Mubadalah.id – Mendengar kata bidadari surga apa yang ada dalam pikiran anda? Seorang perempuan dengan kecantikan yang sempurna, bermata jelita, terpelihara serta gambaran kenikmatan seks yang paripurna. Ya, mungkin begitulah gambaran sederhana yang muncul di benak seseorang ketika mendengar kata bidadari surga.
Atau jika kebetulan anda seorang laki-laki, bisa jadi bidadari adalah motivasi anda untuk masuk surga. Jika anda seorang perempuan mungkin anda merasa cemas jika kelak mereka menggantikan posisi anda untuk pasangan. Atau jika anda adalah seorang pengamat isu gender mungkin anda akan bertanya-tanya, apakah di surga ada bidadara untuk perempuan?
Selama ini pembahasan mengenai bidadari surga sepertinya tidak jauh-jauh dari tiga hal tersebut. Namun pernahkah anda meninjau bidadari surga dari segi eksistensinya?
Pemikiran ini sedikit menggelitik saya dan menggerakkan tangan saya untuk menuliskannya. Jika anda penasaran dengan apa yang saya pikirkan,silahkan baca tulisan ini sampai habis.
Standar Perempuan Ideal
Seringkali penggambaran bidadari surga baik itu dalam teks agama, atau dalam imajinasi kita sendiri, membuat kita berfikir bahwa gambaran sosok perempuan ideal adalah seperti bidari surga. Baik secara fisik, psikologis atau sosialnya.
Misalnya perempuan yang cantik adalah yang bermata indah dan berkulit putih bersih. Perempuan yang baik (baca sholehah) adalah perempuan yang menundukkan pandangan dan hanya melihat suaminya, yang hanya tinggal dan terpingit di rumahnya. Terlebih yang rela dipoligami (satu lelaki dijanjikan 70 bidadari)
Begitulah kira-kira kriteria wanita sholehah versi mainstream banyak orang, khususnya dalam prespektif pengalaman laki-laki. Namun kita melupakan bahwa pada hakikatnya perempuan di dunia bukanlah bidadari surga. Lantas, masih relevan kah kita membuat standar-standar wanita salehah versi bidadari surga.
Perempuan adalah Manusia
Perempuan adalah manusia utuh, ia juga merupakan subyek penuh. Mereka bukan barang yang bisa dimiliki, diatur sesuka hati, atau ditinggalkan jika sudah usang. Perempuan adalah manusia yang juga memiliki hak dan kewajiban. Sehingga mereka berhak membuat pilihan serta bertanggung jawab atas apa yang mereka pilih. Perempuan juga manusia yang punya akal, hati dan nafsu.
Sedangkan bidadari, dia bukanlah manusia. Tapi bagian dari kenikmatan surga yang dijanjikan untuk manusia. Oleh karena itu gambaran bidadari yang dalam kitab suci, pasti berbeda jauh dengan manusia pada umumnya. Dalam hal ini bidadari digambarkan dengan fisik perempuan, tapi dengan kelebihan-kelebihan khusus yang tidak dimiliki perempuan.
Penciptaan, Misi dan Tugas yang Berbeda
Dalam redaksi Al-Qur’an laki-laki dan perempuan diciptakan dari jiwa yang satu (nafs wahidah) sedangkan tubuhnya dari substansi tanah. Sementara bidadari surga menurut sebagian ulama, diciptakan dari zaffaran (sejenis kunyit).
Dalam proses kejadiannya manusia mengalami berbagai tahapan embriologi (alaqah, mudghah, izaman), kemudian fase anak-anak, remaja, dewasa, hingga lansia. Sedangkan bidadari menurut beberapa mufasir diciptakan sudah dalam bentuk seorang gadis dan tidak mengalami proses embriologi maupun penuaan. Dari substansi dan proses penciptaan saja, perempuan dari golongan manusia sangat berbeda dari perempuan golongan bidadari
Tidak hanya itu, misi penciptaan dan tugas yang mereka emban, keduanya juga sangat berbeda jauh. Perempuan dari golongan manusia mengemban dua misi utama di dunia. Yaitu sebagai Khalifah serta sebagai hamba Allah. Menurut Faqihuddin Abdul Kodir, misi kekhalifahan menuntut adanya kesalingan antara laki-laki dan perempuan untuk bekerjasama dalam menghadirkan kebaikan dan memakmurkan bumi.
Adapun misi kehambaan menuntut pengakuan keesaan Allah sebagai satu-satunya dzat yang patut kita sembah secara mutlak (tauhid). Memproklamasikan tauhid berarti menyatakan dua hal besar yaitu mengakui keesaan Allah dan mengakui kesetaraan manusia di hadapan-Nya. Dalam hal ini harusnya perempuan memiliki relasi yang setara dengan laki-laki sebagai hamba Allah.
Sedangkan penciptaan bidadari adalah bagian dari kenikmatan surga. Sebagai nikmat maka bidadari bertugas menyenangkan pasangannya. Untuk tujuan kesenangan inilah bidadari digambarkan sedemikian rupa sebagai sosok yang memiliki berbagai pusat kesenangan pasangannya. Dalam sistem patriarki misalnya menjadi lazim bahwa sumber kesenangan ada pada tubuh perempuan sebagai objek seksual.
Biologis dan Psikologis yang Berbeda
Bidadari surga dalam narasi teks agama mamang diciptakan dalam bentuk perempuan. Namun memiliki spesifikasi yang berbeda dari perempuan golongan manusia. Misalnya secara fisik penampakan tubuh bidadari sesuai dengan redaksi Al-Qur’an (mata jelita, bertubuh montok, putih bersih seperti telur dll), sedangkan perempuan dari kalangan manusia, secara fisik tubuhnya mengikuti genetic keluarga.
Secara psikologis keduanya juga sangat berbeda, yang mana alasannya lagi-lagi terkait misi dan tugas yang mereka emban. Bidadari memiliki naluri setia dan suka melayani pasangannya. Ia juga tidak memiliki kecemburuan sosial, yang berpotensi menyulitkan pasangannya.
Hal ini tentu berbeda dengan perempuan dari golongan manusia yang memiliki akal, hati dan nafsu Dengan tiga hal tadi, perempuan berpotensi melakukan kebaikan, kejahatan, ataupun konflik dengan sesamanya.
Relasi yang Berbeda
Sebagai bagian kenikmatan surga, bidadari berada dalam posisi subordinat, karena ia memang diciptakan untuk menyenangkan dan melayani pasangannya . Namun yang perlu saya tekankan kembali bahwa perempuan bukan bidadari surga. Perempuan memiliki misi kehambaan dan kekhalifahan yang sama dengan laki-laki. Oleh karena itu posisi perempuan dan laki-laki harusnya setara.
Perempuan Bukan Bidadari Surga
Dengan berbagai perbedaan di atas maka jangan berharap jika perempuan atau pasangan anda akan bersikap dan berpenampilan layaknya bidadari surga. Misal selalu menuruti kemauan anda, tidak melihat kepada selain anda, berdiam diri di rumah, apalagi rela anda duakan. Jika anda masih mengkhayal demikian, maka anda berpotensi besar untuk kecewa dan tentu akan menyakiti mereka.
Maka janganlah menjadikan bidadari surga sebagai standar ideal perempuan. Karena Perempuan bukan bidadari surga. Mereka juga bukan pelayan pasangannya. Tapi mereka adalah manusia dan hamba dari Tuhannya.
Dari Jenis yang Sama
Sebelum menutup tulisan ini, saya ingin sedikit menyitir QS. Ar-Rum ayat 21 yang sering kita temukan dalam undangan pernikahan
وَمِنْ اٰيٰتِهٖٓ اَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِّنْ اَنْفُسِكُمْ اَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوْٓا اِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَّوَدَّةً وَّرَحْمَةً ۗاِنَّ فِيْ ذٰلِكَ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّتَفَكَّرُوْنَ
“Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.”
Ingat baik-baik kata مِّنْ اَنْفُسِكُمْ , bahwa pasangan kita adalah dari jenis yang sama dengan kita. Ia adalah manusia. Maka ia juga sama seperti kita yang sering berbuat kesalahan dan tidak sempurna. Maka jangan cari kesempurnaan dalam diri pasangan kita. Tapi lengkapilah ketidaksempurnaan itu. Dengan demikian semoga relasi kita dapat mencapai predikat sakinah, mawadah dan rahmah dalam ayat tersebut. []