuga marah kalau Rita diam saja dan tidak menanggapi kemarahan suaminya. Balikan dalam keadaan seperti Itu suaminya juga dapat menjadi-jadi kemarahannya”. (Publikasi Komnas Perempuan, Kekerasan dalam Pengalaman Perempuan Indonesia, h. 52).
Kehidupan berumah tangga memang tidak selamanya berjalan mulus tanpa konflik, perbedaan atau perdebatan. Bahkan bisa jadi perbedaan-perbedaan adalah bunga kehidupan berumah tangga, yang semestinya tidak memunculkan duri yang melukai salah seorang anggota keluarga.
Sebaliknya, ia harus kita kelola untuk menemukan saling pengertian terhadap kelebihan dan kekurangan masing-masing. Semangat saling pengertian yang meniscayakan tidak adanya kekuasaan yang dominan dari satu pihak kepada pihak lain.
Kekuasaan yang menempatkan satu pihak bisa mendidik, menyalahkan, mengadili. Bahkan menghakimi terhadap pihak lain yang selamanya harus menjadi obyek untuk ia didik, salahkan, dan hakimi. Kekuasaan seperti ini memiliki kecenderungan tinggi melahirkan kekerasan yang menistakan.
Kisah Rumah Tangga Nabi Saw
Dalam sejarah rumah tangga Nabi SAW juga terjadi perbedaan dan perdebatan, tetapi perbedaan ini sama sekali tidak melahirkan kekerasan.
Dalam konflik yang sekeras apapun, Nabi SAW tidak pernah menggunakan media kekerasan untuk mengembalikan pada kebersamaan kehidupan berumah tangga.
Beberapa ayat al-Qur’an (surat al-Ahzab dan surat at-Tahrim) merekam perselisihan yang pernah terjadi dalam kehidupan rumah tangga Nabi SAW., lebih khusus antara Aisyah ra dan Hafsah ra sebagai istri di satu sisi dengan Nabi SAW sebagai suami.
Puncak perselisihan-atau lebih tepatnya perbedaanini, Nabi SAW bersumpah untuk tidak berkumpul bersama mereka selama satu bulan.
Nabi SAW meninggalkan istri dan kemudian tidur di dalam masjid selama dua puluh sembilan hari. Ketika pulang dan memasuki kamar, Aisyah ra mengatakan: “Sumpah kamu kan satu bulan, ini baru dua puluh sembilan hari sudah pulang”.
Nabi SAW tidak marah, cukup menjawab: “Satu bulan itu bisa dua puluh sembilan hari”. “Oh.. ya..,” jawab Aisyah ra.
Nabi SAW kemudian masuk rumah dan pada akhirnya memberi pilihan kepada mereka, untuk tetap hidup bersama Nabi SAW dengan segala kelebihan dan kekurangan, atau berpisah agar bisa memperoleh apa yang mereka inginkan.
“Wahai Nabi, katakan kepada istri-istrimu, jika kalian menginginkan kehidupan dunia dan kenikmatannya, mari aku berikan kesenangan itu dan kita berpisah dengan baik. Tetapi jika kalian menginginkan Allah, Rasul-Nya, dan hari akhirat. Sungguh Allah telah mempersiapkan pahala yang besar bagi orang-orang yang berbuat baik dari kalian”. (QS. Al-Ahzab: 28-29). []