Mubadalah.id – Dialektika tentang bidadari surga dalam narasi teks agama, khususnya menggunakan prespektif perempuan menjadi sebuah polemik tersendiri yang seakan tidak ada habisnya. Lantas, apakah kita akan menyalahkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang bidadari surga sebagai problem? Atau jangan-jangan cara pandang kita sendirilah akar masalahnya.
Obyektifikasi Perempuan dalam Teks Agama
Narasi bidadari surga yang sering kita dengar adalah tentang sosok perempuan yang ideal dan menyenangkan laki-laki. Gambaran bidadari surga yang kita kenal selama ini adalah sosok perempuan suci (tidak haid, nifas atau mengeluarkan kotoran), bermata indah, menundukkan pandangan, berparas cantik, bertubuh molek, sebaya, terpinggit, dan eksklusif hanya untuk pasangannya.
Begitulah kira-kira narasi bidadari surga dalam Terjemah Al-Qur’an. Narasi demikian berpotensi memunculkan pemahaman perempuan sebagai objek seksual untuk menyenangkan laki-laki. (Jika dibaca secara tekstual).
Apakah narasi dan terjemahan Al-Qur’an tersebut salah? Tentu saja tidak, jika kita membacanya secara kontekstual. Ayat-ayat tersebut turun dalam konteks Arab jahiliyah yang sangat patriarkis. Justru narasi yang demikian membuat dakwah Islam mudah diterima karena mengakomodasi budaya masyarakat. Namun apakah semangat patriarkis tersebut yang coba Islam bawa? Mari kita lihat beberapa konteks ayat berikut.
Konteks Sosial yang Melingkupinya
Kuatnya budaya patriarkis membuat poligami saat itu adalah hal yang lumrah, kemudian Islam datang untuk membatasi dan mengkritiknya (QS.An-Nisa’: 4). Atau kebiasaan prostitusi terhadap budak perempuan, lalu Islam melarangnya (QS. An-Nur 33). Termasuk larangan keras berzina (QS.Hujurat: 32) juga perintah untuk menikahi atau menceraikan perempuan dengan baik (QS. Al-Baqarah: 229)
Pada periode awal dakwah Islam berbagai aturan tersebut sangat berat (dari prespektif laki-laki). Kebiasaan laki-laki untuk bermain perempuan atau memperlakukan perempuan sekena hati, menjadi sangat terbatas. Oleh karena itu, sebagai ganti (baca iming-iming) mereka untuk mengikuti ajaran Islam adalah dengan tidak benar-benar menghilangkan kesenangan tersebut, tapi hanya menangguhkannya di akhirat. Jawabannya jelas dengan imajinasi bidadari surga sebagai perempuan jelita.
Tafsir Progresif
Meminjam konsep Nur Rofi’ah tentang tafsir progresifnya. Ia mengungkapkan bahwa Islam merupakan sebuah proses. Prinsipnya Islam merupakan rahmat bagi alam semesta, termasuk bagi perempuan. Nur Rofiah mengklasifikasi ayat-ayat Al-Qur’an tentang perempuan menjadi tiga kategori sebagai tahapan.
Yang pertama adalah “Titik berangkat”. Ini adalah tahapan awal sebagai pintu masuk, masih berbau patriarkis. Sebagai bentuk respon Al-Qur’an terhadap budaya setempat. Saya memahaminya sebagai strategi dakwah, untuk menarik perhatian audiensnya. Di antaranya adalah ayat-ayat tentang perhiasan dan bidadari surga.
Tahap berikutnya adalah “Target antara”. Pada tahap ini Al-Qur’an mulai menunjukan revormasinya untuk mengikis budaya patriarkis dan memanusiakan perempuan. Seperti aturan adanya bagian perempuan dalam waris. yang mana sebelumnya perempuan justru diwariskan.
Atau pembatasan poligami hanya empat dengan syarat adil, yang mana sebelumnya tidak terbatas dan bebas. Juga ketentuan tentang persakisan perempuan, dimana sebelumnya perempuan sangat tidak didengar suaranya. Termasuk juga aturan zihar, ila dan hijab, den tentu masih banyak lagi.
Adapun tahap yang terakhir adalah “Tujuan Final”. Dalam tahap ini Al-Qur’an menunjukan sisi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam banyak hal. Seperti ayat tentang ketaqwaan pada QS. Hujurat: 13, kesempatan untuk beramal shalih pada QS. Al-Ahzab: 35, QS. Ali Imran: 195 juga tentang persaksian lian antara laki-laki dan perempuan yang sebanding.
Tiga tahapan di atas menunjukan bahwa ayat-ayat dan hukum yang turun merupakan sebuah proses. Proses yang secara bertahap mampu mendegradasi budaya patriarki dan berhasil memanusiakan perempuan. Adanya tafsir progresif tersebut sedikit banyak membantu kita untuk tidak melangengengan budaya patriarki, terlebih dengan mengambil legitimasi ayat-ayat Al-Qur’an.
Sindiran Al-Qur’an dengan Narasi Bidadari Surga
Membahas tentang bidadari surga, saya jadi ingat salah satu nasehat guru saya yang juga menekuni disiplin Ilmu Tafsir. Ia mengatakan bahwa sebenarnya Al-Qur’an secara halus telah menyindir manusia dengan menggunakan narasi bidadari surga. Tepatnya pada Surah Waqiah yang banyak kita baca untuk kelapangan rezeki.
Pada surah tersebut dijelaskan bahwa kelak akan ada dua golongan manusia yang beruntung dan masuk surga. Yang pertama adalah golongan ashab allil yamin, dan yang kedua adalah golongan muqarabin. Untuk golongan ashabil yamin disebutkan berbagai kenikmatan surga dalam bentuk fisik yang dapat kita bayangkan. Termasuk nikmat bidadari surga dengan berbagai kelebihannya.
Hanya saja untuk golongan muqarabin, yang menurutnya memiliki derajat lebih tinggi, penjelasanya hanya satu ayat saja yaitu
فَاَمَّآ اِنْ كَانَ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَۙ فَرَوْحٌ وَّرَيْحَانٌ ەۙ وَّجَنَّتُ نَعِيْمٍ
“Jika dia (orang yang mati) itu termasuk yang didekatkan (kepada Allah), dia memperoleh ketenteraman, rezeki, dan surga (yang penuh) kenikmatan”
Kenikmatan bagi golongan muqarabin adalah kenikmatan spiritual yang tidak bisa tergambarkan. Dan ini adalah kenikmatan tertinggi bagi ahli surga yang harusnya menjadi orientasi utama manusia. Bukan sekadar kenikmatan fisik belaka seperti mendapat bidadari. []