Mubadalah.id – Allah menjadikan pasangan hidup setiap manusia supaya merasa tenteram (sakinah), cara mewujudkan keluarga sakinah itu ketika mawaddah dan rahmah menyatu dalam sendi kehidupan rumah tangga. Tanpa menyatukan semua itu, akan muncul kemungkinan pasangan suami dan istri hanya peduli pada kebahagiaan dirinya masing-masing atau memanfaatkan pasangannya demi kebahagiaannya sendiri tanpa peduli pada kebahagiaan pasangannya
Pada pukul 03.12 WIB foto yang saya jadikan status di WhatsApp tiba-tiba dikomentari teman dengan pertanyaan “konsep sakinah, mawaddah, wa rahmah yang sebenarnya seperti apa?”. Saya mengutip penjelasan sakinah, mawaddah wa rahmah dari buku Fondasi Keluarga Sakinah (2017) untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Sakinah dalam keluarga dapat dipahami sebagai keadaan yang tenang / meski banyak rintangan dan ujian kehidupan berumah tangga.
Mawaddah secara sederhana bermakna cinta, yaitu perasaan yang melahirkan keinginan untuk membahagiakan diri. Sehingga hatinya akan lapang dada, penuh harapan, menjauhkan diri dari keinginan buruk dan akan senantiasa menjaga cintanya baik di kala senang maupun susah/sedih.
Rahmah diterjemahkan sebagai kasih sayang yaitu perasaan yang melahirkan keinginan untuk membahagiakan pasangannya. Sehingga menyebabkan seseorang akan berusaha memberikan kebaikan, kekuatan, dan kebahagiaan bagi pasangannya dengan cara yang lembut dan penuh kesabaran.
Allah menjadikan pasangan hidup setiap manusia supaya merasa tenteram (sakinah), hal itu bisa terwujud ketika mawaddah dan rahmah menyatu dalam sendi kehidupan rumah tangga. Tanpa menyatukan semua itu, akan muncul kemungkinan pasangan suami dan istri hanya peduli pada kebahagiaan dirinya masing-masing atau memanfaatkan pasangannya demi kebahagiaannya sendiri tanpa peduli pada kebahagiaan pasangannya.
Setidaknya ada empat prinsip dalam Al-Qur’an yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan keluarga sakinah:
Pertama, Suami dan istri laksana dua sayap burung yang tidak mungkin terbang tanpa salah satunya, oleh karena itu keduanya harus saling melengkapi, saling menopang, dan saling kerjasama. Dalam ungkapan Al-Qur’an, suami adalah pakaian bagi istri dan istri adalah pakaian bagi suami [Q.S Al-Baqarah : 187].
Kedua, Perkawinan adalah ikatan yang kokoh “Mitsaqan Ghalizhan” [Q.S An-Nisa : 21] sehingga harus bisa menyangga seluruh sendi-sendi kehidupan rumah tangga. Kedua pihak diharapkan menjaga ikatan ini dengan segala upaya yang dimiliki. Tidak bisa yang satu menjaga dengan erat sementara yang lainnya melemahkannya.
Ketiga, Perkawinan harus dipelihara melalui sikap dan perilaku saling berbuat baik “Mu’asyarah bil Ma’ruf” [Q.S An-Nisa : 19] Seorang suami harus selalu berpikir, berupaya, dan melakukan segala yang terbaik untuk istri. Begitupun sang istri berbuat hal yang sama kepada suaminya.
Keempat, Perkawinan mesti dikelola dengan musyawarah [Q.S Al-Baqarah : 23]. Terlebih ketika dihadapkan oleh sebuah permasalah, suami dan istri harus bisa menemukan solusinya, bukan dengan cara mendiamkannya, tetapi dengan cara musyawarah. Karena musyawarah adalah cara yang sehat untuk berkomunikasi, meminta masukan, menghormati pandangan pasangan, dan mengambil keputusan yang terbaik. Dan jangan sampai luput berdo’a meminta petunjuk atas segala permasalah yang dihadapi. [Alwan]
Referensi: Fondasi Keluarga Sakinah Bacaan Mandiri Calon Pengantin (Kemenag RI, 2017)