Mubadalah.id – Beberapa waktu lalu, masyarakat heboh dengan viralnya video penganiayaan Fay, anjing penjaga yang dilakukan seorang satpam Plaza Indonesia. Lini media sosial pun terpenuhi dengan kemarahan sekaligus penyesalan atas aksi kekerasan yang satpam lakukan, lalu kita ketahui bernama Nasarius.
Banyak pihak menghujat hingga mendesak agar Nasarius segera dipecat. Desakan itu tersampaikan oleh para pecinta hewan, termasuk beberapa artis dalam sejumlah postingan media sosial mereka.
Viralnya kasus penganiayaan Fay tersebut kemudian disikapi tegas pihak Plaza Indonesia. Secara terbuka, manajemen Plaza Indonesia mengambil tindakan tegas. Tak hanya memecat Nasarius, Plaza Indonesia pun memutus kerjasama dengan perusahaan jasa keamanan tempat sang satpam bernaung.
Menyusul keputusan tersebut, Nasarius pun mengunggah video permintaan maafnya. Sambil menangis, Nasarius mengaku terpaksa memukuli Fay karena ia menerkam seekor anak kucing hingga tewas ketika keduanya tengah berjaga di pelataran Plaza Indonesia.
Pertanyaan Filosofis
Setelah video klarifikasinya tersebar, warga net yang tadinya geram dengan apa yang Nasarius lakukan pun mulai berempati. Sebab gegara video pemukulan tersebut dia mau tak mau harus kehilangan pekerjaannya.
Kasus ini, menurut saya, memancing refleksi moral dan ragam pertanyaan filosofis. Sebenarnya apa yang membuat mereka yang tadinya marah ketika melihat anjing dipukuli oleh Nasarius berubah penilaiannya hanya karena pemukulan tersebut dilakukan untuk menyelamatkan si kucing? Apakah penyiksaan terhadap anjing dibenarkan selama penyiksaan itu dilakukan demi si kucing? Apa perbedaannya?
Sebenarnya setahun yang lalu, saya pernah menuliskan sebuah esai dengan konteks serupa di salah satu pop-media India dengan tajuk ‘The Predation Problem’. Namun dalam ulasan kali ini saya ingin mengajukan pandangan yang sedikit berbeda.
Saya yakin beberapa di antara kita mungkin bertanya, apakah kucing sungguh lebih baik daripada anjing? Ada satu hal yang saya kira relevan untuk menjawab pertanyaan ini. Bagaimana kecenderungan kita dalam memutuskan pilihan-pilihan moral.
Moralitas dan Estetika
Tampaknya, mengapa menyiksa seekor anjing yang ganas kita benarkan demi menyelamatkan kucing yang menggemaskan. Hal ini sangat berkaitan dengan aspek estetika dalam pertimbangan-pertimbangan moral kita. Ini mungkin menjelaskan bahwa seringkali keputusan-keputusan moral kita bukanlah produk logos (akal), melainkan emosi.
Saya percaya bahwa keputusan-keputusan moral sering kali kita arahkan oleh kecenderungan estetika kita. Sekalipun tak ada gagasan atau konsep konvensional tentang apa yang dimaksud dengan keindahan atau kebaikan. Namun tidak dapat kita pungkiri bahwa keindahan sering kali berhubungan dengan nilai-nilai kebaikan, kita cenderung menganggap seseorang baik dari penampilannya.
Meskipun penilaian kita atas keindahan sesuatu dalam detailnya berbeda-beda karena subjektivitas kita mengenai arti kata tersebut. Tetapi kita memiliki kecenderungan estetika yang sama. David Hume pernah mengemukakan hal ini dengan sangat baik dalam bukunya ‘Of the Standard of Taste’:
“Euclid telah menjelaskan setiap kualitas lingkaran, namun dia belum mengungkapkan satu kata pun tentang keindahannya. Alasannya jelas. Kecantikan bukanlah kualitas lingkaran. Ia tidak terletak pada bagian mana pun dari garis yang semua bagiannya berjarak sama dari suatu pusat yang sama. Yang ada hanyalah efek yang dihasilkan oleh gambaran tersebut terhadap pikiran, yang struktur tertentunya membuatnya rentan terhadap sentimen-sentimen tersebut. Sia-sia Anda mencarinya (keindahan) di dalam lingkaran, atau mencarinya, baik dengan indra Anda, atau dengan penalaran matematis, dalam semua sifat-sifat gambar itu.”
Hume menyukai pandangan intersubjektif, yang beranggapan bahwa perspektif kita bisa tumpang tindih karena kita semua memiliki sifat yang kurang lebih sama (hypernymy). Pandangan serupa juga dapat kita ambil dari persoalan etika bahwa baik atau buruknya suatu tindakan tidak terletak pada tindakan itu sendiri, melainkan bagaimana kita memandangnya.
Pandangan Nietzsche
Friedrich Nietzsche tampaknya juga memiliki pandangan yang sama. Dalam ‘Twilight of the Idols’-nya, dia menulis:
“Manusia percaya bahwa dunia itu sendiri penuh dengan keindahan — dia lupa bahwa dialah yang menciptakannya.’ ‘Dia sendirilah yang menganugerahkan keindahan pada dunia — aduh! Hanya kecantikan yang sangat manusiawi, terlalu manusiawi.…”
Singkatnya, Nietzsche menantang pandangan tradisional tentang keindahan sebagai kualitas objektif yang ada secara independen dari persepsi manusia. Ia berpendapat bahwa kecantikan adalah produk ciptaan dan interpretasi manusia dan bukan kualitas bawaan dunia, melainkan sebuah konsep dinamis yang terus berkembang sebagai respons terhadap pengalaman individu dan kolektifnya.
Bagi saya, hal ini merupakan bentuk penolakan kerasnya terhadap gagasan Platonisme tentang keindahan objektif dan transenden yang ada secara independen dari pengalaman-pengalaman profan (duniawi).
Tak dapat kita nafikan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk melabeli sesuatu sebagai baik hanya karena hal itu tampak menyenangkan bagi inderanya. Kita mudah mengisi dunia dengan sebutan ini, tanpa menyadari bahwa persepsi kita tentang kebaikan-keindahan sangat terpengaruhi oleh pengalaman subjektif, nilai, dan bahkan biologis kita sendiri.
Dan pada akhirnya Nietzsche berkata di dalam ‘Thus Spoke Zarathustra’:
“Jika kamu membunuh seekor kecoak, kamu adalah seorang pahlawan. Jika kamu membunuh seekor kupu-kupu, kamu adalah orang jahat. Moralitas pun memiliki standar estetikanya.”
Implikasi pandangan Nietzsche di atas mungkin sama dengan kasus kita dalam tulisan saya kali ini. Bagaimana Nasarius berubah dari seorang penjahat karena menyiksa seekor anjing yang ganas menjadi seorang pahlawan karena menyiksa anjing demi si kucing yang malang. []