Mubadalah.id – Selama 13 tahun lamanya, Nabi Muhammad Saw menawarkan gagasan profetik – humanis. Beliau menyerukan kaum beliau di Makkah untuk beriman kepada Allah Swt.
“Hai manusia, hanya Tuhan saja yang seharusnya kalian sembah, yang kalian agungkan, bukan yang lain,” sabda beliau setiap saat.
Sejumlah orang mengikuti seruan beliau, tetapi masih lebih banyak lagi yang menentang beliau. Kehadiran nabi dengan gagasan monoteisme itu telah mengganggu ketenangan tradisi, mengancam kekuasaan status quo.
Maka, penindasan demi penindasan terhadap nabi dan pengikut beliau terus berlangsung, setiap hari, setiap saat. Dan dengan segala cara: merayu, mengancam, teror, kekerasan fisik, sampai politik isolasi.
Menjelang tahun ke-13 misi profetik Nabi Muhammad Saw, para penentang sudah kehabisan akal dan kehilangan cara untuk menghentikan gerakan dakwah nabi.
Di Darun Nadwah, semacam balai sidang/musyawarah mereka berembuk. Suara ingar-bingar dan meledak-ledak penuh emosi memenuhi ruang itu. Berbagai usulan muncul.
Keputusan akhir kemudian diambil: Muhammad harus dibunuh malam hari secara beramai-ramai. Jika klan Muhammad menuntut darahnya, mereka akan patungan untuk memberinya tebusan.
Namun, Jibril segera hadir di kamar nabi dan membisiki soal rencana pembunuhan itu. Syaikh Yusuf an-Nabhani mengungkapkan peristiwa ini dalam puisi na’tiyah-nya:
Dan karena makar mereka, Jibril datang
Mereka gagal total
Dan politisi cerdas mereka hilang akal.
Tuhan segera mengizinkan beliau hijrah ke Yatsrib (kini bernama Madinah). Nabi sendiri merasa begitu berat meninggalkan tanah kelahiran beliau itu.
Namun, nyawa manusia begitu berharga. Beliau selalu menyaksikan betapa banyak nyawa dan derita sahabat-sahabat beliau yang terancam karena mengikuti beliau.
Beliau ingin agar tak ada lagi nyawa melayang sia-sia dan agar mereka tak lagi menderita. Perjuangan masih panjang. Beliau harus meninggalkan Kota Makkah demi keselamatan jiwa-jiwa itu. Lebih dari itu, adalah menyelamatkan kebebasan, keimanan, dan menyebarkan risalah Tuhan yang universal dan mahapenting. []