Karena perempuan dianggap sebagai manusia utuh dan subyek yang setara, keadilan hakiki meniscayakan pertimbangan pada pengalamannya yang bisa berbeda secara biologis dan sosial dari laki-laki.
Mubadalah.id – Perempuan dan laki-laki adalah subyek setara. Keduanya adalah sama-sama hamba-Nya yang dijadikan khalifah di muka bumi. Keduanya adalah manusia yang utuh, dalam kaitannya dengan kebaikan-kebaikan yang harus dihadirkan dalam kehidupan domestik maupun publik, maupun keburukan-keburukan yang harus dihindari dan dijauhkan.
Bahkan, keduanya berhak atas kebaikan dan atas partisipasi aktif dalam mewujudkannya (amar ma’rûf). Begitu pun berhak terhindar dari keburukan dan atas partisipasi aktif dalam menghapuskannya dari kehidupan (nahy munkar).
Fatwa-fatwa KUPI sangat kentara mengadopsi pendekatan mubadalah yang sudah resmi dalam Kongres di Cirebon pada bulan April 2017. Pendekatan mubadalah ini, secara substantif, juga meniscayakan pendekatan keadilan hakiki bagi perempuan, yang juga resmi pada Kongres Cirebon, atas inisiatif Mba Nyai Nur Rofi’ah, yang juga menjadi tokoh kunci bagi gerakan KUPI ini.
Karena perempuan dianggap sebagai manusia utuh dan subyek yang setara, keadilan hakiki meniscayakan pertimbangan pada pengalamannya yang bisa berbeda secara biologis dan sosial dari laki-laki.
Pengalaman Khas
Dalam pendekatan keadilan hakiki, kebaikan yang harus perempuan terima adalah yang berangkat dari pengalamannya yang khas dan bisa berbeda dari pengalaman laki-laki. Sebagai subjek yang setara dan manusia utuh, laki-laki dan perempuan berhak atas segala kebaikan, kemaslahatan, dan kesejahteraan.
Namun, jenis kebaikan yang diterima laki-laki bisa berbeda dari yang diterima perempuan. Begitu pun bentuk kemaslahatan yang didefinisikan bagi perempuan, karena pengalamannya yang khas, bisa berbeda dari yang didefinisikan bagi laki-laki.
Setidaknya, dari perbedaan alat reproduksi, perempuan memiliki lima pengalaman yang tidak laki-laki alami. Yaitu menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui.
Sehingga, kesakitan terkait hal ini, atau kesehatan, dan juga kebaikan mengenai semua hal ini, tidak bisa laki-laki definisikan dan dalam forum-forum yang hanya berisi laki-laki. Melainkan dari pengalaman nyata para perempuan, yang satu sama lain bisa beragam, dan keputusan forum yang harus melibatkan mereka.
Konsep Makruf
Sehingga konsep makruf, misalnya, dalam pendekatan keadilan hakiki, harus memastikan benar-benar baik bagi perempuan dalam melalui lima pengalaman biologis yang khas ini.
Sesuatu tidak bisa dianggap makruf, sekalipun didukung berbagai penafsiran, jika perempuan didiskriminasikan karena lima hal biologis tersebut.
Begitu pun keputusan hukum atau suatu kebijakan tidak bisa dipandang makruf jika menafikan pengalaman khas perempuan yang khas itu. Atau justru hasilnya membuat perempuan, dengan kondisi khas tersebut, tambah sakit dan sengsara.
Pengalaman lain adalah kondisi sosial yang dalam ribuan tahun perempuan mengalami stigmatisasi (pelabelan negatif), subordinasi (tidak dianggap penting dalam sistem kehidupan), marjinalisasi (peminggiran dari sistem keputusan), beban ganda antara domestik dan publik, serta kekerasan, baik fisik, psikis, seksual maupun yang lain.
Sesuatu kita anggap makruf, misalnya, adalah jika mempertimbangkan pengalaman sosial perempuan yang rentan terhadap lima bentuk ketidakadilan ini. Sehingga yang mereka putuskan harus mampu mentransformasikan kondisi perempuan menjadi manusia dengan martabat mulia. Bahkan sebagai pusat kehidupan sebagaimana laki-laki, terlibat dalam perumusan keputusan dan kebijakan, berbagi beban dengan pasangan. Juga terbebas dari segala bentuk kekerasan.
Semua fatwa KUPI adalah terang benderang, dengan pendekatan keadilan hakiki, mengupayakan transformasi sosial ini. Serta mendorong agar perempuan tidak didiskriminasi ketika mengalami pengalaman biologis tersebut dan berupaya menghapuskan segala bentuk ketidakadilan gender. []