Mubadalah.id – Setiap tahun kita memperingati hari besar bagi para perempuan yakni International Women’s Day (IWD) atau Hari Perempuan Internasional seluruh dunia merayakannya setiap 8 Maret. Pada hari ini tentu menjadi kesempatan bagi para perempuan berkumpul merayakan pencapaian. Mulai dari aspek politik, sosial hingga keadilan hakiki, dengan misi utama untuk menyerukan kesetaraan gender dan melawan patriarki
Mereka bersemangat memperjuangkan haknya sebagai perempuan. Tanpa ada afiliasi dengan kelompok politik tertentu banyak dari mereka yang turun aksi ke jalan, membuat diskusi untuk melawan stigma bahwa perempuan di bawah laki-laki itu salah.
Dalam setiap aksi tersebut berangkat dari kesadaran murni para perempuan yang kemudian mampu menyatukan perempuan dari seluruh jenis profesi. Lalu dikemas dalam aksi unjuk rasa, penampilan karya seni, orasi, dan pawai.
Lelaki Sadar dan Ikut Melawan Patriarki
Patriakisme kita definisikan sebagai budaya yang memandang lelaki lebih unggul, kuat, dan mendominasi segala aspek. Paham ini juga menanggapi bahwa perempuan di bawah laki-laki dan terlihat mereka itu lemah.
Iya saya sebagai kaum lelaki yang sadar diri akan pentingnya kesetaraan, tentu patriakisme menjadi budaya yang harus juga kita ikut melawan.
“Loh kenapa? Bukannya Patriarki justru menguntungkan lelaki, karena akan mendominasi dan mengatur perempuan seenaknya?
Tidak, ya tidak begitu justru ketika membiarkan Patriarki tumbuh subur di dalam kehidupan, misalnya berumah tangga ya akan menimbulkan ketidakadilan dan kesetaraan juga tidak akan tercipta.
Sebagai contoh nyata bahwa lelaki ikut melawan patriakisme. Ketika hari di mana RUU TPKS belum juga di sahkan, banyak massa dari kaum lelaki itu ikut menyuarakan turun ke jalan. Mereka menuntut DPR segera sahkan UU TPKS dan jalan terjal itu tercapai.
Setelah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI resmi mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi undang-undang melalui rapat paripurna, Selasa (12/04), setelah enam tahun terus dibahas dan jadi polemik di Senayan.
Dalam kasus tersebut, kaum lelaki yang sadar tidak diam, mereka ikut menyuarakan kepentingan kaum perempuan. Di mana kita tahu bersama UU TPKS bertujuan untuk memastikan korban kekerasan seksual mendapatkan perlindungan, keadilan hukum, dan hak pemulihan sebagai korban kekerasan seksual.
Melepaskan Stigma Patriarki Kepada Para Kaum Perempuan Dalam Tugas Rumah Tangga
Ya tidak asing lagi dengan anggapan bahwa semua pekerjaan yang ada dalam rumah tangga sangatlah beragam. Mulai mengatur keuangan memasak, kepiawaian belanja dengan menyesuaikan selera masing-masing anggota keluarga. Selain itu menjaga kebersihan dan keasrian lingkungan rumah, mendidik anak, serta keperluan lain. Semua hal itu menjadi sebuah hal yang mutlak perempuan kuasai.
Sedangkan untuk laki-laki, mereka hanya dituntut untuk bekerja mencari nafkah. Laki-laki yang mana pemimpin keluarga merasa bukanlah kewajibannya melakukan pekerjaan rumah.
Jika melihat sejarahnya memang peran perempuan sejak dahulu lebih dominan pada pekerjaan domestik. Sedangkan laki-laki lah yang keluar rumah mencari pundi-pundi uang. Hal ini merupakan hal yang wajar jika memang ada pembagian tugas yang tersepakati.
Namun dalam praktiknya banyak perempuan yang dituntut bekerja untuk menambah penghasilan suami sembari menanggung beban pekerjaan rumah. Namun bagaimanapun juga, hal ini tidak berarti laki-laki tidak perlu memiliki kemampuan dalam melakukan pekerjaan domestik.
Kaum lelaki yang sadar juga sebenarnya wajib ikut membantu keperluan rumah, seperti mencuci, memasak tidak melulu dilakukan perempuan. Ada kala mereka lelah, sakit, sebagai kaum lelaki harus bertindak selain jadi kepala rumah tangga juga melayani istri.
Itu jadi cerminan bahwa bukan hanya stigma bahwa budaya patriarki melekat pada lelaki saja. Di sisi lain ada hal yang memang lelaki pun harus berjuang untuk kesetaraan. Dengan kesadaran bahwa kesetaraan akan menciptakan keadilan yang hakiki.
Kesetaraan Gender dalam Al-Qur’an dan Hukum
Banyak yang berkata bahwa agama menjadi salah satu faktor budaya patriarki ini kental tertanam pada kehidupan manusia. Namun, apakah patriarki merupakan hal yang benar menurut agama?
Sebagaimana tertuang dalam Al-Quran Surah Al-Baqarah ayat 30 yang menyebutkan “Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.”
Khalifah pada surat tersebut bermakna menggantikan Allah dalam menegakkan kehendak-Nya. Al-Zamakhsyarî menafsirkan makna khalifah pada surah ini tidak hanya berarti Adam (mewakili laki-laki).
Senada dengan argumen tersebut, Quraish Shihab dalam Tafsir al-Mishbah menyebutkan bahwa yang dimaksud makhluk yang diberi tugas adalah Adam dan anak cucunya.
Dalam Al-Quran sendiri pun tidak memberi petunjuk bahwa khalifah hanya ditujukan kepada kaum laki-laki. Dalam ajaran Islam, terdapat empat sifat yang harus dimiliki seseorang dalam melaksanakan kepemimpinan, yakni berkata dan berbuat yang benar, dapat dipercaya, cerdas, dan tidak menyembunyikan sesuatu.
Perempuan Berdaya Melawan Stigma
Sudah banyak contoh bahwa perempuan dalam hal ini mampu menjadi pemimpin, saya ambil satu yang menginspirasi negeri yakni kata-katanya begini “Perempuan mencakup separuh populasi dunia. Karena itu, perempuan adalah bagian tak terpisahkan dari solusi dan agen perdamaian yang efektif,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi.
Ya Menteri Retno salah satu perempuan hebat, tangguh dan pemimpin garda terdepan hubungan Indonesia dengan negara lain.
Melansir dari kemenlu.go.id ada tiga misi besar perempuan sebagai pemimpin dan agen perdamaian yakni:
Untuk itu, ada tiga hal yang perlu didorong. Pertama, membangkitkan kembali pemahaman mendasar mengenai partisipasi perempuan. Memberdayakan dan merangkul perempuan tidak boleh kita lihat sebagai beban, tetapi harus kita lihat sebagai investasi, yang harus menjadi standar global.
“Pemberdayaan dan partisipasi perempuan di sektor ekonomi, sosial, dan politik akan memperkuat ketahanan masyarakat dan berkontribusi bagi perdamaian. Ini saya saksikan sendiri, termasuk melalui kontribusi positif personel perempuan dalam misi perdamaian di lapangan,” kata Retno.
Kedua, mendorong kepemimpinan perempuan dalam proses perdamaian. Data menunjukkan bahwa partisipasi perempuan memperbesar peluang tercapainya perundingan damai. Namun pada kenyataannya, perempuan justru kurang terwakili dalam proses perdamaian dan sering kali tidak terbekali kemampuan menjalankan peran dalam situasi konflik.
“Oleh karena itu, kita harus berinvestasi lebih besar, termasuk di sistem PBB, guna memastikan lingkungan yang aman dan kondusif bagi perempuan agar mereka sukses berperan dalam proses perdamaian global,” kata Retno.
Ketiga, memajukan pendidikan bagi perempuan. Pendidikan berperan kunci dalam meningkatkan peran perempuan di masyarakat. Namun demikian, lebih dari 80% perempuan usia sekolah di Afghanistan tidak bersekolah. Ini sangat mengkhawatirkan. Pendidikan inklusif menjadi fondasi penting untuk masa depan Afghanistan yang lebih baik.
Dan tiga point itu juga memerlukan dukungan dari kaum lelaki, jadi untuk dunia yang adil dan setara, baik perempuan atau lelaki harus sama-sama sadar menciptakan perdamaian. []