Mubadalah.id – Sejak pemerintah Israel memborbardir Gaza secara membabi-buta, dalam beberapa kesempatan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu terus-menerus mencoba mencari justifikasi dari publik untuk membenarkan tindakannya.
Bahkan beberapa waktu lalu, ia sempat berpidato dengan mengutip sejumlah ayat kitab suci dengan menyamakan rakyat Palestina sebagai “Amalek”. Sehingga penyerangan kekerasan Israel kepada Palestina sejatinya adalah upaya perjuangan seumur hidup umat Yahudi untuk memerangi iblis yang ia kaitkan dengan Amalek tersebut.
Kisah Umat Yahudi dan Amalek
Tema “menghancurkan Amalek” yang Netanyahu sebutkan ia artikan sebagai upaya untuk mendapat dukungan dari Sang Ilahi untuk memusnahkan Amalekites (simbol keburukan). Di mana saat ini ia artikan bersemayam dalam tiap warga Palestina.
Lalu, apa dasar dari basis dukungan politik Netanyahu? Mengapa ia sengaja menyitir teks-teks kitab dengan ceroboh untuk mendapatkan dukungan politik?
Referensi pertama dalam Alkitab tentang permusuhan antara suku-suku Ibrani dan orang Amalek, yang mungkin lebih bersifat mitos daripada sejarah. Hal ini dapat kita temukan dalam kitab Keluaran (17:8-16). Pasal ini merujuk pada bentrokan antara suku Amalek dan suku-suku Ibrani yang meninggalkan Semenanjung Sinai dan memasuki Kanaan.
Musa memerintahkan kepala orang kepercayaannya, Yosua, untuk memimpin pertempuran sementara Musa berdiri di atas sebuah bukit mengangkat tangan-Nya seperti yang ia lakukan saat perairan terbelah dan bangsanya menyeberangi Laut Merah di tanah kering. Singkat cerita, pasal ini berakhir dengan kalimat, “TUHAN akan berperang melawan Amalek dari generasi ke generasi.”
Kutipan ayat dari Al Kitab tersebut yang Netanyahu gunakan untuk membenarkan tindakan penyerangannya kekerasan Israel kepada rakyat Palestina. Di mana yang menjadi pertanyaan kemudian adalah mengapa Netanyahu mengutip ayat Al Kitab?
Tameng Agama dalam Tindak Kekerasan
Jawaban sederhananya adalah ia memerlukan dukungan sosial politik di luar kaum Yahudi. Dengan mengutip ayat dari kitab suci, Netanyahu ingin menegaskan bahwa peperangan yang ia lakukan sejatinya adalah amanat kitab suci yang telah termaktub bertahun-tahun lampau. Sehingga, pembunuhan rakyat sipil dapat termaklumi.
Di sisi lain, apa yang Netanyahu sampaikan bertujuan untuk memperkuat basis dukungan Netanyahu yang bersumber dari gerakan Kristen Zionis internasional. Di mana situasi ini sedang naik daun di bagian bumi Selatan, Asia Tenggara, dan Amerika Utara. Dengan begitu, Netanyahu dapat mengandalkan teman-temannya ini untuk memberikan dukungan politik, ekonomi, dan media meskipun popularitasnya merosot drastis di dalam negeri dan di luar negeri.
Terlebih Netanyahu saat ini mengalami demo besar-besaran di Israel. Ia terlibat dalam sejumlah skandal korupsi dan suap yang melibatkan sejumlah investor asing, yang di antaranya berasal dari Amerika Serikat dan Australia.
Tidak hanya itu, anak laki-laki Netanyahu sendiri mendapatkan perlakuan istimewa. Ia tidak menjalani wajib militer, dan ketika banyak pemuda Israel diminta untuk terjun ke medan perang di Gaza, anaknya menikmati hidup yang nyaman di Florida, Amerika Serikat.
Kondisi tersebut lantas membuat muak rakyat Israel, terutama kaum mudanya. Beberapa waktu lalu, rumah Netanyahu bahkan sempat dihadang ratusan demonstran yang memintanya untuk mundur.
Mengetahui hal ini, Netanyahu yang sadar bahwa popularitasnya menurun di dalam negeri terus berupaya untuk mengalihkan perhatian publik dengan melancarkan strategi perang. Taktik ini ia harapkan dapat mengalihkan isu korupsi dan suap yang terus dihadapkan padanya.
Tak heran, untuk memuluskan taktik politik itu Netanyahu tak segan untuk mengutip ayat suci. Strategi yang sejauh ini berhasil memperdaya banyak umat Kristiani yang kurang memahami akar masalah Israel dan Palestina.
Penyalahgunaan Agama untuk Kepentingan Politik
Dampaknya sesaat setelah seruan perang Netanyahu ke Gaza dengan mengutip ayat Al Kitab, sebuah surat dukungan untuk perang Israel di Gaza dikeluarkan oleh 60 pemimpin evangelical konservatif di Amerika Serikat. Termasuk dua mantan presiden Ethics and Religious Liberty Commission – Russell Moore, yang sekarang menjadi editor Christianity Today, dan Richard Land.
Beberapa pendeta dari Southern Baptist Convention, denominasi Kristen evangelical terbesar di Amerika Serikat, menandatangani surat tersebut. Banyak dari para pendukung, meskipun tidak semua, menganut mentalitas perang “menghancurkan Amalek.”
Sementara yang lain mengacu pada teori perang untuk mewujudkan keadilan. Surat tersebut tersampaikan ke Gedung Putih dan setiap kantor Kongres di Capitol Hill, memberikan dukungan untuk agresi Israel terhadap Gaza.
Meski sejumlah pemimpin umat Kristen memberikan dukungannya kepada Netanyahu, banyak pastor yang justru melihat tindakan Netanyahu sebagai penyalahgunaan agama untuk kepentingan politik. Mereka memahami bahwa dalam ajaran Kristiani tidak pernah membenarkan pembunuhan atau kekerasan terhadap individu atau kelompok lain.
Kristen mengikuti ajaran Yesus Kristus yang menekankan kasih, perdamaian, dan belas kasih terhadap sesama. Sehingga pengutipan ayat kitab suci secara serampangan dengan dalih melakukan tindak kekerasan terhadap manusia lain justru merupakan pelecehan besar terhadap ajaran agama itu sendiri. []