Mubadalah.id – Mary Belenky, Blythe Clinchy, Nancy Goldberger, Jill Tarule dari Ferris State University menemukan sebuah teori Womens Ways of Knowing (cara perempuan mengetahui).
Teori ini menurut mereka menjadi cara bagaimana perempuan mengetahui dirinya sendiri. Dalam teori ini, mereka membaginya menjadi lima level, yaitu:
Pertama, diam (silent). Pada tahap ini, perempuan memiliki ketergantungan total kepada orang lain dalam memperoleh pengetahuan. Ia menghayati setiap kata sebagai senjata yang mengancamnya. Kata yang keluar dari pihak lain membuatnya terancam.
Sebaliknya, kata yang dia keluarkan pun bisa berbuah bentakan, tendangan, atau kekerasan lainnya. Perempuan dalam posisi ini tidak punya pilihan lain kecuali diam dan mengerjakan yang pihak lain perintahkan.
Hidupnya bagaikan robot yang bergerak sepenuhnya ditentukan oleh pihak lain. Perempuan dalam posisi ini sebetulnya tidak hanya a silent knower, melainkan a silenced knower, orang yang dibungkam.
Kedua, pengetahuan terterima (Received Knowledge). Pada tahap ini, perempuan menghayati pengetahuan sebagai kebenaran. Mereka menerima pengetahuan dari TV, media sosial, bangku kuliah, majelis taklim, sebagai sesuatu yang ia anggap selalu benar, langsung mereproduksinya.
Dengar langsung share. Tidak ada proses klarifikasi, apalagi refleksi. Ketika menerima informasi bahwa suami boleh memukul istri, lalu hal itu terjadi padanya, maka ia akan melihatnya sebagai sesuatu yang memang wajar ia alami.
Ketiga, pengetahuan subjektif (Subjective Knovledge). Pada tahap ini, perempuan mulai menghubungkan pengetahuan dengan hati dan pengalaman personalnya.
Ketika menerima informasi tentang bolehnya suami memukul istri sebagai ajaran Islam, sedangkan ia meyakini bahwa Islam hanya mengajarkan kebaikan. Maka ja mulai bertanya dalam hatinya: “Mengapa Islam yang mengajarkan kebaikan membolehkan suami memukul istri, bukankah memukul itu menyebabkan orang lain sakit dan itu tidak baik?”
Pada tahap ini, perempuan mulai muncul daya kritisnya. Dia mulai mempertanyakan sesuatu yang menurutnya tidak logis, tetapi dia baru menyimpan pertanyaan tersebut untuk dirinya sendiri.
Procedural Knowledge
Keempat, pengetahuan prosedural (Procedural Knowledge). Pada tahap ini, perempuan mulai menyandarkan pengetahuan pada prosedur objektif dan mulai mengomunikasikan pengetahuan. Dia mulai mencari pendapat lain tentang hal yang sama.
Ketika muncul pertanyaan dalam dirinya tentang sebuah informasi, ia tergerak untuk mencari pendapat lain. Sebuah pengetahuan mulai dibandingkan dengan pengetahuan lainnya. Ketika mendengar penjelasan bahwa suami boleh memukul istri, ia mungkin akan mencari artikel, kitab tafsir, dan Hadis.
Mungkin pula ia mulai mengecek ayat terkait secara utuh, menghubungkan ayat tersebut dengan ayat tentang perkawinan yang sakinah, mawadah, wa rahmah, atau dengan konsep maqashid as-syariah.
Mungkin pula menghubungkan dengan Hadis yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. tidak pernah memukul istri dan Hadis yang melarang memukul perempuan.
Pada tahap ini, perempuan mulai tidak percaya begitu saja kepada sebuah pengetahuan dan mulai tergerak mencari sumber lain, lalu menghubungkan dan mengomunikasikan satu sama lain.
Kelima, pengetahuan kukuh (Constructed Knowledge). Pada tahap ini, perempuan telah berada dalam posisi pengetahuan yang kukuh karena telah melakukan verifikasi atas pengetahuan yang didapatnya. Ia memandang semua pengetahuan secara kontekstual.
Termasuk, ia mulai mengharga strategi subjektif yang menghubungkan pengetahuan dengan pengalaman riil, maupun strategi objektif dengan melihat pengetahuan sebagai pengetahuan.
Keduanya sama-sama penting. Baginya, validitas sebuah pengetahuan tidak lagi tergantung pada kedudukan maupun profesi seseorang, melainkan pada kekuatan argumentasinya.
Pada tahap ini pula, perempuan telah mempunyai alasan kuat atas sebuah pengetahuan yang ia pilih. Misalnya memandang bahwa pemahaman atas QS. an-Nisa 4: 34 yang menekankan bolehnya suami memukul istri tidak lah benar, sebab spirit ayat tersebut justru menjelaskan jangan main pukul kepada istri. []