Mubadalah.id- Pembahasan film ipar adalah maut dari segala penulis sudah banyak bertebaran di media sosial hingga website mubadalah.id. Penjelasan mengenai relasi dengan ipar baik perempuan maupun laki-laki yang seharusnya juga sudah banyak dibahas. Permasalahan seperti ini juga bukan hal baru, tetapi ketika ada keberanian dari salah satu pihak, maka keberanian lain semoga akan muncul.
Kisah Nyata Seorang Followers
Kisah dalam film merupakan cerita nyata yang awalnya berbentuk cerita berseri melalui Tiktok. Melalui akun @Elizasifaa yang pertama membagikan kisah ini dibagikan, kisah yang ia dapat dari salah satu followersnya. Ceritanya yang menarik perhatian kemudian diangkat menjadi film dengan Hanung Bramantyo sebagai sutradaranya.
Inti dari cerita dan jalannya film mungkin sudah banyak kalian ketahui. Pemahaman terkait bahayanya ipar dalam keluarga pasti juga membuat kalian overthinking sejenak setelah menonton film ini. Kisah serupa juga bisa saja dialami oleh orang lain. Saya sendiri berharap banyak yang sudah sadar dan berani mengambil sikap, walau kata memang tak semudah realita.
Tetapi, ada salah satu hal menarik yang saya dapatkan dari kisah ini. Eliza selaku pencerita pertama ketika wawancara melalui salah satu podcast mengatakan beberapa fakta yang membuat saya berpikir keras. Dalam ceritanya, Rani selaku adik kandung dari Nisa dalam kehidupan aslinya tidak merasa bersalah. Bahkan ketika keluarganya melakukan proses mediasi, Nisa tidak pernah mengucapkan kata maaf.
Kisah yang Berbeda dari Film
Rani yang saat itu sudah ketahuan pun tidak merasa bersalah akan apa yang telah ia lakukan. Rani malah kabur ketika mediasi sudah berlangsung, dan meninggalkan ibu dan kakaknya yang sudah ia kecewakan. Ketika ibunya sakit pun, dia datang dan mengurusnya setengah hati. Bahkan ketika ibunya meninggal dunia ia masih sempat untuk menggoda Aris, selaku suami Nisa saat itu.
Bagi saya, yang juga punya saudara perempuan dan memang belum merasakan langsung dinamika kehidupan rumah tangga pasti menjadi sangat aneh dengan sikap Rani ini. Dan ternyata memang, Rani sendari kecil selalu dibandingkan dengan Nisa sang kakak. Ibunya juga sangat sayang kepada Rani, dan merasa gagal mendidik anaknya hingga ia meninggal dunia.
Kasih sayang orang tua pada anak pastinya hal yang lumrah. Semua orang tua pasti akan memberikan yang terbaik untuk anaknya. Dalam segi pendidikan, kesehatan, kasih sayang dan lain sebagainya. Bahkan, setelah mendengar tangisan pertamanya orang tua langsung menyampaikannya semua doa-doa dan rasa syukurnya.
Kembali lagi pada permasalahan yang Nisa dan Rani alami. Rani merasa dari dulu kakaknya selalu memperoleh banyak sanjungan. Dia di banding-bandingkan dengan pencapaian kakaknya. Rasa sayang ibunya pada Rani pun begitu besar, perbedaan pengalaman anak pertama dan anak bungsu pasti berperan penting dalam hal ini.
Membedakan sikap pada anak mungkin tidak terlalu orang tua sadari. Kasih sayang yang ingin mereka berikan pastinya sama saja. Tetapi sedikit banyak ada perbedaan yang mungkin pengaruh dari faktor usia, pengalaman, hingga faktor lingkungan.
Selain itu, ketika lingkungan sekitar juga memberikan penilaian yang berbeda antar keduanya. Kenapa adikmu bisa ini kamu gak? Kenapa kakakmu lolos ujian ini kamu gak? Bisa jadi pertanyaan yang membuat anak merasa dibandingkan.
Lalu bagaimana seharusnya orang tua bersikap?
Orang tua harusnya bersikap adil untuk anak-anaknya. Mereka tidak boleh memprioritaskan salah satu anaknya dari segi perhatian. Sama halnya dengan ucapan Rasulullah bahwa “Bertakwalah kepada Allah. Bersikaplah adil terhadap anak-anakmu”.
Adil tersebut dapat saja bermakna ganda, pemahaman terkait keadilan adalah subjektif. Tetapi dengan usaha tidak membandingkan prestasi, kebanggaan tertentu, ataupun sifat anak dengan saudara lainnya dapat orang tua lakukan.
Kesadaran ini pastinya sudah banyak orang tua miliki, tetapi praktik yang ada pasti tak semudah itu. Dari film ipar adalah maut kita dapat belajar banyak hal bahwa pastinya tidak ada asap pekat tanpa adanya api yang membara. []