• Login
  • Register
Minggu, 8 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Publik

Religious Bullying dan Pendidikan Kita yang Tidak Baik-baik Saja

Anak-anak yang melakukan religious bullying tidak hanya memiliki anggapan bahwa agama bisa menjadi bahan candaan, tetapi ada agama yang kuat atau paling benar, dan ada agama yang lemah dan salah

Rizka Umami Rizka Umami
03/07/2023
in Publik, Rekomendasi
0
Religious Bullying

Religious Bullying

1.7k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Menjauh dari Kristen, ayo!”
“dadah, Kristen.”

Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, tepatnya 8 Juni 2023, saya menemukan sebuah postingan reels di media sosial Instagram unggahan akun @galerikris10_. Dalam video tersebut memperlihatkan seorang anak laki-laki tengah bercerita tentang pengalamannya di sekolah.

Anak itu bilang, ia dibully oleh teman-temannya setelah mengatakan bahwa dirinya beragama Kristen. Ia mengaku mendapat olok-olok. Teman-temannya juga menjauh hanya karena ia memiliki agama yang berbeda. Sekilas, ini tampak seperti guyonan biasa. Namun hal tersebut menandai satu masalah serius, bahwa pendidikan kita memang masih jauh dari baik-baik saja.

Saya jadi ingat cerita salah seorang rekan lintas iman di Tulungagung. Ia mengungkapkan bahwa anak pertamanya yang notabene bersekolah di SD Negeri, sempat beberapa kali mengalami perundungan oleh rekan sesama murid di sekolah itu. Kalimat-kalimat menggunakan agama sebagi bahan candaan, sering dilontarkan dan lama kelamaan membuat anak rekan saya merasa minder.

Beberapa guru yang menyaksikan atau mendengar langsung candaan dan ejekan dari murid-muridnya, tidak ambil pusing dan seolah membiarkan hal tersebut. Merasa terasing dari teman sekelas, akhirnya anak rekan saya pun mengadukan pengalaman tidak menyenangkan yang ia peroleh ke orangtuanya. Pasca rekan saya datang ke sekolah untuk minta klarifikasi, baru hal tersebut mendapat tindak lanjut dari pihak sekolah.

Perundungan atau bullying memang bukan perkara baru. Pada setiap jenjang usia terutama anak-anak, seakan pernah mengalami hal tersebut. Bullying bisa terjadi di mana saja, di lingkungan tempat tinggal, di tempat bermain, bahkan lembaga pendidikan sekalipun. Pada kasus anak rekan saya dan video yang saya saksikan di media sosial awal Juni lalu, konteksnya adalah bullying berbasis agama atau religious bullying.

Baca Juga:

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

Perspektif Heterarki: Solusi Konseptual Problem Maraknya Kasus Kekerasan Seksual di Lembaga Pendidikan Agama  

Islam adalah Agama Kasih: Refleksi dari Buku Toleransi dalam Islam

Dari Candaan Berujung Kebencian

Mengacu definisi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KP3A), bullying di sekolah merupakan bagian dari perilaku agresif yang terjadi secara berulang, oleh seseorang atau sekelompok siswa kepada siswa lain, dengan tujuan menyakiti.

Menurut Unicef, bullying bukan bagian dari insiden yang terjadi tanpa unsur kesengajaan, melainkan pola perilaku. Anak-anak yang melakukan bullying kepada temannya, merasa memiliki kuasa dan menganggap orang lain lemah, baik dalam aspek fisik maupun status sosial. Bentuk bullying pun beragam, mulai dari pelecehan verbal sampai kekerasan fisik.

Dalam konteks religious bullying sasarannya lebih spesifik, yakni keyakinan beragama seseorang. Siswa dengan latar belakang agama mayoritas secara kuantitas merasa berhak mengejek, melecehkan atau melakukan tindakan perisakan terhadap siswa yang berasal dari agama lain.

Sampai hari ini, religious bullying juga masih kerap terjadi dan menjelma momok di lembaga pendidikan di Indonesia. Alasan utama bullying sulit hilang adalah anggapan bahwa hal tersebut wajar, hanya candaan sepintas lalu, dan tidak akan berdampak pada mental serta harga diri orang yang dirisak.

Padahal sebaliknya, bullying berbasis agama adalah persoalan serius yang harus segera mendapat penanganan. Tidak sekadar berdampak pada kesehatan mental anak, tetapi lebih jauh bisa menanamkan sikap intoleransi sejak dini. Selain itu, bullying juga menyebabkan ketidakpercayaan pada lingkungan sosial, dan bisa jadi di kemudian hari dapat menyulut kebencian terhadap kelompok tertentu.

Pentingnya Menanamkan Kesalingan Sejak Dini

Anak-anak yang melakukan religious bullying tidak hanya memiliki anggapan bahwa agama bisa menjadi bahan candaan, tetapi ada agama yang kuat atau paling benar, dan ada agama yang lemah dan salah. Hal tersebut tentu tidak lepas dari penanaman cara pandang pada anak-anak mengenai agama. Baik cara pandang dari orangtua ketika di rumah, maupun ketika berada di lingkungan sekolah.

Orangtua punya peran penting dalam memberikan contoh dan pemahaman kepada anak, mengenai toleransi antar sesama manusia, tanpa memandang suku, ras, maupun agama. Dengan menanamkan empati, membiasakan anak untuk saling menghormati antar sesama dan menghargai perbedaan, bisa mengurai benang kusut yang membuat bullying tumbuh subur.

Pembelajaran agama di sekolah umum seharusnya juga bisa mencegah terjadinya intimidasi dan perisakan atas nama agama. Kebijakan yang ada di tataran sekolah, perlu diubah menjadi lebih inklusif. Di mana guru dan seluruh warga sekolah saling bekerjasama menciptakan ruang yang nyaman, aman, dan bersahabat bagi siswa.

Upaya Memutus Religious Bullying

Ada beberapa upaya untuk memutus ketimpangan yang mengakibatkan religious bullying terjadi. Di antaranya mengajak siswa untuk saling mendialogkan perbedaan dengan cara yang ramah dan santun dan memberikan pemahaman tentang moderasi beragama.

Selain itu penting menanamkan kesalingtergantungan antar sesama, sekaligus mengimplementasikan bentuk-bentuk kesalingan tersebut dalam laku hidup sehari-hari. Bisa dalam bentuk kerja kelompok, saling berkunjung pada peringatan hari besar, menghormati cara peribadatan yang berbeda, dan sebagainya.

Saya yakin di dalam ajaran setiap agama yang ada di Indonesia, tidak ada satu pun yang mengajarkan tentang kekerasan. Sebagian besar agama yang saya ketahui, senantiasa mengajarkan cinta kasih, penghormatan atas kemanusiaan, kedamaian, dan persaudaraan. Pun dalam Islam, sebagaimana paparan Kiai Faqih (2022), Nabi Muhammad Saw sendiri telah bersaksi bahwa tiap-tiap manusia di muka bumi ini adalah saudara.

Artinya, sebagai sesama saudara sudah seharusnya kita saling menghormati. Hal yang sama perlu ada pada diri anak-anak sejak dini, agar di kemudian hari mereka bisa tumbuh sebagai pribadi yang penuh cinta kasih, menjunjung tinggi persaudaraan dan toleransi, serta tidak gampang memberikan judgement pada orang yang berbeda atas nama agama. []

Tags: agamaBeragamabullyingHak anakKekerasan Anakpendidikanreligion bullying
Rizka Umami

Rizka Umami

Alumni Pascasarjana, Konsentrasi Islam dan Kajian Gender.

Terkait Posts

Jam Masuk Sekolah

Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan

7 Juni 2025
Iduladha

Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban

7 Juni 2025
Masyarakat Adat

Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

7 Juni 2025
Toleransi di Bali

Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

7 Juni 2025
Siti Hajar

Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

7 Juni 2025
Relasi Kuasa

Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

7 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Masyarakat Adat

    Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fenomena Walid; Membaca Relasi Kuasa dalam Kasus Kekerasan Seksual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Spirit Siti Hajar dalam Merawat Kehidupan: Membaca Perjuangan Perempuan Lewat Kacamata Dr. Nur Rofiah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Jam Masuk Sekolah Lebih Pagi Bukan Kedisiplinan, Melainkan Bencana Pendidikan
  • Iduladha: Lebih dari Sekadar Berbagi Daging Kurban
  • Masyarakat Adat dan Ketahanan Ekologi
  • 3 Faktor Sosial yang Melanggengkan Terjadinya KDRT
  • Dari Sapi Hingga Toleransi : Sebuah Interaksi Warga Muslim Saat Iduladha di Bali

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID