Mubadalah.id -Masyarakat Indonesia memperingati hari ibu setiap 22 Desember. Peringatan ini berakar dari Kongres Perempuan Indonesia I yang berlangsung pada 22-25 Desember 1928. Meski memiliki makna historis, Hari Ibu bukan merupakan hari libur nasional atau tanggal merah. Biasanya, momen ini dirayakan dengan menyampaikan pesan-pesan positif tentang perempuan, pemberdayaan, serta penghargaan kepada para ibu dan perempuan.
Tujuan utama peringatan Hari Ibu adalah untuk mengingatkan masyarakat, khususnya generasi muda, akan pentingnya peran ibu dan perempuan dalam sejarah bangsa. Peringatan ini menjadi simbol penghormatan terhadap perjuangan perempuan Indonesia dalam meraih kemerdekaan dan berkontribusi bagi kemajuan negara. Selain itu, Hari Ibu juga menjadi momen untuk memperkuat semangat persatuan dan kebangkitan bangsa.
Dalam perspektif Islam ternyata tidak mengenal yang namanya hari Ibu. Islam mengajarkan kepada kita bahwa setiap hari adalah hari ibu. Hal ini bermakna memuliakan, berbuat baik, dan membantu orang tua khususnya ibu adalah suatu kewajiban terus menerus. Yang seharusnya kita lakukan setiap hari tanpa menunggu datangnya hari ibu.
Kewajiban Birrul Walidain
Dalam Islam perintah untuk berbuat baik kepada orang tua dapat kita sebut birrul walidain. Hal ini Allah sampaikan dalam firmannya dalam surah Al-Isra ayat 23
وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia” (QS Al-Isra’: 23).
Pada ayat tersebut dapat kita pahami tentang kewajiban kita berbuat baik kepada orang tua dengan berbuat baik dan tidak berkata kasar. Tidak hanya berhenti di sini, Allah juga berfirman dalam surah Luqman ayat 14
وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ
“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Ku lah kembalimu” (QS Luqman: 14).
Birrul Walidain yang disalahpahami
Pengetahuan mengenai berbuat baik kepada orang tua khususnya ibu sudah kita pastikan tertancap di benak setiap orang. Akan tetapi dengan pengetahuan tersebut ternyata masih terdapat kesalahpahaman di sebagian masyarakat. Tidak sedikit Konsep birrul Walidain yang berkembang berbeda jauh dengan definisi awalnya.
Lebih jauh lagi, tidak sedikit orang tua yang tidak memenuhi kewajibannya sebagai orang tua, tetapi menuntut sang anak untuk memenuhi haknya. Yang lebih ekstrim lagi adalah bahwa konsep birrul walidain ini terkadang orang tua jadikan sebagai senjata untuk menuntut anaknya memenuhi semua keinginannya.
Sebenarnya Islam sudah menjelaskan beberapa poin dari birrul Walidain, yakni sebagai berikut:
Taat kepada orang tua selama tidak menyekutukan Allah (QS Luqman: 15). Berbakti dan merendahkan diri kepada orang tua (QS Al-Ahqaf: 15 dan QS An-Nisa’: 36). Mendoakan dan memohonkan ampunan bagi mereka (HR Ibnu Majah).
Menjaga kehormatan orang tua (HR Bukhari), Bersedekah atas nama orang tua, termasuk wakaf dan amal jariyah (HR al-Bukhari). Merawat orang tua di usia senja (HR Muslim 2551, Ahmad 2:254, 346). Menyambung silaturahmi dengan kerabat dan teman orang tua (HR Muslim). Tidak pelit dalam menafkahi mereka (HR Muslim no 997) dan lain sebagainya.
Membuat Marah Tidak Selalu Jadi Durhaka
Dari beberapa poin tersebut dapat kita pahami bahwa, birrul walidain memiliki aturannya sendiri. Coba bayangkan ketika ibu kita menyuruh untuk mencuri, bayangkan juga ketika ia menyuruh membelikan rokok dan minuman keras pada saat kondisi puasa Ramadan.
Dari contoh kecil ini dapat kita bayangkan betapa marahnya orang tua kita. Betapa ia marah pada kita karena tidak menuruti keinginannya yang terkadang disertai dengan sumpah serapah. Cacian serta doa-doa buruk seringkali kita dapatkan ketika dalam kondisi seperti itu.
Bagi masyarakat awam jika mengalami kondisi demikian pasti merasa bimbang, “inti dari berbuat baik kan menyenangkan orang tua, berarti semua hal yang membuat orang tua marah harus kita hindari”. Kurang labih demikian pasti yang kita rasakan sebelum paham lebih dalam mengenai konsep birrul walidain.
Dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
لَا طَاعَةَ فِي مَعْصِيَةٍ إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
”Tidak ada ketaatan di dalam maksiat, taat itu hanya dalam perkara yang ma’ruf.” (HR Bukhari, no. 7257; Muslim, no. 1840).
Sedangkan definisi Ma’ruf menurut Nyai Badriyah Fayumi berarti “Segala sesuatu yang mengandung nilai kebaikan, kebenaran, dan kepantasan yang sesuai dengan syari’at, akal sehat, dan pandangan umum suatu masyarakat.”
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa menolak permintaan orang tua khususnya ibu hingga membuat marah demi kebaikan bukanlah sesuatu yang durhaka. Dengan catatan hal ini semata mata kita lakukan menggunakan akhlak yang baik. Sehingga tidak ada unsur lain di luar menolak perilaku maksiat tersebut yang menyebabkan murka orang tua khususnya ibu kita.
Dengan demikian mari kita maknai hari ibu kini sebagai pengingat saja, bahwa kita sejatinya memiliki ibu. Seseorang yang wajib kita muliakan dimanapun dan kapanpun kita berada. []